Kamis, 06 Maret 2008

SURAT


Rasanya belum lama berselang kita masih memakai surat sebagai media menyampaikan pesan dan kabar kepada kerabat, teman, keluarga, ataupun relasi yang tinggal jauh dari tempat kita. Saya bahkan masih menyimpan dengan baik sebagian surat-surat dari masa lalu itu. Di antaranya ada juga beberapa pucuk surat cinta. Benar-benar surat. Dari kertas dan ditulis tangan. Memakai amplop dan perangko jika itu dikirimkan lewat jasa pos. Dulu saya sempat menekuni hobi koleksi perangko. Kini, saya bahkan tidak tahu gambar perangko terbaru sebab sudah lama sekali tak bersurat-suratan.

Pernah satu masa saya sangat gemar melakukan korespondensi; baik dengan para sahabat lama yang harus pindah ke lain kota maupun teman baru yang saya kenal melalui rubrik “Sahabat Pena” di surat kabar atau majalah. Dengan semangat saya bercerita dalam surat-surat yang saya layangkan.

Saya masih ingat seorang sahabat pena yang saya kenal lewat ajang pemilihan siswa teladan tingkat Kotamadya Jakarta Timur. Waktu itu saya kelas II SMP. Teman baru itu namanya Ling Ling; keturunan Tionghoa, tinggal di bilangan Rawamangun. Sebenarnya tidak jauh dari rumah saya di Klender. Tetapi waktu itu jarak Klender-Rawamangun terasa jauh sekali. Angkutan Kota belum sebanyak sekarang.

Maka lantas pertemanan itu berlanjut lewat surat. Lucunya, yang dibicarakan di surat kami itu adalah seputar mata pelajaran. Misalnya: apakah ayam betina akan tetap bertelur walaupun tidak kawin? Sayangnya, korespondensi itu berhenti setelah kami SMA. Sampai kini saya belum mengetahui lagi kabar Ling Ling. Seperti apa ya dia sekarang?

Seseorang pernah berkisah kepada saya tentang sebuah surat yang mengubah nasibnya. Ceritanya terjadi di tahun 1991. Waktu itu enam bulan setelah ia lulus kuliah dan meraih gelar sarjana adminitrasi negara dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibu kota. Selama setengah tahun itu ia tanpa lelah telah berusaha melamar kerja ke sana ke mari. Dengan rajin ia mengirimkan surat-surat lamaran lewat pos atau mendatangi langsung kantor-kantor dan instansi yang iklannya ia baca di koran.

Akan tetapi usahanya nihil. Orang tuanya yang hidup serba pas-pasan sudah mulai kewalahan menyediakan biaya untuk ongkos dan surat-menyurat anaknya itu. Bapaknya, pegawai negeri sipil golongan II tengah menjelang masa pension. Gajinya yang minim harus dibagi-bagi untuk makan sehari-hari plus biaya tiga orang anaknya yang lain yang masih sekolah. Tadinya si Bapak berharap anaknya yang sulung itu segera bekerja dan membantu mengongkosi sekolah adik-adiknya.

Apa mau dikata ternyata mencari kerja bukan perkara gampang walaupun untuk seorang sarjana. Keluarga itu nyaris putus asa.

Di tengah keputusasaan itu tiba-tiba Si Bapak melihat sahabat masa kecilnya di layar tivi. Sahabatnya itu telah jadi orang penting di sebuah departemen. Masih jelas dalam kenangannya masa pertemanan mereka di kampung dahulu. Berenang di sungai, mencuri mangga, memancing ikan, mencari belut, dan bermain kelereng. Si Bapak sangat yakin bahwa sahabatnya yang kini jadi pejabat eselon itu pasti masih ingat padanya. Tidak mungkin lupa karena mereka berdua sangat karib.

Maka kemudian pegawai negeri yang hampir pensiun ini memberanikan diri bersurat kepada teman kecilnya itu. Dalam suratnya yang hanya selembar tersebut, ia menuturkan duka hatinya lantaran si sulung belum juga bekerja. Si Bapak memohon dengan segala kerendahanhatinya agar kiranya sang pejabat sudi membantu.

Tak menunggu lama ternyata suratnya berbalas. Tidak melalui antaran pos tetapi dibawa langsung oleh ajudan Si Pejabat ke hadapan sahabatnya. Dalam balasan suratnya, Si Pejabat mengundang sahabatnya untuk datang ke kantornya. “Jangan lupa, bawa serta anak sulungmu,” begitu kira-kira bunyi sebagian isi suratnya. Menurut pengakuan si sahibul hikayat, sampai kini ia masih menyimpan surat tersebut.

Pada hari yang telah disepakati, datanglah Si Bapak beserta anaknya ke kantor Si Pejabat. Pertemuan kedua sahabat yang lama terpisah itu cukup mengharukan. Mereka saling memeluk erat. Air mata meleleh di pipi keduanya. Si Anak yang menjadi saksi hanya bisa ikut menangis.

Selanjutnya, Si Pejabat menyerahkan sepucuk surat dalam amplop dinas coklat bergambar Garuda kepada Si Anak. Kelak Si Anak tahu bahwa itu adalah sebentuk “surat sakti” dari Si Pejabat kepada direktur sebuah perusahaan tempat anak itu bekerja hingga hari ini. “Surat sakti” itu telah berjasa mengubah nasib dan jalan hidupnya.

Sepucuk surat juga pernah sangat berperan dalam sejarah negeri ini. Surat itu ditulis dan diterbitkan pada kira-kira empat puluh tahun silam. Tepatnya 11 Maret 1966. Pada hari itu, sejarah menulis tentang peralihan kekuasaan dari Presiden Sokearno kepada Mayor Jendral Soeharto untuk segera mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehubungan dengan situasi sosial politik yang kacau-balau pasca peristiwa G.30 S. Surat bersejarah itu kemudian populer dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Namun anehnya surat yang teramat penting itu diragukan keasliannya. Setelah para saksi mata peristiwa bersejarah itu satu per satu meninggal, semakin sulit membuktikan keabsahannya. Malah, Roy Suryo, pakar telematika dengan yakin menyatakan bahwa naskah Supersemar yang selama ini beredar di publik adalah naskah palsu. Ketidakaslian tersebut, menurut Roy, terbukti dari hasil penelitian bentuk tanda tangan, cara penulisan, dan spasi dalam tiga naskah Supersemar yang selama ini beredar dibandingkan dengan naskah yang dibawa para jenderal saat keluar dari Istana Bogor usai menghadap Presiden Sukarno (Tempo Interaktif, 19/1/2008)

Bersenjatakan “surat misterius” itu, Soeharto “mengkudeta” Soekarno dan selanjutnya dengan mulus melenggang menuju singgasana kekuasaan; bercokol di sana selama 30 tahun lebih sebelum akhirnya lengser pada 21 Mei 1998. Pertanyaannya kemudian, di mana sesungguhnya naskah asli Supersemar berada? Dan mengapa dokumen sepenting itu bisa “menghilang” tak tentu rimbanya? Jangan-jangan tabir misteri itu tak akan pernah tersibak. Rahasianya terbawa ke liang kubur bersama jasad Soeharto. Wallahualam.

Hari ini mungkin sudah jarang yang melakukan korespondensi lewat pos. Kegiatan surat-menyurat “kuno” itu telah digantikan oleh teknologi e-mail alias surat elektronik via internet. Dalam hitungan sekon saja berlembar-lembar “surat” dapat kita kirimkan ke seluruh dunia. Kendati demikian, saya percaya surat “kuno” masih memiliki daya tarik dan kekuatannya sendiri yang tak tergantikan. Tentu berbeda rasanya, bukan, saat menerima selembar kartu pos dengan membaca “selembar” e-card. ***

Tidak ada komentar: