Kamis, 14 Februari 2008

C I N T A


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Petikan puisi Sapardi Djoko Damono di atas, pagi tanggal 14 Februari, saya terima lewat pesan pendek (sms) dari seorang sahabat. Ceritanya sih dalam rangka Valentine’s Day, satu hari yang “disepakati” seluruh dunia sebagai Hari Kasih Sayang. Sajak “Aku Ingin” itu memang sering kali “dipinjam” untuk mengungkapkan rasa cinta seorang kekasih kepada yang dicintainya. Meskipun Sapardi menulis “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” tetapi maknanya ternyata sungguh tidak sederhana.

Bayangkan, apakah sederhana mencintai seseorang dengan cara kayu mencintai api yang membakarnya hingga jadi abu? Alangkah dahsyat cinta seperti itu. Namun, saya percaya ada cinta seperti itu seperti saya yakin bahwa cinta adalah kekuatan paling besar di atas muka bumi ini. Siapa yang sanggup mengalahkan kekuatan cinta? Adakah yang mampu menolak kehadiran cinta? Bahkan maut pun tak mampu memisahkan dua orang yang saling mencinta. Tak ada kekuatan yang dapat menghalangi seorang ibu mencintai anaknya. Demi tanah air tercinta, seorang patriot rela mengorbankan jiwa dan raga. Untuk istri terkasihnya, Raja Shah Jiran membangun makam megah di Agra, Taj Mahal.

Cinta sama tuanya dengan dunia ini. Tuhan mencipta dengan cinta. Semua agama mengajarkan cinta. Entah sudah berapa ribu buku mengguratkan kisah tentang cinta. Telah berapa juta puisi, sajak, dan lagu cinta tercipta. Dari Shakespeare hingga Tolstoy; dari Rumi sampai Gibran; dari Chairil hingga Sapardi; dari Jokpin sampai Ayu Utami.

Pada tahun 1960-an, saat berkecamuk perang Vietnam, generasi muda di Amerika Serikat yang menentang perang tersebut, meneriakkan semboyan “make love, not war!”. Bisa dimengerti sikap antiperang kelompok anak-anak muda ini, sebab merekalah yang terkena wajib militer, dikirim sebagai tentara ke Vietnam untuk membantu perang di sana antara Utara (Komunis) yang didukung Uni Soviet dan pihak Selatan yang dibantu Amerika Serikat. Perang yang berlangsung selama 16 tahun (1959-1975) itu telah menelan banyak korban jiwa. Termasuk para pemuda.

Semboyan itu, saya rasa masih sangat relevan diserukan hari ini sebagai ajakan perdamaian. Lebih baik “bercinta” daripada perang. Tentu, makna “bercinta” di sini lebih luas dari sekadar percintaan badaniah antara lelaki dan perempuan. Ia bisa berarti mencintai sesama umat manusia di seluruh muka bumi ini. Alangkah indahnya, bukan jika yang ada di muka bumi ini hanya kedamaian semata seperti syair lagu John Lennon “Imagine” yang legendaris itu.

Bulan Februari sering dianggap sebagai bulan cinta, khususnya pada tanggal 14. Di seluruh dunia pada hari itu ramai-ramai merayakan cinta. Umumnya memang cinta antara sepasang kekasih, tetapi akan lebih bijak jika dimaknai lebih luas lagi.

Hari Valentine memang bukan berakar dari budaya kita. Asal muasal perayaan ini punya banyak versi. Ada yang mengatakan, bahwa mulanya adalah untuk mengenang kematian Santo Valentino (14 Februari 269 M). Orang Suci ini semasa hidupnya dikenal sangat pengasih dan dermawan kepada kaum duafa di kota tempat tinggalnya, Temi, Italia. Ketika ia meninggal dunia, warga Temi yang mencintainya mendirikan sebuah patung untuk mengenang kebaikan hati Valentino dan tanggal kematiannya dinyatakan sebagai hari libur.

Versi lain lagi mengisahkan, bahwa Hari Valentine adalah untuk mengenang Santo Valentinus yang gugur sebagai martir di perang Romawi. Sebelum wafatnya, ia sempat menulis sepucuk surat cinta. Ada juga legenda yang menyatakan, bahwa pada tanggal 14 itu Valentinus dihukum mati karena menentang peraturan Kaisar yang melarang para serdadu muda menikah. Valentinus justru secara diam-diam membantu menikahkan prajurit-prajurit muda tersebut.

Lantaran sejarahnya amat kental dengan tradisi gereja dan agama Nasrani, tidak terlalu mengherankan jika ada kalangan non-Kristen yang mengharamkan keramaian dan perayaan di hari tersebut.

Buat para pedagang, Valentine berarti saatnya meraup untung dengan menjual aneka pernak-pernik yang berkaitan dengan Hari Kasih Sayang itu. Kuntum-kuntum mawar merah, kartu-kartu ucapan, coklat berbentuk hati, pita-pita merah jambu, kue-kue cantik bernuansa pink, boneka-boneka lucu, jepit rambut, tas, dompet, kaus, gaun, cincin….

Para pelaku industri hiburan pun tak mau ketinggalan mengais rezeki lebih pada hari merah jambu ini. Hampir semua stasiun televisi ramai-ramai menayangkan acara bertema Valentine. Film, sinetron, gosip infotainment, dan acara musik semua berbau Valentine. Tentu yang diharapkan adalah rating tinggi yang berarti banjir iklan dan berujung pada keuntungan.

Bagi saya yang jomblo ini, Valentine artinya mendapat dan mengirimkan sms berisi ungkapan cinta kepada para sahabat. Kalau beruntung kadang-kadang suka juga mendapat sekeping coklat lezat atau kartu-kartu cantik merah muda. Atau seperti pagi itu, sepotong puisi yang saya balas dengan lanjutannya :

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
diucapkan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada.****

Jumat, 08 Februari 2008

TIKUS


Gong xi fa cai!

Ucapan dalam bahasa Mandarin di atas bermakna kira-kira “Selamat menjadi kaya”. Pekan lalu rangkaian kata tersebut ramai disampaikan kepada masyarakata Tionghoa dalam rangka perayaan Tahun Baru Cina atau Imlek yang jatuh bertepatan dengan 7 Februari 2008. Dalam kalender Cina, tahun ini adalah tahun 2559. Klenteng, Vihara, hotel-hotel, pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, serta tempat-tempat wisata tampak meriah dengan hiasan serbamerah berupa aksara Cina berukuran besar, lampion, dan barongsai. Etalase-etalase toko busana pun memajang fesyen bergaya Mandarin.

Dalam tradisi Tionghoa, pada pergantian tahun ini mereka merayakannya dengan berdoa di vihara, memasang mercon, dan membagi-bagikan angpao atau dalam dialek Mandarin disebut Hong Bao, ialah amplop berwarna merah berisi uang. Biasanya yang diberi angpao ini adalah anak-anak. Tak ubahnya Idul Fitri.

Konon, menurut kepercayaan kuno amplop merah ini bukan hanya membawa hoki tetapi juga berfungsi sebagai pelindung anak-anak dari segala roh jahat. Uang yang ada dalam amplop tersebut dipercaya dapat menekan pengaruh buruk roh jahat yang datang mengganggu anak-anak setahun sekali. Warna merah amplop kertas itu adalah simbol unsur api yang akan membakar setan-setan pengganggu.

Masih merunut riwayat lama Imlek. Dahulu yang diizinkan ke luar rumah pada hari pertama Imlek hanya kaum pria saja. Tujuannya untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, diutamakan orang tua, mertua, baru kemudian anggota keluarga lainnya. Tak ada bedanya dengan Lebaran, ya?

Dan tahun ini, menurut penanggalan Cina itu adalah Tahun Tikus. Tepatnya, Tikus Api di Dalam Gudang. Informasi di beberapa sutus dunia maya menulis, bahwa Tahun Tikus memiliki arti kita harus waspada terhadap ancaman bahaya yang ditimbulkan api (kebakaran), terutama bagi para pebisnis yang menggunakan bahan-bahan yang mudah terbakar (property, gedung, restoran, salon, industri garmen, dll).

Tikus (peromyscus maniculatus) termasuk keluarga binatang pengerat. Untuk melihat wujud hewan ini kita tak perlu jauh-jauh ke kebun binatang atau sirkus. Di rumah dan lingkungan kita pun mereka sering berkeliaran. Kita sering dikagetkan dengan kehadirannya yang tiba-tiba muncul dari belakang lemari pakaian, kolong tempat tidur, di meja dapur, tong sampah, atau dari tempat-tempat lain yang tak terduga. Mereka begitu akrab dengan keseharian kita. Entah bagaimana riwayat nenek moyangnya sehingga mereka bisa hidup berdampingan dengan manusia, walau pun tidak terlalu akur. Lebih tepat malah saling memusuhi.

Sejak dulu tikus telah menjadi musuh manusia. Mereka merusak padi-padi di sawah, memakan beras di lumbung, mengerat apa saja di rumah kita sampai rusak dan hancur. Tikus juga adalah hewan pembawa bibit penyakit pest. Mungkin Cuma Upik Abu yang bersahabat dengan tikus yang dengan kekuatan sihir ibu peri berubah menjadi kusir kereta kencana dan membawanya pergi ke pesta dansa.

Lantaran sifatnya yang suka makan dan merusak apa saja, tikus sering dijadikan perumpamaan untuk para koruptor. Iwan Fals pernah menulis lagu tentang para “tikus” ini. Judulnya “Tikus Kantor”. Syairnya seperti ini :

Kisah usang tikus-tikus kantor
Yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji lalu sembunyi

Di balik meja teman sekerja
Di dalam lemari dari baja

Kucing datang cepat ganti muka
Segera menjelma bagai tak tercela
Masa bodoh hilang harga diri
Asal tak terbukti ah, tentu sikat lagi.

Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus-rakus bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang tikus menghilang.

Tikus tahu sang kucing lapar
Kasih roti jalan pun lancar
Memang sial sang tikus teramat pintar
Atau memang si kucing yang kurang ditatar.

Namun, tentu pada tahun Tikus ini kita tidak mengharapkan “tikus-tikus kantor” ini merajalela dan berjaya. Juga kita tidak ingin terjadi malapetaka kebakaran (hutan, permukiman prnduduk, dsb.) meskipun tikusnya tikus api. Justru kita mendambakan kehidupan yang sejahtera seperti makna ucapan “Gong xi fa cai” , serta terhindar dari segala api angkara murka yang menghanguskan kehidupan.

Dipikir-pikir hidup di Indonesia ini enak karena banyak liburnya. Libur tahun baru saja bisa tiga kali setahun : Tahun Baru Masehi, Hijriah, dan Imlek. Barangkali di masa mendatang akan bertambah jadi empat kalau tahun baru Saka ikut dihitung.

Sebagai penutup, saya punya satu teka-teki yang berhubungan dengan tikus paling beken sedunia: what is the name of the star with a tail? Comet? No! It’s Mickey Mouse. He’s a big star.

Gong xi fa cai! ***


ENDAH SULWESI

Jumat, 01 Februari 2008

KONTRAK


Pekan lalu saya kedatangan seorang sepupu. Ia mengabarkan, bahwa putri bungsunya telah melangsungkan pernikahan pada bulan silam dengan seorang lelaki yang umurnya dua puluh tahun lebih tua dari umur putrinya tersebut. Tentu saya kaget. Tetapi lebih kaget lagi dengan keterangan lanjutannya, bahwa mereka menikah siri sebab si lelaki yang berumur 42 tahun itu masih terikat perkawinan yang sah dengan istri tuanya.

Anak gadis sepupu saya ini umurnya 21 tahun. Lulusan SMEA dan sempat bekerja sebagai pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan. Entah kenal di mana ia dengan pria yang kini menjadi suaminya itu. Saya benar-benar prihatin dengan status perkawinan yang tidak tercatat secara hukum negara (KUA/Catatan Sipil) itu. Dan mengapa harus menimpa keponakan saya?

Pernikahan siri atau nikah di bawah tangan meski sangat tidak adil bagi perempuan tetapi realitanya masih banyak yang melakukan dengan berbagai alasan. Umumnya kebutuhan ekonomi kerap menjadi alasan utama. Seperti yang terjadi pada keponakan saya yang berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan iming-iming mahar sebesar 15 juta rupiah, ibunya, sepupu saya, rela melepaskan anak gadisnya untuk dikawini lelaki beristri. Ya, lagi-lagi kemiskinan menjadi akar dari bermacam permasalahan di masyarakat kita.

Atau ada juga yang beralasan untuk menghindari zina. Biasanya terjadi pada pasangan muda yang secara materil belum siap membina rumah tangga tetapi sudah kebelet kawin. Daripada melakukan seks ilegal (haram), mereka memilih menikah siri.

Pernikahan bawah tangan ini, walaupun dibenarkan secara hukum agama (Islam), namun sangat merugikan bukan saja pihak perempuan tetapi juga status anak-anak mereka kelak dan hal yang menyangkut hak waris. Pernikahan ini hanya enak buat lelaki; lazimnya dilakukan oleh mereka yang ingin berpoligami secara diam-diam, tanpa seizin istri pertama. Akal-akalan lelaki beristri untuk melegitimasi perselingkuhannya.

Selain itu, ada satu lagi jenis perkawinan yang mirip dengan nikah siri ini, yakni kawin kontrak. Perkawinan ini lebih mengerikan lagi sebab secara hukum agama Islam sama sekali tidak dibenarkan alias haram. Bahkan oleh PBNU kawin kontrak ini dipandang sama saja dengan perdagangan manusia (trafficking).

Pada masa-masa liburan musim panas, mulai pertengahan Juli sampai September, di kawasan Puncak, tepatnya antara Cisarua – Kampung Sampay (Warung Kaleng), marak terjadi kawin kontrak antara para pelancong yang umumnya berasal dari Timur Tengah dengan para wanita setempat atau kini banyak juga yang sengaja datang dari Cipanas, Bogor, dan Cianjur.

Fenomena ini telah berlangsung lama. Konon sudah puluhan tahun. Motif perkawinan tersebut semata-mata pemenuhan kebutuhan ekonomi di pihak wanita dan syahwat di pihak lelaki. Semacam pelacuran terselubung. Pelaksanaan pernikahannya pun sekadar formalitas saja. Percaya atau tidak, tukang ojek pun bisa dimintai jasa sebagai “penghulu” dengan kisaran upah 500 ribu hingga satu juta rupiah. Tentu tanpa surat nikah.

Sementara itu, si “mempelai” wanita akan menerima “uang kontrak” sebesar 5 – 10 juta rupiah untuk jangka waktu satu sampai tiga bulan. Selama jangka waktu tersebut mereka tinggal bersama di vila-vila sewaan layaknya sepasang suami istri. Tak jarang ada yang sampai hamil dan punya anak sepeninggal si laki-laki seiring berakhirnya masa liburan. Bagi yang bernasib baik masih akan mendapat kiriman uang dari “suami” mereka sampai tiba liburan tahun berikutnya. Namun, jauh lebih banyak yang tidak beruntung; ditinggalkan begitu saja sebagai “janda” setelah masa kontrak selesai.

Praktik kawin kontrak ini ternyata tidak hanya marak di daerah Puncak, tetapi juga terjadi di kawasan industri Tangerang, Banten. Di sini pelakunya adalah para pekerja Korea yang “menikahi” perempuan setempat. Usia “perkawinan” tersebut adalah sepanjang masa kerja si lelaki di sini. Mirip-mirip praktik “pernyaian” di zaman kolonial Belanda dahulu.

Sekali lagi, akar permasalahan dari semua kejadian di atas adalah kemiskinan. Korban utamanya selalu adalah perempuan dan anak-anak. Mereka selalu menjadi pihak yang lemah dan rentan terhadap segala jenis penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan lelaki. Perangkat peraturan dan hukum negara, agama, budaya, dan tradisi yang berlaku di masyarakat alih-alih melindungi justru malah semakin mengukuhkan dan mengekalkannya. Dan selama jumlah orang miskin masih menjadi mayoritas penduduk negeri ini, selama itu pula praktik-praktik kawin kontrak dan sejenisnya agaknya akan terus berlangsung.*** ENDAH SULWESI