Kamis, 27 Maret 2008

B A B U


Babu. Kata ini mungkin sudah jarang dipergunakan lagi sekarang. Mungkin dianggap kelewat kasar dan tidak berperikemanusiaan. Babu adalah sebutan bagi orang suruhan (orang yang kerjanya disuruh-suruh dengan upah tertentu). Biasanya perempuan. Kalau lelaki, ia biasa disebut jongos. Kedua kata ini sering dipakai oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer (alm) dalam karya-karyanya yang kebanyakan ber-setting era pra kemerdekaan. Waktu itu, kosa kata “babu” dan “jongos” lumrah dipakai.

Kini, kedua kata tersebut bermetamorfosa menjadi pembantu rumah tangga atawa sering disingkat PRT. Kalau di kalangan istri-istri pejabat acap disebut “bedinde” (Belanda). Istilah boleh saja berganti seribu kali. Namun, perubahan penyebutan itu tidak lalu diikuti perubahan nasib mereka. Sejak zaman baheula hingga hari ini, peruntungan mereka masih begitu-begitu saja. Jika pun beranjak, tidaklah terlalu jauh. Tempat mereka masih di kasta terbawah dalam masyarakat kita.

Keberadaan pembantu rumah tangga (selanjutnya akan saya sebut pembantu saja) kini nyaris menjadi kebutuhan di setiap rumah tangga masyarakat perkotaan kelas menengah ke atas. Mereka diperlukan sebagai tenaga kerja penuh ataupun paruh waktu untuk menangani urusan domestik, seperti mencuci dan menyetrika baju, mencuci piring, memasak, membersihkan rumah, mengasuh, mengantar dan menjemput anak majikan sekolah, dan seterusnya.

Kendati kerja mereka cukup menguras tenaga–karena itulah para priyayi memerlukan mereka–akan tetapi upah yang mereka terima jauh dari layak. Belum lagi perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari para majikan yang lupa kalau pembantu mereka adalah juga manusia. Cerita duka para babu ini sudah sering kita dengar, baca, dan saksikan di media massa. Dari yang dipukul, dikurung, upahnya tidak dibayar berbulan-bulan, disetrika, disundut rokok, diperkosa, sampai dibunuh. Sudah terlalu banyak kisah derita mereka yang dikabarkan kepada dunia. Tetapi apakah lantas nasih mereka berubah? Apakah lalu para majikan menjadi bersikap lebih baik? Bisa jadi iya. Dan saya yakin tidak semua majikan itu jahat.

Salah satunya adalah teman saya, seorang aktivis perempuan, bekerja di sebuah LSM internasional yang mengurusi isu-isu feminisme. Teman saya ini menikah dan punya dua orang anak lelaki. Mereka mempekerjakan seorang pembantu di rumah mereka; menggajinya dengan standar upah minimum yang berlaku; mendapat pengobatan apabila sakit, meliburkannya pada hari Minggu, memberi THR (Tunjangan Hari Raya) sesuai ketentuan, dan cuti dua minggu setahun. Biasanya diambil pada saat Lebaran, untuk pulang kampung. Tidak heran jika pembantunya itu sangat loyal kepada keluarga tersebut dan mereka nyaris tidak pernah mendapat masalah “pembantu yang tidak balik lagi setelah Lebaran usai”.

Tak urung ada juga yang tidak setuju dengan sikap murah hati teman saya itu. Konon, ibu-ibu di kompleks rumahnya sempat protes gara-gara semua fasilitas yang ia berikan kepada bedinde-nya itu, karena dampaknya para pembantu di kompleks itu jadi berani minta kenaikan upah sebesar upah yang diterima rekannya yang bekerja di rumah teman saya. Teman saya bergeming, sebab ia yakin ia benar. Namun, ibu-ibu di sana juga keukeuh, tidak terpengaruh alias tidak ada kenaikan upah bagi para pembantu tersebut. Lalu apakah para pembantu itu mogok kerja lantaran tuntutan mereka tidak dikabulkan? Ya ternyata tidak juga. Mereka tetap bekerja seperti semula. Mungkin perlu ada semacam Serikat Pembantu Rumah Tangga untuk memperkuat posisi tawar mereka. Tidak mudah lho mendapatkan seorang pembantu yang cakap bekerja dan setia. Seharusnya mereka, para pembantu itu, menyadarinya.

Upah minim dan tak adanya jaminan sosial bagi para pembantu di tanah air kemudian membuat mereka memalingkan harapan ke luar negeri dengan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Apakah nasib mereka lebih baik di sana? Oh..ternyata tidak juga. Kita semua mengetahuinya.

Seorang teman perempuan, jurnalis di sebuah majalah berita mingguan ibu kota, pernah bercerita pengalamannya meliput para TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia di Hongkong. Kata teman saya, TKW yang umumnya datang dari Jawa Timur dan Jawa Barat, di Hongkong bekerja sebagai pembantu. Nasib mereka sedikit lebih baik karena di Hongkong ada undang-undang (perangkat hukum) yang mengatur dan melindungi hak-hak pembantu. Mereka juga, dengan bantuan LSM, membentuk organisasi semacam serikat pekerja yang menampung setiap keluhan anggotanya untuk kemudian diteruskan kepada pihak-pihak yang bisa memberikan bantuan/menyelesaikan masalah tersebut.

Menariknya, organisasi atau perkumpulan itu terdapat lebih dari satu dengan bermacam-macam jenis kegiatan, umpamanya ceramah agama, seminar perempuan, pertunjukan seni dan sastra, atau sekadar berwisata di hari libur (mereka libur pada akhir pekan).

Tetapi yang paling menarik dari “oleh-oleh” teman saya itu adalah kisah tentang percintaan/hubungan cinta sejenis di antara para TKW di sana. Hidup sendiri di negeri orang, jauh dari suami (atau kecewa lantaran suami kawin lagi) sementara kebutuhan biologis harus tetap dipenuhi, menjadi faktor utama penyebab maraknya praktik lesbianisme itu. Uniknya lagi, hubungan asmara sejenis itu tidak cuma sekadar pacaran, tetapi hingga ke jenjang pernikahan. Ya menikah, layaknya pasangan normal, dengan ijab kabul di depan “penghulu” dan dilanjutkan dengan resepsi.

Pembantu atau babu hanyalah salah satu potret suram nasib perempuan kita. Mereka bekerja sebagai orang suruhan bukan dalam rangka mewujudkan emansipasi, tetapi lebih karena tuntutan ekonomi, menyelamatkan keluarga, menyelamatkan hidupnya. Ketika para lelaki di rumah tangga mereka tak mampu memberi nafkah yang memadai, mereka maju mengambil alih tanggung jawab itu ke pundak mereka.

Malangnya, balasan yang mereka terima dari keluarga, terutama suami, seringkali justru menyakitkan. Sementara istri memeras keringat (dan kadang-kadang darah) di negeri orang, suami kawin lagi di kampung. ***ENDAH SULWESI


Tidak ada komentar: