Sabtu, 06 September 2008

Buka Bersama


Hari keempat puasa, saya tidak ngantor. Bukan karena puasa tapi justru karena sedang cuti puasa. Biasa deh perempuan. Alam telah memberikan dispensasi kepada kami untuk tidak berpuasa pada hari-hari "merah". Dan peraturan di kantor saya memberi hak kepada karyawati yang tengah datang bulan untuk cuti haid selama satu hari. Jadi, libur saya legal toh?


Biasanya selama tidak kerja saya tidak kemana-mana. Menghabiskan waktu di rumah dengan baca buku, ngenet, atau nonton tivi. Sebenarnya malas betul melakukan aktivitas yang terakhir itu sebab acara-acaranya tidak ada yang bisa dikatakan bagus. Seluruh stasiun tivi menyiarkan acara yang nyaris seragam setiap harinya. Apalagi sepanjang Ramadan ini. Saya sampai kesulitan membedakan satu acara dengan acara lainnya saking miripnya. Mulai menjelang berbuka hingga pada saat makan sahur.


Pagi itu, kira-kira jam sepuluh, tukang sayur langganan ibu saya berhenti tepat di muka rumah kami. Dengan teriakannya yang khas, ia mengumumkan kehadirannya. Ibu saya segera bergegas memenuhi panggilannya. Begitu juga beberapa ibu yang lain tetangga kami.


Saya yang sedang enggan mengerjakan apa-apa, tak beranjak dari ruang tamu. Mulanya saya tidak tertarik mengamati rutinitas para ibu itu. Namun, hari itu mereka membincang topik yang berhasil menggugah perhatian saya. Diam-diam saya mencuri dengar percakapan mereka.


Dimulai dari keluhan si Tukang Sayur. Dengan setengah menggerutu ia mengeluh soal langganannya yang kian hari kian sedikit saja belanjanya. Agak mengherankan baginya, sebab lazimnya hari-hari bulan puasa merupakan hari-hari menguntungkan karena para langganan umumnya berbelanja lebih banyak dari hari-hari biasa. Ia bisa menjual bukan saja sayur-mayur dan lauk-pauk tapi juga buah-buahan serta bahan-bahan pembuat kolak atau cemilan lain sebagai takjil. Tetapi baru memasuki hari keempat kok ibu-ibu ini sudah banyak mengurangi belanjaannya.


"Yah, habis percuma sih Mas, masak banyak-banyak juga nggak ada yang makan," sahut seorang ibu, "Anak-anak hampir setiap hari buka di luar," lanjutnya lagi yang lekas disepakati oleh ibu-ibu yang lain, termasuk ibu saya.


"Iya. Itu kolak pisang sampai tiga hari masih belum habis. Akhirnya dibuang deh," terdengar seorang ibu mengungkapkan "kasus"-nya.


"Betul, Bu. Di rumah juga begitu. Saya selalu buka sendirian. Cuma puasa pertama saja mereka buka di rumah," itu suara ibu saya. Nadanya kesal bercampur sedih. Ow..ow.."Malah sahur juga lebih sering sendiri karena mereka pada susah disuruh bangun. Alasannya ngantuk. Ya gimana nggak ngantuk kalau baru pulang jam 11?" Wah, semakin panjang curhatnya dan membuat saya jadi merasa bersalah. Pasti yang dimaksudnya itu saya dan adik saya.


Sebuah suara menimpali, "Tahu tuh anak-anak. Semakin gede semakin nggak betah di rumah. Padahal katanya jam pulang kantor dimajukan 1 jam supaya bisa buka di rumah. Eh..ini malah pada ngelayap."


Obrolan pagi para ibu itu sebenarnya masih terus berlanjut beberapa saat lagi. Tapi bagi saya sudah cukup untuk menangkap inti sarinya yang bikin saya tercenung. Kasihan ya ibu saya. Jadi selama ini saya sudah bikin sedih hatinya lantaran kerap buka bersama di luar. Setiap hari ada saja jadwal buka bersama yang harus saya hadiri. Harus? Benarkah itu satu keharusan yang wajib saya laksanakan atau saya sekadar mencari pembenaran saja ketika memakai alasan "tidak enak kalau tidak datang"? Lalu bagaimana dengan perasaan ibu saya yang diam-diam menelan sendiri kesepian dan kesedihannya karena harus buka puasa sendirian? Mengapa saya bisa merasa enak-enak saja meninggalkan beliau sendiri sementara saya makan enak di luar? Oh, jangan-jangan saya sudah jadi anak durhaka.


Kalau mendengar "drama" satu babak tadi, agaknya bukan cuma ibu saya yang mengalami "kasus" seperti itu. Dan saya yakin, hal serupa dialami juga oleh ibu-ibu di tempat lain. Tatkala semestinya bulan yang penuh berkah ini bisa menyatukan anggota keluarga dalam ritual berbuka dan sahur, mengapa justru peluang itu tidak saya manfaatkan dan malah saya sibuk makan di luar. Bukankah kegiatan "makan di luar" telah hampir setiap hari saya lakukan selama ini?


Jadi sekarang baiknya gimana ya? Apakah mulai hari ini dan seterusnya saya berbuka di rumah saja? Atau apakah harus saya atur kembali jadwalnya, selang-seling dengan buka di luar?


Selagi saya masih sibuk berpikir, tiba-tiba ponsel saya berdering. Panggilan dari seorang teman. Saya tahu, dia pasti ingin mengingatkan kembali ihwal acara buka puasa bersama petang nanti di sebuah resto di bilangan Cikini. Saya angkat atau tidak, ya?***

Rabu, 21 Mei 2008

Kutu Buku


“Setiap bulan sedikitnya saya membeli 300 buku,” demikian budayawan Raufik Rahzen (45) bertutur di sebuah perhelatan kutu buku bertajuk “Temu Blogger Buku” di Kafe Matahari/Domus, Jakarta, Sabtu (17/5) pekan lalu. “Kadang-kadang bisa juga sampai 600 buku,” tambahnya lagi seolah belum puas mengejutkan para hadirin yang berjumlah seratusan orang itu dengan angka 300-nya, termasuk saya yang kebetulan bertindak sebagai moderator.

Hah? Enam ratus sebulan? Oh..oh…tetamu di ruangan bernuansa remang-remang siang itu yang berani-beraninya mengaku kutu buku, kudu menjura seratus kali kepada pria berkaca mata itu, lagi-lagi, termasuk saya yang telah dengan sombongnya gembar-gembor ihwal penyakit belanja buku; padahal cuma mampu beli buku lima biji sebulan. Buat saya, dan mungkin mayoritas rakyat Indonesia, buku masih menjadi barang mewah yang mahal.

Namun, masih menurut Ketua Yayasan Blora ini, rendahnya minat baca masyarakat kita tidak terkait dengan harga buku yang mahal. Sebab, jika orang sudah suka membaca, ia akan mencari berbagai upaya untuk mendapatkan buku-buku yang ingin dibacanya. Pengagum berat Pramoedya Ananta Toer ini mencontohkan pengalamannya sewaktu masih di kampungnya di Sumbawa dahulu. Ia rela berjalan kaki menempuh jarak sepanjang 35 km demi bisa membaca buku. Sekali lagi, kami dibuat melongo dan akhirnya mesti ikhlas mengakui, bahwa beliau memang pecandu buku sejati.

Buku, semua kita tahu, lewat huruf-huruf di pagina-paginanya telah membukakan jendela bagi mereka yang mengakrabinya. Dan sejarah negeri ini telah mencatat tentang para founding fathers-nya yang kutu buku.

Tengoklah seabad lalu, ketika para pemuda pemberani di sebuah negeri jajahan bernama Hindia Belanda, ramai-ramai berkonggres, membincang nasib tanah air mereka yang merana di bawah kangkangan Belanda. Dimotori oleh seorang dokter lulusan STOVIA–Sekolah kedokteran zaman itu–Wahidin, terbentuklah organisasi pemuda pertama yang diberi nama Budi Utomo. Keanggotaan awalnya terdiri dari para mahasiswa STOVIA itu. Kemudian pada 20 Mei 1908, bertempat di Yogyakarta, Budi Utomo menggelar konggres pemuda pertama. Kelak, hari itu dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Republik ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Dua puluh tahun berikutnya, jejak mereka diikuti oleh para penerus dengan mengumandangkan ikrar kebangsaan, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, di Batavia. Tepatnya di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng (28 Oktober 1928). Tokoh-tokoh pemuda yang hadir di antaranya Muhammad Yamin dan Amir Sjarifudin. Sementara itu, lewat caranya sendiri Soekarno, Hatta, dan Sjahrir melakukan perlawanan dengan mendirikan partai politik.

Tengoklah biografi para pemuda pemberani itu: Wahidin, Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, dan kawan-kawan. Mereka semua kutu buku. Kesadaran dan pencerahan yang mereka alami di antaranya mereka peroleh lewat bacaan-bacaan : literatur, koran, dan majalah. Mereka para pembaca yang rakus, melahap buku apa saja seperti makhluk dari golongan omnivora. Buku-buku telah membangkitan keberanian mereka untuk berontak, melawani kezaliman pemerintah Belanda. Buku-buku pula yang telah mengobar-ngobarkan semangat mereka untuk merdeka, bebas dari belenggu penjajahan.

Yang lebih membanggakan lagi, mereka tak hanya berhenti pada membaca. Mereka juga menulis; melakukan perlawanan lewat tulisan-tulisan di media massa yang terbit kala itu dan membuat gerah para meneer penguasa. Satu per satu anak-anak “nakal” itu pun ditertibkan dengan jalan dibui atau diasingkan ke sebuah nusa yang jauh dari ibu kota.

Namun, ternyata penjara dan pengasingan tak lantas menyurutkan semangat perlawanan anak-anak muda ini. Dari tempat pembuangan itu, dengan ditemani buku-buku, mereka terus menulis dan menyebarluaskan gagasan kemerdekaan ke dunia luar. Sebab, mereka pasti sepakat, bahwa menulis adalah juga sebuah tindakan revolusioner.

Jika tak segan menoleh lebih ke belakang lagi, kita akan bertemu Kartini, seorang raden ayu berpendidikan sekolah rendah Belanda yang telah mencengangkan dunia lewat surat-suratnya. Surat-surat itu tak semata berisi curahan hati si gadis Jawa, tetapi juga memuat pikiran-pikiran dan keprihatinan Kartini kepada rakyat kecil yang menderita di bawah tindasan para penguasa (Belanda dan priyayi Jawa). Dari mana gadis lugu yang sejak umur 12 tahun dipingit itu memiliki kesadaran sedemikian rupa? Dari mana lagi kalau bukan dari buku-buku yang diperolehnya melalui sahabat-sahabat korespondensinya.

Mendadak saya iseng membayangkan, andaikata waktu itu teknologi internet dan blog sudah ada, tentu Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, Kartini, Tan Malaka, dan gerombolan “anak nakal” lainnya, pasti akan ramai-ramai nge-blog. Dan tentu Indonesia tak perlu menunggu selama 350 tahun plus 3,5 tahun untuk merdeka.

Dan pekan lalu, agaknya Taufik Rahzen beserta segenap penyelenggara acara, ingin menyebar-nyebarkan virus dan mengajak sebanyak-banyak orang menjadi kutu buku lewat kebiasaan membaca dan menulis (blog). Mungkin apa yang dilakukan oleh Taufik Rahzen dan gerombolannya hanyalah ibarat setetes air di tengah samudera, namun semoga bisa menyegarkan.

Saya akhiri tulisan sok tahu ini dengan mengutip sajak “Di Toko Buku” milik penyair Hasan Aspahani yang juga teramat mencintai buku:

Diam-diam aku sedang mempersiapkan
Sebuah kematian yang paling sempurna:
Dikuburkan di dalam buku. Engkau tahu?
Buku akan hidup abadi. Tak mati-mati!

Barangkali saja, kelak dalam perjalananku
Dari halaman-halamanmu, duhai Bukuku,
Duhai Kuburku, duhai Kekasih Abadiku,
bisa kutemukan pertanyaan teka-tekimu,
bisa kudengar apa saja yang dikata Waktu
.***

Kamis, 15 Mei 2008

Minyak


“Tahun depan nggak ada lagi metro mini, angkot, atau bis kota di Indonesia. Semua bakal diganti dengan dokar dan andong. Hemat energi!”

Kalimat di atas bukan statement seorang menteri, pengamat politik, atau pakar transportasi, tetapi diucapkan oleh seorang sopir metro mini dengan logat bataknya yang kental dan khas. Saya yang duduk pas di belakangnya, jadi senyum-senyum sendiri mendengar celoteh sopir itu.

Ramai-ramai berita tentang rencana pemerintahan menaikkan harga BBM telah menimbulkan aneka reaksi di masyarakat. Kabar tersebut telah menyengat banyak kalangan, terutama rakyat kecil yang hidupnya sudah susah dengan harga minyak yang sekarang. Tak heran apabila sopir metro mini tadi berkomentar seperti itu. Ia bagian dari masyarakat ekonomi kelas bawah yang bakal sangat direpotkan dengan kenaikan tariff tersebut. Sebab, kenaikan tarif BBM tentu akan memicu pula kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Bahan bakar adalah kebutuhan dasar yang berkait erat dengan banyak sektor kehidupan.

Beberapa hari sebelumnya, Enok, pembantu di rumah kami, juga ikut ribut mengenai rencana pemerintah itu. Dengan peluh berleleran di keningnya, ia berkicau, bahwa betapa akan susahnya hidup bagi dia dan keluarganya jika sampai harga minyak tanah mencapai Rp 8.000,00 per liter. Sekarang saja dengan harga Rp 5.000,00 dia sudah cukup repot. Untunglah tak lama kemudian dia kebagian jatah kompor gas tabung hijau gratis dari pemerintah. “Tapi saya masih takut memakainya, Bu. Takut meledak,” ujarnya polos.

Kekhawatiran Enok barangkali karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ihwal kompor gas gratis itu termasuk penjelasan tentang maksud dan tujuan program konversi dari minyak tanah ke gas, sehingga masyarakat tidak paham. Akibatnya banyak yang kemudian malah menjual kompor dan tabung-tabung gas jatahnya dengan harga Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00 dan mereka tetap menggunakan kompor minyak tanah seperti semula.

Belum lagi adanya gangguan dari oknum-oknum tertentu yang “melenyapkan” gas dari pasar, membuat harga gas melambung ke langit. Teman saya di Bandung sampai harus mencari gas di Bogor karena di tempatnya sudah tidak ada. Tetapi dia harus kecewa karena ternyata di Bogor pun gas “menghilang”. Para pengusaha restoran dan hotel di sepanjang Cisarua sempat panic juga beberapa hari sebelum akhirnya gas-gas dalam tabung biru itu tersedia kembali.

Ah, ya, menyebut Bogor saya jadi ingat sekitar dua pekan silam saat saya menuju daerah Puncak. Waktu itu saya naik angkutan kota warna biru jurusan Bogor-Cisarua. Sampai di pasar Cisarua, seorang ibu muda naik ke angkot saya. Maksud saya, angkot yang saya tumpangi. Ia membawa banyak jinjingan di kedua belah tangannya. Mukanya yang berpupur putih itu mengilat oleh butiran peluh. Dia meletakkan barang-barang bawaannya di lantai angkot. Saya menduga, ibu ini pasti pedagang.

“Buat jualan ya, Bu?” Saya memulai percakapan setelah ia duduk manis di pojok. Kebetulan kami Cuma berdua saja di angkot itu. Bertiga dengan sopir.

“Iya,” ibu itu menyahut sambil mengelap keringat di keningnya.

“Jualan apa, Bu?”

“Buka warung. Icalan gorengan. Cau, tempe, tahu, bala-bala”. Icalan itu artinya jualan, sedangkan cau adalah bahasa Sunda untuk pisang. Kalau bala-bala sudah tahu, kan? Itu bakwan. Kalau bakwan tidak mengerti juga, ya sudah, ke laut aja.

“Di mana jualannya, Bu?” Saya bertanya lagi yang dijawabnya dengan menyebut nama sebuah tempat wisata di kawasan Puncak.

Salah satu bawaan ibu itu adalah jeriken minyak yang terisi penuh. Saya tidak tahu itu minyak goreng atau minyak tanah.

“Ini minyak tanah, Bu?” Saya menunjuk jeriken warna putih bekas kemasan minyak goreng isi 5 kilogram.

Muhun,” jawab ibu itu, lagi-lagi dalam bahasa Sunda yang artinya iya.

“Berapa seliter?”

Tilu rebu” Tiga ribu. Heran, dia kok masih terus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan bahasa Sunda. Untung saya mengerti walau hanya sedikit. Gini-gini saya orang Sunda juga. Bapak saya kelahiran Majalengka dan ibu saya orang Bekasi.

“Masih murah ya, Bu. Di Jakarta sudah enam ribu, loh,” kata saya teringat Enok, pembantu kami yang lugu itu.

“Sebetulnya di koperasi lebih murah lagi. Cuman dua rebu setengah. Tapi tos dua dinten persediaanana teu aya”. Harga di koperasi lebih murah lagi, cuma dua ribu lima ratus rupiah, tetapi sudah dua hari tidak ada persediaan. “Tapi minyak ini cuma saya pakai buat jualan saja. Buat masak di rumah saya pakai kayu bakar”, ia menambahkan.

Hah? Kayu bakar? Hari gini masih ada yang memasak dengan kayu bakar dan itu di Bogor, berjarak hanya dua jam saja dari Jakarta? Apa saya tidak salah dengar?

“Kayu bakar, Bu?” Saya menegaskan, takut salah dengar.

“Iya, Neng, kayu bakar. Habis minyak mahal sih.”

“Lalu, Ibu dapat kayunya dari mana?” Saya sungguh penasaran, sebab ibu itu tinggal di daerah wisata yang penuh bertaburan hotel dan vila-vila mewah tapi kok masih memasak dengan cara primitif.

“Saya cari di hutan,” sahutnya, “kadang-kadang juga di kebon enteh.” Maksudnya, kebun teh.

“Yang ibu pakai itu ranting-rantingnya yang jatuh atau dari menebang?” Kejar saya sembari berharap semoga dia pilih jawaban yang pertama.

“Dulu sih cuma mungutin ranting-rantingnya yang kering. Tapi sekarang karena semakin banyak yang masak pakai kayu, jadi terpaksa menebang pohon juga.”

Oh..akhirnya saya harus mendengar jawaban yang saya takutkan itu. Menebang pohon untuk kayu bakar! Berapa banyak dan sampai kapan?

Mendadak melintas dalam bayangan saya hutan-hutan (lindung) di Puncak yang botak ditebangi. Sekarang saja sebagian lahan yang seharusnya untuk daerah resapan air sudah dipenuhi bangunan-bangunan mewah milik orang-orang kaya Jakarta. Tanah di kawasan jelita tersebut sudah ramai-ramai dikapling para miliuner ibu kota. Dengan atau tanpa IMB. Sempat juga diributkan soal IMB ini ketika terjadi banjir besar di Betawi tiga tahun lalu (2005). Namun, tentu saja heboh itu hanya sekadar sandiwara belaka, agar kelihatan pemerintah serius menangani soal bencana bah yang menenggelamkan ibu kota negara itu. Setelah reda dan orang bosan membincangnya, berhenti pula “sinetron” itu.

“Katanya banjir di Jakarta itu karena pohon-pohon di Puncak ditebangi, ya?” Sekonyong-konyong ibu pedagang itu bicara lagi. Saya tersenyum saja, tidak berkata apa-apa. “Ya, biar tahu rasa deh orang-orang Jakarta. Habis minyak mahal jadi terpaksa masak pakai kayu”. Kali ini si ibu tersenyum malu-malu. Mungkin sebenarnya ia pun merasa bersalah juga atas tindakannya turut mencukur hutan-hutan di wilayahnya seperti para orang kaya Jakarta itu. Hanya bedanya, kalau orang Jakarta menggunduli hutan demi kesenangan, sedangkan ibu itu untuk menyambung hidupnya.

Tak lama kemudian “nara sumber” saya itu pun turun, meninggalkan saya sendiri di dalam angkot. Sayup-sayup dari kabin sopir, terdengar alunan vokal Iwan Fals menyanyikan lagu lawasnya yang bertitel Galang Rambu Anarki:

BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi….

Sementara itu di luar jendela menyajikan tamasya indah deretan bukit hijau gelap merimbun menggerumbul. Mendekati kilometer 90, di kanan kiri pemandangan bertambah cantik oleh hamparan “karpet” hijau perkebunan teh Gunung Mas yang sudah ada sejak zaman kolonial dahulu. Akan berapa lama lagikah keelokan itu sanggup bertahan? Saya cepat-cepat mengeluarkan kamera saku dan memotretnya, memerangkap, mengabadikan keindahan itu. Siapa tahu, sepuluh tahun lagi semuanya sudah tiada.***ENDAH SUKLWESI

Kamis, 08 Mei 2008

GURU


Seharusnya saya jadi guru kalau mau setia pada latar belakang studi saya yang jurusan Pendidikan Geografi IKIP Jakarta (sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta-UNJ). Atau jika hendak bersetia pada “profesi turunan” di keluarga besar saya. Kakek saya guru. Dua orang paman saya juga guru. Beberapa sepupu saya pun ikut-ikutan melanjutkan pekerjaan mengajar dan mendidik itu. Ya, mungkin ini berkait erat dengan persoalan darah.

Namun, ternyata saya memilih “berkhianat” dengan bekerja di bidang lain yang sama sekali jauh dari predikat pengajar. Apalagi pendidik sejati seperti kedua orang paman saya di Cirebon dan Majalengka.

Adik lelaki ayah saya yang di Cirebon, saya memanggilnya Mang Mamat, adalah pensiunan guru. Jabatan tertinggi yang dipegangnya sebelum pensiun adalah kepala sekolah SD Inpres di Cirebon. Sosoknya yang kurus ringkih benar-benar sesuai dengan sosok guru desa zaman dulu. Tubuhnya yang ceking kering itu setiap hari, enam hari dalam seminggu, dibalut seragam cokelat dekil plus sabuk kulit kusam melilit pinggangnya yang ramping. Di kepalanya yang krisis rambut nangkring sepucuk kopiah hitam kecokelatan yang bulu-bulu beludrunya sudah rontok, pertanda seharusnya sudah diganti. Dengan sepeda ontel tuanya, paman saya pergi mengajar. Tas hitam kulit (buaya) imitasi diikat erat di boncengan. Persis Umar Bakri, sosok guru rekaan Iwan Fals.

Sekali waktu saya pernah bermalam di rumah petak beliau, di belakang bangunan anggun keraton Kasepuhan Cirebon yang tembok pagarnya sudah mulai doyong. Pada saya paman bercerita, bahwa sebagian anak didiknya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, sehingga kerap menunggak bayaran sekolah sampai berbulan-bulan. Atau mereka membayarnya dengan hasil ternak dan hasil bumi, seperti: ayam, telur ayam, dan pisang. Serasa kembali ke zaman perundagian.

Jangan lagi bicara soal gaji dan tunjangan. Paman saya sering harus merogoh saku untuk pangadaan kapur tulis di sekolahnya. Zaman itu tentu belum ada dana BOS (biaya operasional sekolah) seperti sekarang yang oleh beberapa sekolah justru diselewengkan untuk kepentingan lain (misalnya satu sekolah di kawasan Jakarta Timur ada yang memakai dana BOS untuk memasang AC di ruang kepala sekolahnya). Paman saya tidak pernah sampai hati mengusir murid yang telat bayar SPP walaupun untuk itu ia akhirnya terpaksa harus “main akrobat”, memutar anggaran yang teramat minim dari pemerintah. Kini, ia tengah menikmati masa pensiunnya bersama anak, istri, serta dua orang cucu.

Hanya sepelemparan batu dari Cirebon, ada lagi seorang paman saya yang jadi guru. Tepatnya di Kabupaten Majalengka. Tak jauh berbeda dengan saudaranya yang di Cirebon, paman saya di Majalengka ini juga sering menerima bayaran SPP berbentuk non-duit. Malah lebih parah lagi, ada yang membayarnya dengan daun pisang dan kayu bakar. Karena di rumah paman saya menggunakan kompor minyak, maka kayu-kayu bakar tersebut dibiarkan saja menumpuk di halamannya.

Memang cerita tadi terjadi dalam rentang waktu 10 tahun lalu. Cerita duka dari masa “pra sejarah”. Tapi entah, apakah kisah serupa masih terjadi di masa kini, barangkali di belahan lain bumi pertiwi yang masih belum terjangkau teknologi? Agaknya demikian. Belum lama ini saya masih menyaksikan tayangan feature di sebuah stasiun tv swasta nasional ihwal anak-anak bangsa yang harus berjalan jauh menempuh jarak berkilo-kilo meter, menyeberang sungai, melintas desa untuk bisa sampai ke sebuah bangunan reyot bernama sekolah. Anak-anak lugu berkulit kelam dekil bersisik itu dengan riang menebas jarak dengan ceker ayam menuju sebuah tempat di mana cita-cita tentang masa depan lebih cerah digantungkan. Mereka dekat saja. Hanya beberapa jam dari ibu kota negara: Tasikmalaya.

Sungguh amat kontras dengan Jakarta. Setiap pagi saya menyaksikan gerombolan pelajar dari SD hingga SMA yang riuh rendah bergurau dan cekikikan di bus kota. Rata-rata mereka memiliki telepon seluler dengan model paling baru. Seragam mereka kinclong. Dari tubuh-tubuh sehat itu menguar wewangian aneka cologne beraroma sari buah dan bunga. Canda tawa mereka begitu segar dan ceria, seakan-akan tak ada yang mereka cemaskan, bahkan UAN yang penuh intrik itu pun rasanya tak mampu merampas kegembiraan mereka.

Omong-omong soal UAN (ujian akhir nasional) ternyata banyak menyimpan cerita “misteri” di baliknya. Seorang teman di Tangerang bertutur berbagi gosip ihwal pelaksanaan UAN di sekolah anaknya. Ia bilang, sembari berbisik-bisik sebab kami bergunjing di kafe yang lumayan penuh, bahwa di sekolah anaknya ada tim sukses UAN yang terdiri dari para guru dan diketahui serta direstui oleh kepala sekolah.

Tim sukses? Apa pula itu? Ternyata itu adalah sebuah tim yang sengaja dan dengan sadar dibentuk oleh sekolah yang bersangkutan demi meluluskan anak-anak didik mereka. Jadi setelah kertas ujian dikumpulkan, akan dikerjakan lagi oleh tim sukses tersebut, dibetulkan jawaban-jawaban yang salah. Tujuannya agar nilai ujian anak-anak itu terkatrol dan jika prosentase yang lulus tinggi, maka sekolah mereka akan naik peringkat.

Oh, saya benar-benar terhenyak. Apakah sudah sedemikian parahnya yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita? Siapa yang salah kalau sudah begini? Pemerintah? Para guru? Sistem?

Saya jadi ingin bernostalgia ke masa sekolah dulu. Pada zaman saya, ujian akhir kelulusan ini disebut Ebtanas (Evaluasi belajar tahap akhir nasional) dan wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas terakhir di SD, SMP, dan SMA. Hasilnya nanti berupa NEM (nilai ebtanas murni) yang sama sekali tidak menentukan kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh nilai yang tertera di ijasah yang merupakan hasil testing seluruh mata pelajaran. Nantinya, NEM hanya berpengaruh bagi penerimaan di sekolah selanjutnya. Semakin baik peringkat sekolah, biasanya semakin tinggi persyaratan minimal NEM yang dipatok.

Tetapi kini rupanya zaman telah berganti. Sistem NEM tak dipakai lagi. Mulai tiga tahun lalu UAN-lah yang resmi digunakan sebagai metode pengujian siswa. Saya tak tahu persis binatangnya seperti apa, namun yang saya baca, dengar, dan saksikan, selama pelaksanaan UAS ini banyak pihak yang stres. Mulai dari siswa, guru-guru, para penguji, hingga orang tua murid. Semua berkeringat dingin, cemas menghadapi UAN. Gosip tak sedap pun meruak tentang soal-soal ujian yang bocor, tentang jual beli kertas ujian, dan tentang tim sukses tadi. Ironisnya, hal ini terjadi pada hari Pendidikan Nasional. Lebih memelaskan lagi, konon, semua itu justru dilakukan oleh oknum-oknum pendidikan yang seharusnya menjadi teladan para murid. Ah..semoga saja itu cuma sekadar gosip murahan yang tidak terbukti kebenarannya. Tapi bagaimana kalau ternyata benar?

Lalu, seandainya saya tidak “berkhianat” dan memilih menjadi guru, apakah saya akan mampu menghadapi kondisi seperti ini? Masihkah saya sanggup bersetia kepada idealisme?***

Selasa, 29 April 2008

Jodoh


Siapa yang bisa mengetahui dengan pasti tibanya jodoh? Konon, ia datang seperti ajal, bisa melalui proses yang panjang–lewat sakit, luka, dan jatuh bangun–atau secara tiba-tiba dan tak terduga. Hari ini berkenalan dan jatuh cinta, seminggu kemudian menikah. Atau berabad-abad menjalin kasih, ternyata tidak jadi menikah.

Beberapa waktu lalu datang seorang teman adik saya, perempuan muda berusia 32 tahun. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan adikku, tetapi petang itu adikku telat pulang sehingga aku yang menemaninya mengobrol. Mari kita namai ia Bunga.

Pada saya Bunga berbagi semacam kesedihan. Ayah ibunya hendak menangguhkan pernikahannya karena kakak perempuan Bunga belum menikah. Menurut adat dan kepercayaan yang diyakini keluarganya, Bunga tidak boleh melangkahi kakaknya itu. Pamali, kata ibunya, kasihan kakakmu nanti jadi susah jodohnya.

“Memang kakakmu umur berapa?” tanya saya mulai iseng.
“Tiga puluh lima,” sahut Bunga.
“Apakah ia memang berencana menikah?” lanjut saya.
“Nah itu dia, Mbak, kakakku masih jomblo.

Hm, saya jadi ingat tiga tahun silam. Sepupu saya, perempuan, juga mengalami kasus yang hampir serupa. Bedanya, ia yang dilangkah adik perempuannya. Seminggu menjelang hari perkawinan adiknya itu, ia minggat dari rumah. Menghilang. Membuat panik seluruh keluarga. Di kantor, ia pamit cuti selama satu pekan. Semua temannya tak ada yang bisa memberikan informasi ihwal keberadaannya.

Namun, untunglah. Sebelum jadi menyewa jasa detektif swasta untuk melacak jejaknya, pada hari ketiga kepergiannya, ia menelepon saya. Dia baik-baik saja dan selama ini tinggal nyaman di sebuah kamar hotel.

“Mengapa kabur?” tanya saya.
“Tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa takut sekali menghadapi hari itu,” jawabnya dengan suara sedih.
“Apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah merestui adikmu menikah?”
“Ya, aku tidak keberatan dia menikah duluan. Tetapi aku tidak sanggup membayangkan pada hari pernikahan nanti semua hadirin akan menatapku dengan pandangan iba karena aku dilangkah.”

Oh, sampai sebegitunya ternyata yang dirasakan sepupu saya yang waktu itu berusia 37 tahun. Sama seperti kakaknya Bunga, sepupu saya ini juga belum punya kekasih. Entah apa alasan sebenarnya, tetapi yang kelihatan oleh saya ia begitu sibuk mengurusi keluarganya. Sejak ayah mereka meninggal, sebagai sulung dialah yang mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Semua biaya kuliah adiknya yang 3 orang menjadi tanggungannya. Mungkin itulah sebabnya hingga kini ia masih melajang.

“Jangan pikirkan orang lain deh,” kata saya berusaha menenangkannya, “Pikirkan saja adik dan ibumu. Mereka sedih banget tuh kamu kabur.”
“Ya nanti kalau sudah tenang aku pasti pulang,” jawabnya, “Justru aku juga sedih memikirkan ibu nanti yang malu punya anak perawan tua kayak aku.”

Ucapannya itu membuat saya terdiam karena jadi teringat diri saya sendiri. Tiga kali saya dilangkah. Saya tidak pernah merasa keberatan dengan pernikahan adik-adik saya. Tidak ada hak saya melarang atau meminta mereka menunda pernikahan. Apa lagi saya memang sudah berniat being jomblo forever. Jika pun tidak, bagi saya hal tersebut tidak jadi masalah. Yang lahir duluan tidak mesti menikah duluan. Sungguh akan sangat tidak adil bagi adik-adik saya jika saya sampai menghambat rencana mulia mereka demi alasan yang sama sekali tidak rasional.

“Aku juga tidak mau ada acara langkahan,” sepupu saya melanjutkan teleponnya.
Ritual langkahan ini biasanya berlangsung menjelang akad nikah. Sang adik yang jadi pengantin hari itu mesti memohon restu kepada kakaknya dengan menyerahkan sejumlah “upeti”. Lazimnya berupa seperangkat perhiasan (kalung, gelang, cincin, anting-anting, dll).

Saya pernah sangat “menderita” ihwal pelangkah ini. Waktu itu adik lelaki saya yang akan menikah. Sejak jauh-jauh bulan dia sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, seperti gedung, katering, perias pengantin, dan termasuk pelangkah untuk saya. Setiap ada kesempatan dia selalu bertanya pelangkah apa yang saya inginkan. Siang malam saya dikejar-kejar terus. Tadinya saya tak mau ambil pusing dengan segala tetek bengek itu. Tidak penting. Lagian, dari pada untuk beli pelangkah demi pamali itu, mendingan uangnya untuk hal lain yang lebih berguna.

Karena setiap hari terus diuber-uber, akhirnya saya mengalah. Baiklah, kata saya, tetapi saya tidak mau segala rupa perhiasan itu. Saya ingin satu set ensiklopedi Islam. Biar tahu rasa anak itu, batin saya sambil nyengir jahil. Saya pikir dengan minta pelangkah seharga 2,5 juta itu, adik saya akan menyerah dan berhenti memburu-buru saya. Ini sih sekadar akal-akalan saya saja.

Namun, keesokan paginya saya terkejut. Di atas meja tamu tergeletak beberapa lembar brosur ensiklopedi Islam yang saya inginkan itu. Saya jadi tersentuh. Tiba-tiba saya merasa telah berlaku kejam terhadap adik saya. Mendadak saya ingin menangis. Ternyata adik saya menanggapi serius gurauan itu. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh meskipun saya sangat ingin memiliki ensiklopedi tersebut.

Maka, siang harinya saya sms adik saya. Saya katakan, bahwa dia tak perlu membelikan ensiklopedi mahal itu. Kalau memang tetap harus ada pelangkah sebagai syarat yang diwajibkan adat, dia boleh membelikan saya apa saja. Saya akan menerimanya. Dan seminggu menjelang pernikahannya, saya mendapatkan pelangkah keramat itu : Novel Senopati Pamungkas jilid 1 dan 2 yang segede-gede bantal. Wah, kalau ini sih saya tak sanggup menolaknya. Sekarang, adik saya anaknya sudah hampir dua.

Kembali ke sepupu saya. Akhirnya setelah berhasil meyakinkan dia bahwa tidak akan ada acara langkah melangkah pada hari pernikahan adiknya kelak, telepon pun ditutup dengan janji ia akan segera pulang. Dan ia menepati janjinya. Sehari sebelum hari “H”, dia muncul, membuat semua orang menangis lega dan terharu.

“Aku iri sama Dian, “ tiba-tiba Bunga berkata memecah lamunan saya. Dian itu adik saya.
“Iri kenapa?” Saya bertanya.
“Ya, waktu Dian minta izin menikah Mbak dan keluarga tidak ada yang keberatan.”
“Apakah kakakmu keberatan?” Saya penasaran.
“Kakakku sebenarnya tidak apa-apa, tapi ayah ibu kami yang tidak merestui. Pamali, kata mereka.”

Nah itu dia! Akar persoalannya lagi-lagi soal kultur. Orang tua Bunga masih sangat meyakini kebenaran pamali dan mitos yang bersumber dari budaya tradisional. Pamali dan mitos-mitos itu seolah-olah sengaja diciptakan hanya bagi perempuan. Pamali ini itu tidak berlaku bagi golongan pria. Coba lihat saja, selalu hanya anak gadis yang serba diatur. Tidak boleh bersuara selagi makan, tidak pantas tertawa terbahak-bahak, tidak elok berdiri di depan pintu, tidak boleh makan pisang ambon, nanas, tunggir ayam, dan lain-lain.

Tak pernah ada pamali buat lelaki. Lelaki boleh menikah kapanpun dia siap dan sah-sah saja dilangkahi adik-adiknya. Tak ada pantangan buat lelaki dalam hal makan atau bersikap. Lelaki boleh melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dunia merestuinya.

Lalu bagaimana dengan Bunga? Entahlah, sampai hari ini saya tidak mendengar kabarnya lagi, tetapi yang jelas kelak bila saya punya anak saya akan bersikap adil pada anak-anak saya. Eh, tapi saya kan tidak mau menikah, ya? ***

Rabu, 23 April 2008

Kondom

Kira-kira sebulan silam saya mendapat sebuah sms dari seorang teman lama. Bunyinya begini: “Alhamdulillah, telah lahir dengan selamat putri kelima kami, Siti Zahra Saskia, pada tgl. 9 Maret 2008 jam 08.25 di rumah sakit Hermina Bekasi. Berat 2,8 kg, panjang 47 cm”. Reaksi pertama saya adalah terkejut. Bukan apa-apa, tetapi hari gini masih ada yang punya anak sampai 5? Oh…

Seminggu berikutnya saya sempatkan menengok mereka sekeluarga. Rumah mereka kebetulan tidak jauh dari rumah saya. Suami istri ini adalah teman-teman saya semasa di bangku SMP. Mereka sudah pacaran sejak di SMP dan menikah tak lama setelah tamat kuliah. Saya hadir di pernikahan mereka. Teman saya yang perempuan sebelum menikah sempat bekerja sebagai tenaga konsultan di sebuah sekolah Islam terpadu. Tetapi tak lama kemudian berhenti karena hamil. Dan sampai sekarang tidak pernah bekerja kembali.

“Repot, Ndah. Nggak sempat kerja deh. Ngurus suami dan anak-anak aja sudah cape,” katanya pada sebuah kesempatan saya bertandang ke rumahnya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu anaknya baru tiga orang. Perempuan semua. Cantik-cantik seperti ibu dan ayahnya.

Sekarang anaknya lima orang. Yang sulung berumur 12 tahun. Saat bertemu itu, teman saya kelihatan lemah sekali. Tidak seperti lazimnya perempuan yang habis melahirkan, ia tampak kurus dan pucat. Rumahnya berantakan. Mainan anak-anak berserakan di setiap penjuru rumah. Bau pesing ompol dan susu memenuhi udara di kamar tidur dan ruang tengah. Di ruang tengah itu terhampar selembar kasur di depan sebuah pesawat televisi 21 inci. Pakaian kotor menggunung di salah satu pojoknya. Jemuran pakaian bayi dan handuk-handuk bergelantungan di kamar belakang yang bersatu dengan dapur.

Dapurnya tak kalah berantakan. Piring dan gelas kotor menumpuk di bak cuci piring, meruapkan aroma makanan basi. Lantai dapurnya terasa lengket di kaki saya. Barangkali sudah berhari-hari tidak tersentuh kain pel. Singkatnya, rumah itu kacau-balau seperti kapal pecah.

“Sorry berantakan, Ndah. Pembantuku lagi pulang kampung, ibunya sakit,” kata teman saya, kita sebut saja namanya Sari, meminta maaf atas ketidaknyamanan rumahnya. Saya cuma tersenyum maklum. Ya, pasti repot sekali mengurus rumah tangga dengan lima orang anak kecil.

“Sari, memang kamu tidak KB, ya?” akhirnya tercetus juga pertanyaan yang memang sudah saya siapkan dari rumah. Kami mengobrol di ruang tengah sambil Sari menyusui bayinya.

“Nggak. Nggak boleh sama suamiku,” sahutnya pelan.

“Atau suamimu yang pakai ..hm…kondom mungkin?” tanya saya lagi penasaran.

“Nggak juga. Mana mau dia pakai kondom,” jawab Sari dengan wajah sedikit memerah.

“Lah, berarti kamu masih mungkin melahirkan lagi dong,” kata saya. Tanpa sadar nadanya meninggi.

Sari cuma bisa nyengir kuda. “Ya gimana lagi? Aku kan mesti nurut suami”.

Saya hanya bisa garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Saya kasihan melihat kondisi Sari yang tampak kuyu dan jauh lebih tua dari usianya. Tak ada lagi Sari yang lincah dan suka tertawa terbahak-bahak. Sari yang ada di hadapan saya adalah seorang perempuan kurus, layu, dan acak-acakan dengan daster batik kusam. Sari seperti telah lupa caranya berdandan.

“Sebaiknya setelah ini kamu tidak melahirkan lagi, Sar,” saya mulai usil menggurui. Tahu apa saya soal anak dan melahirkan? Keusilan saya semata-mata didorong oleh keprihatinan menyaksikan kondisi Sari.

“Suamiku sih janji, kalau sudah dapat anak lelaki baru berhenti,” kata Sari sambil menepuk-nepuk bayinya.

“Laki perempuan kan sama saja, Sar,” lagi-lagi saya kembali sok tahu.
“Kamu kan tahu gimana orang Batak terhadap anak lelaki,” sahut Sari.

Mendengar jawaban Sari saya jadi merenung. Apakah Sari benar-benar tak kuasa menolak keinginan suaminya untuk terus melahirkan dan baru berhenti jika sudah dapat anak lelaki? Aku tidak tahu apakah Sari terpaksa atau tidak menuruti semua kehendak suaminya itu. Padahal sebagai pemilik rahim, Sari sangat berhak untuk menentukan kehamilannya terutama demi pertimbangan kesehatannya (hak reproduksi).

Dalam hal kesehatan reproduksi, yakni suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi (definisi ini diluncurkan pertama kali 1994 pada konferensi internasional yang membahas populasi penduduk dunia dan pembangunan di Kairo, Mesir),perempuan diakui memiliki 4 macam hak dasar, yaitu:
Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual.
Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan;
Hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya;
Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.

Keempat hak dasar reproduksi tersebut disepakati dan dicetuskan di Beijing tahun 1995 pada Konferensi Dunia tentang Perempuan IV.

Dari keempat hak-hak itu termasuk di dalamnya hak untuk memilih alat kontrasepsi. Sayangnya, alat kontrasepsi yang tersedia sekarang lebih banyak ditujukan untuk perempuan. Padahal sudah cukup banyak “tugas” perempuan dalam urusan reproduksi: hamil, melahirkan, menyusui. Masa sih untuk soal kontrasepsi masih juga harus perempuan yang menjalani? Mestinya bagian ini menjadi porsi suami (lelaki).

Tentu saya belum pernah mengalami sendiri menggunakan alat kontrasepsi, namun dari pengalaman beberapa teman wanita saya mendapatkan cerita yang kurang sedap. Alat-alat pengatur kehamilan itu beberapa banyak yang berefek samping tidak menyenangkan, seperti kegemukan, flek-flek di wajah, nyeri saat berhubungan seks, sakit dan tidak lancer ketika menstruasi, pusing-pusing, hingga perdarahan.

Bukan bermaksud mendukung Julia Perez yang menghadiahkan kondom bagi setiap pembelian CD album lagu-lagu dangdutnya–walaupun saya setuju dengan niatnya mengampanyekan kondom sebagai pencegah bahaya HIV/AiDs–agaknya kondom bisa jadi alternatif cara ber-KB yang aman dan tanpa efek samping. Kondom relatif aman sebab benda tersebut digunakan di luar, tidak mesti diselundupkan ke dalam tubuh seperti halnya alat-alat kontrasepsi untuk perempuan (spiral, pil, suntik, dll).

Saat saya pamitan pulang, saya peluk Sari tanpa kata-kata. Saya cium kedua belah pipinya yang layu sambil dalam hati berdoa agar sahabat saya ini selalu dikaruniai kesehatan (dan semoga suaminya mau pakai kondom).***

Rabu, 16 April 2008

ROBOHNYA SURAU KAMI


Jam lima sore di Ciawi. Di dalam bus patas AC Maya Raya jurusan Cianjur-Bekasi, saya tak kuasa menahan kantuk. Duduk di bawah embusan hawa sejuk dari pendingin ruangan di tengah udara petang yang gerah, tak terasa mata saya memejam. Perjalanan Ciawi-Uki sering saya gunakan sebagai waktu istirahat saya. Istirahat colongan. Lumayan. Selama 40 menit, kalau beruntung saya bisa tidur.

Beruntung artinya tidak ada gangguan. Gangguan itu bisa berupa pesawat tv dengan volume yang dikeraskan atau yang paling sering adalah pengamen. Saya tidak pernah bisa menyukai pengamen. Maaf, mungkin pernyataan saya ini terdengar sok ya. Namun, apa boleh buat karena demikianlah apa adanya yang saya rasakan. Kehadiran para pengamen itu selalu terasa mengganggu. Apalagi jika ngamennya keroyokan. Fiuhh….serasa dirampok kemerdekaan saya memperoleh kenyamanan dalam transportasi umum.

Untunglah, sepertinya sore itu tak ada pengamen. Tidur saya bakal pulas sampai terbangun nanti di halte UKI, Jakarta. Akan tetapi itu tidak lama. Tiba-tiba menggelegarlah sebuah suara bariton; memasuki gendang telinga saya.

“Selamat sore bapak ibu penumpang sekalian,” kata suara itu. Huh…gangguan deh, saya menggerutu dalam hati tanpa membuka mata. Paling-paling mau baca puisi. Mending kalau puisinya bagus. Biasanya sih puisi ciptaan sendiri yang tidak jelas apa maunya. Sudah sering saya menjumpai para pengamen puisi ini. Dulu pernah sekali saya bertemu pengamen puisi yang lumayan bagus. Puisinya maksud saya, bukan membacanya. Puisi yang dideklamasikannya adalah “Derai-derai Cemara.” karya Chairil Anwar. Lumayan, kan, untuk seorang pengamen jalanan?

“Sebentar lagi saya akan membacakan untuk Anda sekalian sebuah karya sastra yang cukup fenomenal,” si pengamen melanjutkan, “Bapak Ibu tahu, sastra adalah juga sebuah karya seni. Melalui karya-karya sastra kita bisa mengetahui banyak hal..”

Wah, apa ini? Secepat kilat mata saya terbuka; terjaga sepenuhnya. Siapa ini yang sok-sokan ceramah tentang sastra? Mata saya segera bertemu dengan asal suara. Pemiliknya tentu pengamen tadi. Dia ada di tengah-tengah bus, di gang antara kursi-kursi. Sosoknya menjulang tinggi. Barangkali di atas 170. Di kepalanya ada kupluk, topi rajutan dari benang wol, berwarna coklat tanah. Tubuhnya yang ramping dibungkus jaket parasut warna hijau tentara. Di dalamnya ia mengenakan kaus biru gelap. Celananya jins biru. Saya tak bisa melihat sepatunya karena sayu duduk di kursi deret kedua dari belaka. Ia tampak cerdas dengan kacamata John Lennon-nya. Duhai, saya jadi penasaran. Siapakah pengamen ini?

“Lewat karya sastra kita juga bisa menyampaikan kritik dan protes. Karya sastra juga menjadi semacam catatan sejarah, mewakili zamannya,” pengamen itu meneruskan pidato kesusatraannya. Kini saya terjaga sepenuhnya. Kantuk yang tadi menggelayuti mata, kabur entah ke mana. Sementara ia berkhotbah, saya sibuk menebak-nebak siapa gerangan pengamen sastra ini? Bisa jadi ia seorang mahasiswa sastra yang belum memperoleh pekerjaan dan untuk mengisi waktu ia mengamen. Atau bisa juga ia memang seorang “sastrawan”. Maksud saya, seorang yang menggemari sastra dan mengamen hanya untuk iseng-iseng saja, menyalurkan hobinya. Kemungkinan berikutnya, ia seorang seniman miskin yang tidak terkenal dan sedang tidak punya job. Untuk sementara ia mengamen demi menyambung hidupnya. Tapi kira-kira apa yang akan ditampilkannya? Tepatnya, puisi apa yang akan dibacakannya.

“Nah, para penumpang yang terhormat, kali ini saya akan membacakan sebuah cerpen. Cerpen yang sangat terkenal. Cerpen yang meski ditulis berpuluh tahun lalu, tepatnya 1955, tetapi temanya masih tetap relevan dengan keadaan zaman sekarang”. Oh…dia hendak membaca cerpen. Wah, ini sesuatu yang baru, saya membatin. Cerpen apa ya?

“Cerpen yang akan saya bacakan adalah karya fenomenal Ali Akbar Navis, Robohnya Surau Kami”. Saya tertegun. Dia bahkan menyebut dengan tepat nama lengkap sastrawan Minang itu. A.A. Navis. Ya, dia membaca karya terbaik A.A. Navis itu.

Maka tampillah ia layaknya seorang pembaca cerpen profesional, lengkap dengan gerak tubuh teaterikal, vokal yang diubah-ubah sesuai karakter cerita, intonasi yang baik, serta permainan mimik wajah. Alhasil, kisah Haji Saleh yang taat beribadah tetapi malah masuk neraka itu lumayan menarik dibawakannya.

Cerpennya sendiri memang sudah bagus. Cerita yang ditulis sastrawan kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 ini sangat kental warna lokal Minang dan nuansa keislamannya; menjungkirbalikkan logika umum keislaman tentang seorang haji penjaga langgar yang taat beribadah selama hidupnya justru dijebloskan ke neraka begitu ia meninggal. Ganjaran tersebut akibat ia melalaikan kewajiban duniawinya sebagai manusia; menelantarkan keluarganya untuk asyik masyuk bercinta dengan Tuhan di surau yang dijaganya sembari diam-diam mendamba surga sebagai imbalan ketaatannya.

Melalui cerpen ini Navis menyindir dengan tajam para ulama dan ahli ibadah yang hanya sibuk mementingkan kesalehan ritual ketimbang kesalehan sosial. Padahal mestinya keduanya berjalan seiring dan seimbang. Navis ingin menyampaikan bahwa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga adalah juga ibadah.
“Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh ,tidak membanting tulang, sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal, kemudianbaru beribadat. Tetapi kau membaliknya. Seolah-olah Aku ini kau anggap sukapujian, mabuk disembah saja…. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, malaikathalaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.” Demikian salah satu dialog Tuhan dengan para ulama saleh di akhirat dalam cerpen tersebut.

Lalu bagaimana dengan pengamen kita? Sayang saya tak sempat berbincang dengannya. Setelah usai pertunjukannya, ia duduk di kursi paling belakang. Padahal saya sangat ingin mengorek keterangan darinya tentang pilihannya mengamen cerpen. Kalau saja saat itu Pak Navis masih hidup dan saya memiliki nomor HP-nya, pasti saya sudah meng-sms beliau ihwal peristiwa menarik ini. Sayangnya, sastrawan itu telah tiada. Ia wafat pada 22 Maret 2003 dalam usia 79 tahun.

Sesampainya di halte UKI saya melihat si pengamen cerpen itu ikut turun. Diam-diam saya berharap suatu hari bisa bersua kembali dengannya. Mungkin saja nanti saya bisa request “Orang-Orang Bloomington” atau “Ripin” untuk dibacakannya.***

PANGGIL IA KARTINI SAJA


Ya benar sekali! Judul di atas terinspirasi buku karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Tepatnya, Panggil Aku Kartini Saja. Sepotong kalimat yang dipetik dari surat Kartini untuk sahabat korespondensinya di Belanda, Estelle Zeehandelaar atau yang akrab disebutnya Stella. Kalimat yang menunjukkan jiwa egalitarian Kartini, keluar dari kungkungan nilai-nilai budaya Jawa feodal. Satu sikap yang sungguh luar biasa di zaman itu, lebih dari seratus tahun yang lalu, bagi seorang perempuan ningrat bergelar Raden Ajeng.

Buku ini merupakan telaah psikologis Kartini melalui surat-suratnya. Lantaran sekarang ini April, bulan yang di Indonesia sering dimaknai sebagai “bulan perempuan”, agaknya masih relevan mengingat kembali pemikiran-pemikiran serta cita-cita Kartini yang tertuang dalam surat-surat tersebut.

Sejarah kelahiran Kartini nyaris bersamaan dengan berakhirnya politik Tanam Paksa di Hindia Belanda, termasuk Jepara. Menjelang dihapuskannya Tanam Paksa, seorang Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara, bersua dengan seorang gadis desa dari kalangan rakyat jelata. Gadis itu bernama Ngasirah, anak dari Modirono, seorang buruh pabrik gula Mayong. Sang Asisten Wedana jatuh cinta pada si gadis walaupun saat itu ia telah berbini dan beranak empat. Ngasirah, tanpa kuasa menolak, lalu dijadikan selir. Asisten Wedana ini adalah R.M. Adipati Sosroningrat yang kelak menjadi bupati Jepara dan ayahanda R.A. Kartini. Dalam catatan sejarah, nama Ngasirah nyaris tidak pernah disebut. Mungkin karena statusnya sebagai istri kedua dan asal-usulnya yang hanya rakyat jelata.

Sebagai peranakan berdarah separuh rakyat jelata dan separuh bangsawan, Kartini bukan tergolong wanita berparas cantik. Ini bisa dilihat dari foto-foto peninggalannya. Oleh Pram dideskripsikan sebagai berikut: Mula-mula orang akan terkesan pada wajahnya yang bundar–wajah kakeknya. Kemudian matanya, yang juga tidak terlalu dalam terpasang pada rongganya, bahkan boleh dikata agak keluar. Bentuk muka dan mata ini adalah warisan kakeknya, dan terutama mata itu, tidak meninggalkan ciri kebangsawanan Pribumi. Tetapi kalau orang sampai pada hidungnya, sekaligus orang telah bisa mendapat gambaran lain. Hidung itu tidak biasa ada pada golongan bangsawan, tapi lebih umum pada rakyat jelata. Baik kemancungannya, ketinggiannya, maupun ketipisannya bukan lagi hidung Tjondronegoro ataupun Sosroningrat. Itulah hidung warisan seseorang yang gambarnya tidak pernah diterbitkan orang sampai dewasa ini, hidung ibu kandung Kartini, seorang wanita yang berasal dari rakyat jelata (hlm.28)

Nama Kartini diduga diberikan oleh ibu kandungnya. Sesuai adat Jawa tradisional, ayah hanya memberi nama bagi anak-anak lelakinya saja. Tak ada nama ditinggalkan untuk anak perempuan. Namun, bukan berarti anak perempuan itu tidak dekat dengan ayahnya. Hubungan mereka berdua justru sangat dekat. Kartini sangat mencintai sekaligus menghormati ayahnya. Kartini adalah anak sang bapak. Tatkala ia tak mampu menolak perjodohannya di usia 24, itu pun karena tak ingin menyakiti hati Sosroningrat, kendati dalam hati yang paling dalam ia mengutuki nasibnya yang harus mengalami poligami, mengulang sejarah hidup Ngasirah.

Benar kiranya apa yang dikatakan oleh Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam sebuah wawancara dengan saya pekan lalu, bahwa persoalan perempuan Indonesia yang paling mendasar adalah kultur. Dan agaknya itu telah berlangsung sejak dulu. Kultur yang di dalamnya termasuk adat, tradisi, dan agama telah mengekalkan penindasan terhadap perempuan. Umpamanya soal “kawin paksa” dan permaduan (poligami) yang harus dijalani Kartini, itu pun berangkat dari kultur Jawa tradisional yang telah ada jauh sebelum masuknya Islam.

Poligami merupakan salah satu mata rantai penderitaan kaum perempuan, dari dulu hingga kini. Di lingkungannya Kartini saban hari menyaksikan praktik-praktik permaduan yang dilakukan oleh ayah dan suaminya sendiri. Ketidakberdayaan Kartini menolak nasib yang disodorkan kepadanya kerap dianggap oleh para sahabat penanya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan perjuangannya sendiri. Mereka tidak paham, situasinya saat itu sangat sulit bagi Kartini untuk melawan.

Satu-satunya perlawanan yang masih sanggup ia berikan adalah dengan menulis surat dan menerbangkannya keluar, jauh melintasi dinding-dinding tebal yang mengungkungnya, menemui para sahabat sepikiran di Eropa untuk kemudian menggema ke seluruh dunia. Kepada para sahabatnya, wanita yang tak berumur panjang ini mengemukakan gagasan-gagasannya, mengabarkan kegalauan hatinya, keprihatinannya, bukan saja perihal nasib dirinya semata tetapi juga bangsanya, terutama kaum perempuan. Tembok-tembok tinggi rumah besar Bupati Sosroningrat tak mampu menahan kebebasan berpikir Kartini.

Pada umur 12 tahun, Kartini kecil harus masuk pingitan. Lagi-lagi karena mematuhi adat yang berlaku bagi gadis-gadis bangsawan. Kartini mesti melupakan hasratnya untuk terus bersekolah, baik ke Batavia dan apalagi ke Nederland. Namun, semangat belajarnya yang berkobar-kobar terus mencari jalan keluar. Kelak, Kartini menemukan jalan itu lewat surat-menyurat dengan para sahabatnya yang lalu mengiriminya buku-buku, majalah, dan berbagai jurnal. Tak pelak lagi semua itu menambah kesadaran Kartini, membukakan mata hati serta benak mungilnya dalam melihat dunia dan sekitarnya. Semua pengetahuan yang direguknya dengan kerakusan seorang musafir yang dahaga menanamkan sebentuk keberanian dalam jiwanya untuk berbicara kepada dunia luar tentang bangsanya.

Sungguh mengagumkan. Seorang perempuan Jawa, masih sangat belia, hanya keluaran sekolah rendah, memiliki keberanian, pengetahuan, serta pikiran yang maju jauh melampaui zamannya. Ironis rasanya jika setiap peringatan mengenang kebesarannya, memuliakannya hanya dimaknai dengan lomba kebaya , konde, dan masak-memasak.

Seratus tahun lebih sudah berlalu sejak wafatnya Kartini, sang inspirator. Kaum perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan. Bisa sekolah tinggi, bekerja, dan berorganisasi. Namun, bukan berarti masalah perempuan telah selesai. Faktanya, hingga hari ini masih banyak terjadi tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Masih banyak TKW yang dianiaya, praktik trafficking masih terus berlangsung, angka kematian ibu karena melahirkan masih tinggi, upah buruh perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki; perkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi kasus lainnya. Tentu kita tidak akan cuma duduk berdiam diri menanti Kartini bangkit kembali dari kuburnya untuk menyelesaikan ini semua, bukan?***

KERUDUNG


Pada suatu sore hari sehabis mandi. Saya mematut diri di cermin di ruang tengah; menyisir rambut saya yang lurus kaku bak ijuk. Rambut saya yang beberapa tahun lalu masih hitam seluruhnya, kini mulai menyembulkan warna perak di tempat-tempat tertentu. Salah duanya di bagian poni serta pelipis. “Duh, uban sudah banyak, nih!” saya bergumam sembari lebih mendekat ke permukaan cermin agar bisa melihat lebih jelas “bunga-bunga jambu” di kepala saya. “Apa perlu dicat ya supaya tidak kelihatan?” kata saya lagi. Saya tidak bicara sendiri sebetulnya, sebab ada ibu saya sedang asyik nonton acara gosip di televisi.

“Uban kok dicat. Mendingan pakai kerudung,” tiba-tiba ibu saya menyahut, “Sudah tua, nggak usah macam-macam. Insyaf donk,” sambungnya lagi. Saya cuma bisa nyengir, senang bisa menggoda beliau. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh ingin mengecat rambut saya. Tetapi saya juga belum siap berkerudung.

Ingat kerudung saya jadi ingat peristiwa beberapa hari lalu ketika saya sedang setengah berlari mengejar metro mini di pagi hari. Sampai di tempat saya biasa menunggu metro mini, saya bertemu dengan seorang tetangga kompleks. Saya nyaris tidak mengenalinya. Bukan lantaran kami sudah lama tidak berjumpa tetapi karena hari itu ia tidak berkerudung seperti yang selama ini saya kenal. Baiklah kita sebut saja ia dengan nama Intan.

“Intan?” tanya saya ragu-ragu. “Iya, Mbak,” sahutnya pelan dengan wajah sedikit tersipu. “Kemana kerudungmu?” dengan penasaran saya bertanya lagi. Belum sempat ia menjawab, metro mini yang saya tunggu datang. Oh..tetapi untunglah, ternyata Intan juga naik metro mini yang sama. Kami duduk berdampingan dan obrolan pun berlanjut.

“Kemana kerudungmu?” saya mengulang pertanyaan yang belum sempat terjawab tadi. Intan membenahi posisi duduknya sebelum kemudian bercerita.

Intan, ibu muda dari dua orang anak ini, terpaksa melepas kerudungnya karena peraturan di tempat kerjanya tak membolehkan para karyawannya berkerudung. Intan yang belum pernah bekerja seumur hidupnya–ia langsung menikah begitu kuliahnya selesai–tak punya pilihan lain: ikut peraturan atau keluar. Pekerjaan ini pun diperoleh berkat bantuan kenalan ibunya. Intan terpaksa bekerja karena sang suami kena PHK tujuh bulan yang lalu dan hingga kini belum juga beroleh pekerjaan baru. Sementara hidup mereka harus terus berjalan. Anak-anak mereka perlu susu, perlu makan, perlu pakaian. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Intan harus mengambil keputusan. Dan ia, dengan izin suami, memilih bekerja demi kelangsungan hidup mereka.

Nasib yang mirip dengan Intan juga menimpa Ria yang juga tetangga saya. Ria yang tamatan SMA ini juga seorang ibu muda dengan bayi lelaki berumur tujuh bulan. Ria menikah karena “kecelakaan”. Suaminya mahasiswa semester tujuh. Perkawinan itu berlangsung tanpa restu orang tua si suami yang tinggal jauh di Ternate. Setelah menikah, Ria dan suaminya tinggal di rumah orang tua Ria yang hidup pas-pasan. Ayah Ria seorang sopir taksi dan ibunya membantu dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tetangga. Dua orang adik Ria masih sangat memerlukan biaya sekolah. Kini dengan bertambahnya dua orang di rumah itu, bertambah pula dua mulut yang harus dihidupi. Sebagai anak sulung, Ria merasa malu jika terus menjadi parasit bagi orang tuanya. Dia tak terlalu berharap pada mahasiswa yang menjadi suaminya itu.

Lalu berkat pertolongan seorang sepupunya, Ria akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan. Itu berarti ia harus melepas busana panjang dan kerudung yang selama ini menjadi pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan seragam : rok selutut dan atasan lengan pendek. Lagi-lagi, Ria tak punya banyak pilihan. Mencari pekerjaan hari ini bagi seorang perempua lulusan SMA tentu bukan perkara mudah.

Lain lagi yang dialami Gita, tetangga saya juga. Gadis manis berambut sebahu ini sudah hampir satu tahun ini mengajar di sebuah SD Islam. Sekolah tempatnya mengajar mewajibkannya mengenakan kerudung. Gita yang sebenarnya lebih suka membiarkan rambutnya yang indah “telanjang”, mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang berlaku di tempat kerjanya. Ia pun mengenakan kerudung, meski hanya selama mengajar saja.

Mungkin kasus Gita sedikit lebih mudah dibanding dua yang pertama. Yang saya heran kok masih ada ya pelarangan memakai kerudung di era kebebasan ini? Jika itu terjadi dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, masih bisa dimengerti. Maksud saya, waktu itu rezim yang berkuasa (baca: Orde Baru) memang sangat alergi dengan segala atribut yang berbau Islam. Hubungan penguasa (umara) dengan Islam (ulama) tidak semesra sekarang. Islam masih dianggap sebagai ancaman besar yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan pemerintahan yang sah.

Sekejap ingatan saya melayang pada masa SMA dua puluh tahun lewat. Kala itu saya kelas I (1987/88). Terjadi satu peristiwa seorang teman baik saya dikeluarkan dari sekolah karena memilih tetap memakai kerudung. Pihak sekolah memberi pilihan: tetap sekolah di situ tetapi kerudung dilepas atau tetap memakai kerudung namun harus angkat kaki. Teman saya yang hebat itu–menurut saya dia hebat–memilih yang kedua: keluar dari sekolah kami dan pindah ke sebuah SMA Islam. Sekarang ia telah menikah dan sukses memimpin sebuah majalah keluarga.

Kembali kepada larangan berkerudung. Menurut saya sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sosial politik mutakhir tatkala kebebasan di segala bidang tengah merayakan kemenangannya di negeri ini setelah “terpenjara” puluhan tahun. Demikian juga sebaliknya, jangan sampai ada pemaksaan mengenakan kerudung (atau busana lainnya) demi kepentingan pihak-pihak tertentu. ***

Kamis, 27 Maret 2008

B A B U


Babu. Kata ini mungkin sudah jarang dipergunakan lagi sekarang. Mungkin dianggap kelewat kasar dan tidak berperikemanusiaan. Babu adalah sebutan bagi orang suruhan (orang yang kerjanya disuruh-suruh dengan upah tertentu). Biasanya perempuan. Kalau lelaki, ia biasa disebut jongos. Kedua kata ini sering dipakai oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer (alm) dalam karya-karyanya yang kebanyakan ber-setting era pra kemerdekaan. Waktu itu, kosa kata “babu” dan “jongos” lumrah dipakai.

Kini, kedua kata tersebut bermetamorfosa menjadi pembantu rumah tangga atawa sering disingkat PRT. Kalau di kalangan istri-istri pejabat acap disebut “bedinde” (Belanda). Istilah boleh saja berganti seribu kali. Namun, perubahan penyebutan itu tidak lalu diikuti perubahan nasib mereka. Sejak zaman baheula hingga hari ini, peruntungan mereka masih begitu-begitu saja. Jika pun beranjak, tidaklah terlalu jauh. Tempat mereka masih di kasta terbawah dalam masyarakat kita.

Keberadaan pembantu rumah tangga (selanjutnya akan saya sebut pembantu saja) kini nyaris menjadi kebutuhan di setiap rumah tangga masyarakat perkotaan kelas menengah ke atas. Mereka diperlukan sebagai tenaga kerja penuh ataupun paruh waktu untuk menangani urusan domestik, seperti mencuci dan menyetrika baju, mencuci piring, memasak, membersihkan rumah, mengasuh, mengantar dan menjemput anak majikan sekolah, dan seterusnya.

Kendati kerja mereka cukup menguras tenaga–karena itulah para priyayi memerlukan mereka–akan tetapi upah yang mereka terima jauh dari layak. Belum lagi perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari para majikan yang lupa kalau pembantu mereka adalah juga manusia. Cerita duka para babu ini sudah sering kita dengar, baca, dan saksikan di media massa. Dari yang dipukul, dikurung, upahnya tidak dibayar berbulan-bulan, disetrika, disundut rokok, diperkosa, sampai dibunuh. Sudah terlalu banyak kisah derita mereka yang dikabarkan kepada dunia. Tetapi apakah lantas nasih mereka berubah? Apakah lalu para majikan menjadi bersikap lebih baik? Bisa jadi iya. Dan saya yakin tidak semua majikan itu jahat.

Salah satunya adalah teman saya, seorang aktivis perempuan, bekerja di sebuah LSM internasional yang mengurusi isu-isu feminisme. Teman saya ini menikah dan punya dua orang anak lelaki. Mereka mempekerjakan seorang pembantu di rumah mereka; menggajinya dengan standar upah minimum yang berlaku; mendapat pengobatan apabila sakit, meliburkannya pada hari Minggu, memberi THR (Tunjangan Hari Raya) sesuai ketentuan, dan cuti dua minggu setahun. Biasanya diambil pada saat Lebaran, untuk pulang kampung. Tidak heran jika pembantunya itu sangat loyal kepada keluarga tersebut dan mereka nyaris tidak pernah mendapat masalah “pembantu yang tidak balik lagi setelah Lebaran usai”.

Tak urung ada juga yang tidak setuju dengan sikap murah hati teman saya itu. Konon, ibu-ibu di kompleks rumahnya sempat protes gara-gara semua fasilitas yang ia berikan kepada bedinde-nya itu, karena dampaknya para pembantu di kompleks itu jadi berani minta kenaikan upah sebesar upah yang diterima rekannya yang bekerja di rumah teman saya. Teman saya bergeming, sebab ia yakin ia benar. Namun, ibu-ibu di sana juga keukeuh, tidak terpengaruh alias tidak ada kenaikan upah bagi para pembantu tersebut. Lalu apakah para pembantu itu mogok kerja lantaran tuntutan mereka tidak dikabulkan? Ya ternyata tidak juga. Mereka tetap bekerja seperti semula. Mungkin perlu ada semacam Serikat Pembantu Rumah Tangga untuk memperkuat posisi tawar mereka. Tidak mudah lho mendapatkan seorang pembantu yang cakap bekerja dan setia. Seharusnya mereka, para pembantu itu, menyadarinya.

Upah minim dan tak adanya jaminan sosial bagi para pembantu di tanah air kemudian membuat mereka memalingkan harapan ke luar negeri dengan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Apakah nasib mereka lebih baik di sana? Oh..ternyata tidak juga. Kita semua mengetahuinya.

Seorang teman perempuan, jurnalis di sebuah majalah berita mingguan ibu kota, pernah bercerita pengalamannya meliput para TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia di Hongkong. Kata teman saya, TKW yang umumnya datang dari Jawa Timur dan Jawa Barat, di Hongkong bekerja sebagai pembantu. Nasib mereka sedikit lebih baik karena di Hongkong ada undang-undang (perangkat hukum) yang mengatur dan melindungi hak-hak pembantu. Mereka juga, dengan bantuan LSM, membentuk organisasi semacam serikat pekerja yang menampung setiap keluhan anggotanya untuk kemudian diteruskan kepada pihak-pihak yang bisa memberikan bantuan/menyelesaikan masalah tersebut.

Menariknya, organisasi atau perkumpulan itu terdapat lebih dari satu dengan bermacam-macam jenis kegiatan, umpamanya ceramah agama, seminar perempuan, pertunjukan seni dan sastra, atau sekadar berwisata di hari libur (mereka libur pada akhir pekan).

Tetapi yang paling menarik dari “oleh-oleh” teman saya itu adalah kisah tentang percintaan/hubungan cinta sejenis di antara para TKW di sana. Hidup sendiri di negeri orang, jauh dari suami (atau kecewa lantaran suami kawin lagi) sementara kebutuhan biologis harus tetap dipenuhi, menjadi faktor utama penyebab maraknya praktik lesbianisme itu. Uniknya lagi, hubungan asmara sejenis itu tidak cuma sekadar pacaran, tetapi hingga ke jenjang pernikahan. Ya menikah, layaknya pasangan normal, dengan ijab kabul di depan “penghulu” dan dilanjutkan dengan resepsi.

Pembantu atau babu hanyalah salah satu potret suram nasib perempuan kita. Mereka bekerja sebagai orang suruhan bukan dalam rangka mewujudkan emansipasi, tetapi lebih karena tuntutan ekonomi, menyelamatkan keluarga, menyelamatkan hidupnya. Ketika para lelaki di rumah tangga mereka tak mampu memberi nafkah yang memadai, mereka maju mengambil alih tanggung jawab itu ke pundak mereka.

Malangnya, balasan yang mereka terima dari keluarga, terutama suami, seringkali justru menyakitkan. Sementara istri memeras keringat (dan kadang-kadang darah) di negeri orang, suami kawin lagi di kampung. ***ENDAH SULWESI


Selasa, 18 Maret 2008

CERAI


Percaya atau tidak, dalam sebulan ini ada 3 orang teman saya yang curhat (curahan hati) tentang masalah rumah tangganya. Ketiganya perempuan. Ketiganya berkata akan menuntut cerai suami-suami mereka. Halaah…ada apakah ini? Kayak selebritis saja, ramai-ramai cerai. Kalau sudah begini, ke mana larinya cinta?

Teman pertama, sebut saja namanya Ani, telah menikah selama tujuh tahun dan dikaruniai dua orang anak lelaki yang lucu-lucu; masing-masing berumur 7 dan 6 tahun. Ani bersuamikan seorang manajer sebuah bank pemerintah. Ani sendiri juga bekerja di salah satu perusahaan otomotif terkemuka. Ani bercerita pangkal dirinya minta cerai adalah karena sang suami yang telah dinikahinya selama delapan tahun, kedapatan nyeleweng.

Bagai dalam sinetron tivi, Ani mendapatkan bukti-bukti penyelewengan suaminya lewat bon-bon makan yang ia temukan di saku celana serta bekas gincu merah yang menempel di kerah bagian belakang kemeja sang suami. Kecurigaannya semakin menguat ketika Ani secara mencuti-curi membaca sms (pesan singkat) di telepon seluler milik suaminya itu yang berisi ungkapan mesra dari seorang perempuan. “Pantas saja,” kata Ani dengan suara serak menahan isak, “dia sering pulang larut malam”.

Berikutnya adalah Sita. Teman saya semasa kuliah ini sudah menikah selama lima tahun. Suaminya bekerja sebagai teknisi di sebuah stasiun tivi swasta nasional. Sita yang jurnalis di sebuah majalah wanita mengeluh bahwa ia sudah cape berumahtangga dan ingin mengakhirinya. Pasalnya, selama lima tahun ia tak pernah diberi nafkah (uang belanja) oleh suaminya itu. Pernah sih tetapi hanya 5 bulan pertama perkawinan mereka. Selanjutnya, hingga hari ini tal pernah lagi. Segala kebutuhan rumah tangga (sabun mandi, sabun cuci, minyak goreng, pasta gigi, shampoo, susu anak-anak, sampai beras) Sita yang memenuhi dari uang gajinya sendiri. Sementara suaminya lebih sibuk mengurusi keluarganya (ibu mertua dan adik-adik ipar Sita).

Awalnya Sita tak keberatan karena bagi Sita menikah itu berarti ia harus mau berbagi dengan keluarga suaminya. Sita mengerti sebagai anak sulung, suaminya berkewajiban membantu biaya sekolah 3 orang adiknya. Maklum, ayah mertua sudah pensiun. Satu-satunya andalan adalah suaminya.

Namun, lama kelamaan Sita gerah juga lantaran suaminya lebih menomorsatukan urusan ibu dan adik-adiknya sampai-sampai “menelantarkan” istri dan anak-anaknya. Sita tidak pernah lagi menerima uang gaji suaminya. Belakangan ia semakin tidak tahan sebab suaminya terlibat utang demi menyelamatkan rumah ibunya yang digadaikan. Ibu mertua Sita mencoba-coba berbisnis cengkeh, tetapi karena minim pengalaman akhirnya bangkrut dan minta tolong suami Sita untuk menyelesaikan segala utang-piutang menyangkut bisnis tersebut, termasuk rumah yang digadaikan.

Kasus utang ini bukan yang pertama kalinya. Ketika usia perkawinan mereka baru dua tahun, suaminya harus membayarkan utang sang ibu yang berbisnis jual beli kristal. Waktu itu, suami Sita terpaksa melego motornya dan pinjam dana dari bank. Belum lagi perkara uang sekolah ketiga orang adiknya yang mesti ditanggung suaminya. Sita dan anak-anaknya yang dua orang itu nyaris tidak kebagian. Maka akhirnya teman saya yang cantik pun menyerah. Ia ingin menyudahi pernikahannya.

Terakhir adalah Nuniek. Wanita bertubuh mungil yang saya kenal di sebuah seminar ini tiba-tiba menelepon saya dan bilang, bahwa ia sebentar lagi bakal menyandang status janda. Kami memang tidak terlalu akrab, tetapi cukup sering bertemu dan saling cerita lewat sms atau telepon. Nuniek masih cukup muda. Usianya baru 32 tahun. Ia menikah 3 tahun silam dengan seorang pria keturunan Arab. Suaminya pekerja kontrak di sebuah perusahaan asing; sedangkan Nuniek adalah sekretaris di penerbitan. Mereka belum dikaruniai anak.

Nuniek memutuskan bercerai dengan alasan sering dipukul suaminya. Dalam usia perkawinan yang masih seumur jagung itu, Nuniek kerap menerima perlakuan kasar– fisik dan psikis–dari suaminya yang cemburuan. Jika Nuniek pulang telat sedikit saja dari jadwal biasanya, habislah ia dihujani pertanyaan-pertanyaan yang bernada curiga. Jika jawaban Nuniek tidak berkenan di hatinya, tak segan-segan lelaki bertubuh tegap bak tentara itu melayangkan tinjunya ke tubuh mungil Nuniek. Hal tersebut telah berlangsung sejak tahun pertama pernikahan mereka. Selama ini Nuniek mencoba sabar dan bertahan sampai akhirnya tak kuat lagi. “Aku tidak mau dijadikan sansak seumur hidup,” katanya menahan marah.

Menarik. Dari ketiga kasus di atas, semua yang menuntut cerai adalah pihak istri (perempuan). Saya yakin, keputusan mereka bercerai tentu sudah dipertimbangkan matang-matang karena sejatinya tak ada orang yang menikah dengan niat untuk bercerai kemudian. Tidak ada perempuan yang sudi menyandang predikat janda. Cerai adalah solusi terakhir ketika jalan damai tak bisa lagi ditempuh.

Tatkala ketiganya saya tanya dengan pertanyaan yang sama “mengapa memilih bercerai?”, mereka memberikan jawaban yang hampir sama : “Lebih baik sendiri daripada menderita”. Ketika saya bertanya lagi, “Tidak takut jadi janda?” Mereka menyahut dengan gagah berani, “Tidak. Aku kan kerja. Aku mampu menghidupi diriku sendiri dan anak-anakku”.

Saya jadi ingat beberapa waktu lalu pernah ngobrol dengan seorang teman yang baru melahirkan. Teman saya ini berniat berhenti bekerja dan ingin mengurus anak di rumah. Waktu itu saya katakana, bahwa sebaiknya ia mengurungkan niatnya berhenti bekerja; sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kelak dengan kehidupannya, terutama perkawinannya.

Dengan tetap bekerja kita, perempuan, punya daya tawar yang tinggi. Dengan bekerja kita juga bisa mengaktualisasikan diri, bersosialisasi, berkembang, dan yang paling penting punya penghasilan sendiri sehingga tak bergantung seratus persen kepada suami. Ya kalau suami setia sampai mati; ya kalau suami tidak pelit; ya kalau suami terus bagus kariernya….Bagaimana andai sebaliknya yang terjadi, seperti yang menimpa Ani, Sita, dan Nuniek? Untunglah teman saya itu membatalkan niatnya.

Saya kira keberanian Ani, Sita, dan Nuniek memilih berpisah dengan suami mereka lantaran mereka bekerja. Mereka berani melawan; keluar dari masalah yang mengimpit demi menyelamatkan hidup mereka selanjutnya.

Sangat berbeda dengan yang dialami sepupu saya yang terpaksa rela dimadu karena secara ekonomi ia sepenuhnya bergantung pada suami. Ia tak berani meminta cerai. “Saya dan anak-anak mau makan apa kalau cerai?” begitu katanya memelas. Alhasil, sampai sekarang, suka atau tidak, statusnya adalah istri tua. Sudah tentu nafkah (lahir batin) yang ia terima tidak lagi seperti dulu karena harus berbagi dengan madunya.

Namun, terlepas dari bekerja atau tidak, manakala kita diperlakukan tidak adil oleh siapa pun–meniru Wiji Thukul–hanya ada satu kata: lawan! ***ENDAH SULWESI

Jumat, 14 Maret 2008

PEREMPUAN


Pekan lalu, tepatnya 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasioal; sebuah hari untuk memperingati penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah diperjuangkan oleh perempuan-perempuan di Amerika (Serikat) dan Eropa lebih seabad yang lalu. Untuk pertama kalinya, Hari Perempuan Sedunia diperingati pada 19 Maret 1911, satu tahun setelah berlangsungnya Deklarasi Kopenhagen yang antara lain menyerukan agar seluruh perempuan di dunia bersatu padu untuk memperjuangkan hak untuk bekerja, hak memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan.

Tetapi yang menjadi tonggak paling bersejarah adalah ketika terjadi aksi perempuan turun ke jalan di Rusia pada 8 Maret 1917. Aksi tersebut berujung pada turunnya Tsar dari kursi kekuasaan dan kemudian pemerintahan baru memberikan hak pilih kepada kaum perempuan (dalam hal ini, mungkin perempuan Indonesia lebih beruntung. Sejak Pemilu pertama pada 1955 perempuan telah boleh ikut memilih). Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Perempuan Sedunia.

Di Indonesia kelihatannya peringatan Hari Perempuan belum cukup populer. Gemanya baru sampai di kalangan tertentu saja (LSM, aktivis perempuan, dan kampus). Masyarakat kita tentu lebih akrab dengan Hari Kartini (21 April) dan Hari Ibu (22 Desember) sebagai peringatan “hari perempuan nasional”. Celakanya, setiap kali peringatannya hanya sibuk pada penyelenggaraan lomba ini itu yang tidak jauh-jauh dari peran domestik perempuan, seperti : lomba memasak, merias pengantin, bikin tumpeng, peragaan busana, pasang konde, paduan suara…..Dari tahun ke tahun senantiasa berulang. Itu-itu saja. Seolah-olah ingin menegaskan kembali bahwa posisi perempuan memang hanya pantas di wilayah domestik.

Bukan saya ingin mengecilkan makna peran tersebut. Oh..sudah tentu tak ada yang bisa menyangkal tentang pentingnya urusan “dalam negeri” bagi ketahanan nasional. Tetapi bahwa perempuan juga, jika diberi kesempatan, akan mampu menjalankan peran-peran lainnya di wilayah publik pun haruslah diakui. Mungkin ini isu yang sudah basi diangkat, namun pada kenyataannya masih banyak perempuan kita yang menderita di dalam rumahnya sendiri.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), begitulah istilah populernya sekarang. Pengertian istilah ini menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT adalah “perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Mengapa dalam teks di atas diutamakan perempuan? Sebab, pada umumnya mayoritas korban tindak KDRT adalah perempuan (dan anak-anak). Meski hukum dan undang-undang telah berupaya memberikan perlindungan, namun masih saja berlangsung tindak KDRT. Upaya sosialisasi dan penyadaran harus terus dilakukan agar masyarakat yang selama ini menganggap KDRT hanyalah masalah internal berani mengungkapkan kasus-kasus yang terjadi, baik yang menimpa dirinya langsung atau yang terjadi di sekitarnya.

Tidak mudah memang mengatasi masalah ini. Perlu keberanian dari korban atau saksi untuk melaporkannya kepada polisi. Budaya patriarkhi yang masih kental berlaku di masyarakat kita menjadi faktor penghambat utama. Selain itu juga karena rasa malu jika melaporkan kasusnya berarti sama saja dengan membuka aib keluarga dan khawatir pada keselamatan dirinya. Apalagi jika ditambah dengan respons polisi yang tidak sesuai harapan, menyatakan kasus tersebut sebagai masalah pribadi saja atau pelapor dipersulit dengan meminta bukti-bukti yang memang kadang sulit dihadirkan.

Kekerasan dalam rumah tangga bisa juga hadir dalam bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. Lagi-lagi budaya patriarkhi dalam masyarakat kita seringkali memperlakukan anak perempuan secara tidak adil; memposisikan anak lelaki lebih penting daripada anak perempuan. Sikap diskriminatif seperti ini tidak boleh terus berlangsung. Anak-anak lahir dengan membawa hak azasi yang sama dan setara, tanpa memandang jenis kelamin.

Dalam kasus diskriminasi di atas saya punya satu contoh. Tetangga saya, suami istri pemilik warung sate kambing di pojok jalan kampung kami, punya tiga orang anak. Satu lelaki dan dua perempuan. Putri sulung mereka, 18 tahun, sudah tidak bersekolah lagi. Dipaksa berhenti sampai SMP saja dengan alasan ekonomi. Selanjutnya, ia bekerja membantu ayah ibunya di warung sate mereka. Padahal gadis itu cukup berprestasi di sekolahnya. Ia lulus dengan nilai yang baik dan ingin sekali meneruskan sekolahnya. Tetapi orang tuanya, terutama ayahnya, memaksanya berhenti sekolah sampai di situ saja. “Anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma. Paling-paling cuma jadi ibu rumah tangga,” begitu alasan sang ayah.

Sementara, adiknya yang lelaki (16 tahun), kini duduk di kelas I sebuah SMA swasta karena nilainya tak memenuhi syarat untuk masuk di SMA Negerri. Tetapi, lagi-lagi si ayah, kali ini berusaha keras mencari cara agar anak lelakinya tetap bisa melanjutkan sekolah. Ia rela meskipun harus melego motor kesayangannya demi membiayai putranya. “Anak lelaki kudu sekolah. Kalau ngga sekolah, mau jadi apa dia?” demkian si ayah berdalih.

Begitulah sebagian realita yang masih banyak kita jumpai di masayarakat. Perempuan masih menjadi warga kelas dua yang eksistensinya tidak dianggap penting, baik di dalam rumah mau pun di wilayah sosial. Perempuan adalah korban potensial dan target empuk berbagai aksi kekerasan dan kejahatan. Dari mulai perampokan, pencopetan, pelecehan seksual di tempat kerja dan kendaraan umum, hingga upah yang jauh lebih rendah dari karyawan pria.

Bahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru kerap berubah menjadi penjara. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung, sering tiba-tiba menjelma neraka. Pemukulan, diskriminasi, pelecehan, hingga perkosaan terhadap perempuan banyak terjadi justru di dalam rumah, dilakukan oleh anggota keluarga sendiri yang semestinya melindungi. Tak ubahnya seperti pagar makan tanaman. Lebih memprihatinkan lagi manakala aturan-aturan dalam agama, tradisi, budaya, dan norma-norma masyarakat turut “mengesahkannya”.***

Kamis, 06 Maret 2008

SURAT


Rasanya belum lama berselang kita masih memakai surat sebagai media menyampaikan pesan dan kabar kepada kerabat, teman, keluarga, ataupun relasi yang tinggal jauh dari tempat kita. Saya bahkan masih menyimpan dengan baik sebagian surat-surat dari masa lalu itu. Di antaranya ada juga beberapa pucuk surat cinta. Benar-benar surat. Dari kertas dan ditulis tangan. Memakai amplop dan perangko jika itu dikirimkan lewat jasa pos. Dulu saya sempat menekuni hobi koleksi perangko. Kini, saya bahkan tidak tahu gambar perangko terbaru sebab sudah lama sekali tak bersurat-suratan.

Pernah satu masa saya sangat gemar melakukan korespondensi; baik dengan para sahabat lama yang harus pindah ke lain kota maupun teman baru yang saya kenal melalui rubrik “Sahabat Pena” di surat kabar atau majalah. Dengan semangat saya bercerita dalam surat-surat yang saya layangkan.

Saya masih ingat seorang sahabat pena yang saya kenal lewat ajang pemilihan siswa teladan tingkat Kotamadya Jakarta Timur. Waktu itu saya kelas II SMP. Teman baru itu namanya Ling Ling; keturunan Tionghoa, tinggal di bilangan Rawamangun. Sebenarnya tidak jauh dari rumah saya di Klender. Tetapi waktu itu jarak Klender-Rawamangun terasa jauh sekali. Angkutan Kota belum sebanyak sekarang.

Maka lantas pertemanan itu berlanjut lewat surat. Lucunya, yang dibicarakan di surat kami itu adalah seputar mata pelajaran. Misalnya: apakah ayam betina akan tetap bertelur walaupun tidak kawin? Sayangnya, korespondensi itu berhenti setelah kami SMA. Sampai kini saya belum mengetahui lagi kabar Ling Ling. Seperti apa ya dia sekarang?

Seseorang pernah berkisah kepada saya tentang sebuah surat yang mengubah nasibnya. Ceritanya terjadi di tahun 1991. Waktu itu enam bulan setelah ia lulus kuliah dan meraih gelar sarjana adminitrasi negara dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibu kota. Selama setengah tahun itu ia tanpa lelah telah berusaha melamar kerja ke sana ke mari. Dengan rajin ia mengirimkan surat-surat lamaran lewat pos atau mendatangi langsung kantor-kantor dan instansi yang iklannya ia baca di koran.

Akan tetapi usahanya nihil. Orang tuanya yang hidup serba pas-pasan sudah mulai kewalahan menyediakan biaya untuk ongkos dan surat-menyurat anaknya itu. Bapaknya, pegawai negeri sipil golongan II tengah menjelang masa pension. Gajinya yang minim harus dibagi-bagi untuk makan sehari-hari plus biaya tiga orang anaknya yang lain yang masih sekolah. Tadinya si Bapak berharap anaknya yang sulung itu segera bekerja dan membantu mengongkosi sekolah adik-adiknya.

Apa mau dikata ternyata mencari kerja bukan perkara gampang walaupun untuk seorang sarjana. Keluarga itu nyaris putus asa.

Di tengah keputusasaan itu tiba-tiba Si Bapak melihat sahabat masa kecilnya di layar tivi. Sahabatnya itu telah jadi orang penting di sebuah departemen. Masih jelas dalam kenangannya masa pertemanan mereka di kampung dahulu. Berenang di sungai, mencuri mangga, memancing ikan, mencari belut, dan bermain kelereng. Si Bapak sangat yakin bahwa sahabatnya yang kini jadi pejabat eselon itu pasti masih ingat padanya. Tidak mungkin lupa karena mereka berdua sangat karib.

Maka kemudian pegawai negeri yang hampir pensiun ini memberanikan diri bersurat kepada teman kecilnya itu. Dalam suratnya yang hanya selembar tersebut, ia menuturkan duka hatinya lantaran si sulung belum juga bekerja. Si Bapak memohon dengan segala kerendahanhatinya agar kiranya sang pejabat sudi membantu.

Tak menunggu lama ternyata suratnya berbalas. Tidak melalui antaran pos tetapi dibawa langsung oleh ajudan Si Pejabat ke hadapan sahabatnya. Dalam balasan suratnya, Si Pejabat mengundang sahabatnya untuk datang ke kantornya. “Jangan lupa, bawa serta anak sulungmu,” begitu kira-kira bunyi sebagian isi suratnya. Menurut pengakuan si sahibul hikayat, sampai kini ia masih menyimpan surat tersebut.

Pada hari yang telah disepakati, datanglah Si Bapak beserta anaknya ke kantor Si Pejabat. Pertemuan kedua sahabat yang lama terpisah itu cukup mengharukan. Mereka saling memeluk erat. Air mata meleleh di pipi keduanya. Si Anak yang menjadi saksi hanya bisa ikut menangis.

Selanjutnya, Si Pejabat menyerahkan sepucuk surat dalam amplop dinas coklat bergambar Garuda kepada Si Anak. Kelak Si Anak tahu bahwa itu adalah sebentuk “surat sakti” dari Si Pejabat kepada direktur sebuah perusahaan tempat anak itu bekerja hingga hari ini. “Surat sakti” itu telah berjasa mengubah nasib dan jalan hidupnya.

Sepucuk surat juga pernah sangat berperan dalam sejarah negeri ini. Surat itu ditulis dan diterbitkan pada kira-kira empat puluh tahun silam. Tepatnya 11 Maret 1966. Pada hari itu, sejarah menulis tentang peralihan kekuasaan dari Presiden Sokearno kepada Mayor Jendral Soeharto untuk segera mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehubungan dengan situasi sosial politik yang kacau-balau pasca peristiwa G.30 S. Surat bersejarah itu kemudian populer dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Namun anehnya surat yang teramat penting itu diragukan keasliannya. Setelah para saksi mata peristiwa bersejarah itu satu per satu meninggal, semakin sulit membuktikan keabsahannya. Malah, Roy Suryo, pakar telematika dengan yakin menyatakan bahwa naskah Supersemar yang selama ini beredar di publik adalah naskah palsu. Ketidakaslian tersebut, menurut Roy, terbukti dari hasil penelitian bentuk tanda tangan, cara penulisan, dan spasi dalam tiga naskah Supersemar yang selama ini beredar dibandingkan dengan naskah yang dibawa para jenderal saat keluar dari Istana Bogor usai menghadap Presiden Sukarno (Tempo Interaktif, 19/1/2008)

Bersenjatakan “surat misterius” itu, Soeharto “mengkudeta” Soekarno dan selanjutnya dengan mulus melenggang menuju singgasana kekuasaan; bercokol di sana selama 30 tahun lebih sebelum akhirnya lengser pada 21 Mei 1998. Pertanyaannya kemudian, di mana sesungguhnya naskah asli Supersemar berada? Dan mengapa dokumen sepenting itu bisa “menghilang” tak tentu rimbanya? Jangan-jangan tabir misteri itu tak akan pernah tersibak. Rahasianya terbawa ke liang kubur bersama jasad Soeharto. Wallahualam.

Hari ini mungkin sudah jarang yang melakukan korespondensi lewat pos. Kegiatan surat-menyurat “kuno” itu telah digantikan oleh teknologi e-mail alias surat elektronik via internet. Dalam hitungan sekon saja berlembar-lembar “surat” dapat kita kirimkan ke seluruh dunia. Kendati demikian, saya percaya surat “kuno” masih memiliki daya tarik dan kekuatannya sendiri yang tak tergantikan. Tentu berbeda rasanya, bukan, saat menerima selembar kartu pos dengan membaca “selembar” e-card. ***

DANGDUT DAN TELEVISI


Pada suatu Rabu malam. Saya dan ibu saya duduk di depan televisi menyaksikan sebuah tayangan langsung di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Acaranya itu seperti lomba menyanyi dangdut. Pesertanya ada sepuluh orang. Setelah melalui audisi yang dinilai oleh tiga orang juri, peserta dikempiskan menjadi tinggal lima orang saja yang berhak mengikuti kontes tersebut.

Kelima peserta yang tersisa ini kemudian diadu kebolehannya menyanyi dangdut. Satu per satu mereka tampil di pentas; bernyanyi dan bergoyang. Ketiga orang juri yang berasal dari kalangan artis penyanyi dan pelaku dunia hiburan memberikan penilaian untuk vokal, koreografi, dan penampilan.

Malam itu, kelima peserta kontes perempuan semua. Dari cerita mereka terungkaplah sepotong kisah hidup dan motif mereka mengikuti acara itu. Umumnya, entah benar atau tidak, para kontestan itu menuturkan sebuah kisah sedih. Dituturkan dengan mimik muka memelas dan bahkan sampai berurai air mata.

Adalah Nuraini dan Tresna yang malam itu menjadi “bintang” pertunjukan. Nuraini, wanita muda asli Jawa tetapi lahir di Medan itu, jauh-jauh datang ke Jakarta dari desanya di ujung Sumatera sana demi mengejar seberkas mimpi menjadi penyanyi (dangdut) terkenal. Minimal di Sumatera. Saat ini Nur hanyalah seorang penyanyi dangdut kampung yang ngamen dari panggung ke panggung pada acara perkawinan atau khitanan. Mereka menyanyi dengan iringan organ tunggal. Kadang-kadang untuk lebih semarak ditambah juga tabuhan gendang dan tiupan seruling.

Fenomena dangdut solo organ ini semakin hari semakin marak saja. Kini setiap ada hajatan terasa kurang lengkap tanpa hiburan musik hidup ini. Penyanyinya yang biasanya perempuan tampil dengan kostum serta dandanan layaknya penyanyi dangdut profesional.

Gaun mini di atas lutut dengan warna-warni cemerlang yand di beberapa bagian tampak terbuka, sepatu lars panjang berhak tinggi, rambut panjang lurus kecoklatan hasil pewarna, bulu mata palsu melengkung lentik, pupur tebal plus perona pipi jambon, gincu merah menyala….Tubuh seksi itu meliuk-liuk bergoyang mengikuti irama gendang. Sesekali pinggul menghentak nakal, membawa imajinasi para penonton melayang. Desahan serta kerling mata nan menggoda menambah hangat suasana.

Namun malam itu di layar kaca, Nuraini tak bergaya seronok. Dalam balutan busana keemasan, ia melenggok menyanyikan sebuah lagu pilihannya. Ia terlihat begitu bersemangat dan enjoy. Oleh para juri Nur diloloskan dan itu artinya ia mempunyai kesempatan untuk jadi pemenang yang akan diketahui di akhir acara dari hitungan SMS yang masuk.

Oya, tentu saja tayangan ini melibatkan kesertaan penonton tivi untuk ikut memilih pemenangnya dengan cara mengirimkan SMS. “Strategi” seperti ini mulai ramai digunakan para penyelenggara acara-acara tivi sejak beberapa tahun silam dan sukses meraup keuntungan, baik bagi stasiun televisinya mau pun penyedia layanan telepon selulernya. Terbukti dari tetap dipertahankannya acara-acara tersebut lantaran banyak diminati pemasang iklan dan rating-nya tinggi. Bicara rating, apa boleh buat, itulah salah satu “alat ukur” yang dipakai dan dipercaya untuk mengetahui laku tidaknya sebuah tayangan tivi. Tidak peduli acara tersebut bagus atau buruk mutunya.

Kembali kepada Nur yang telah usai berdendang. Oleh pembaca acara Nur diminta menuturkan kisahnya hingga tiba di panggung kontes dangdut itu. Dengan gayanya yang terlihat lugu, istri seorang tukang potong rumput itu, menggulirkan ceritanya.

Dari kampungnya nun jauh di Pulau Perca sana, Nur berangkat ke Jakarta dengan segumpal tekad ingin memenangi kontes dangdut itu. Berbekal uang tiga juta rupiah hasil penjualan 4 ekor kambing miliknya, perempuan berkulit gelap ini terbanglah. Sesampai di bandara Soekarno-Hatta ia sempat kebingungan tak tahu harus ke mana sebab, katanya, ia tak punya sanak saudara di ibukota ini. Untunglah, ia bertemu seorang bapak baik hati yang menawarinya tempat tinggal. Tawaran itu segera diterimanya. Nur tinggal di rumah pria baik budi itu sampai waktu lomba tiba. Nur menutup kisahnya dengan harapan dan doa agar ia berhasil menjadi juara malam itu.

Lain Nuraini lain pula Tresna. Tresna, bocah perempuan berumur 15 tahun ini, berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Ia datang diantar bapak ibunya dan beberapa orang saudaranya yang terus menyemangatinya selama ia tampil. Tresna bertubuh pendek untuk ukuran anak seusianya. Badannya sedikit gempal dengan rambut dipotong pendek. Malam itu ia mengenakan baju rok putih dengan bagian bawah lebar. Wajahnya dirias tebal sehingga membuat ia tampak lebih tua dari usianya.

Tresna menyanyi dengan bagus. Ia berhasil memesona para juri dan penonton di studio. Ia pun dinyatakan lolos. Sebagaimana Nur tadi, Tresna juga didaulat untuk bercerita.

Tresna anak sulung dari tiga bersaudara. Bapaknya bekerja sebagai tukang ojek, sedangkan ibunya berjualan kecil-kecilan di rumah. Sudah sejak umur 9 tahun, Tresna senang menyanyi. Ia belajar dari melihat VCD penyanyi idolanya, Rita Sugiarto. Seperti Nur, Tresna juga sering ditanggap menyanyi di panggung-panggung kecil di desanya. Serupa dengan Nur, Tresna pun ingin menang supaya bisa memperbaiki nasib keluarganya. Sambil berurai air mata dan suara tersendat oleh isak tangisnya, Tresna mengaku ingin menyenangkan dan membantu kedua orang tuanya mencari uang. Ia yakin dengan memenangi lomba malam itu jalan menuju hidup yang lebih baik akan terbuka lebar.

Oh..sungguh menyentuh kisah anak kecil itu. Tanpa terasa saya dan ibu saya ikut meneteskan air mata haru, larut oleh kisah yang dipaparkannya. Dan kemudian saya ikut memilihnya lewat SMS. Oh…inilah kali pertama saya “terlibat”.

Mungkin apa yang diungkapkan Tresna dan Nur benar belaka dan dengan jitu telah dimanfaatkan oleh pihak penyelenggara. Mereka mengekspos penderitaan para peserta demi menggugah dan melibatkan emosi penonton. Maka, jika penonton sampai ikut menangis berarti acara tersebut digemari dan sukses. Tidak terlalu salah kesimpulan itu, karena keesokan harinya, pada jam yang sama ibu saya kembali mengikuti acara tersebut.

Kiranya dangdut dan televisi telah bersinergi dengan apik dalam menjual mimpi-mimpi kepada para audiensnya. Keduanya adalah benda yang sangat akrab dalam keseharian masyarakat bawah. Lewat kedua media hiburan ini, orang-orang seperti Nuraini dan Tresna mencoba menggantungkan harapan untuk tetap survive menjalani kerasnya kehidupan.

Dangdut yang dahulunya hanya laku di kalangan bawah, kini pelan-pelan statusnya naik. Musik yang berasal dari India ini mulai merambah selera orang-orang kota (modern). Sekarang dangdut diterima di mana-mana. Mulai dari tukang becak sampai para pejabat. Dangdut semakin laku keras pada musim-musim kampanye. Artis dangdut banjir order. Mereka biasanya “dimanfaatkan” untuk mengumpulkan massa.

Agak sedikit berbeda, keberadaan televisi di masyarakat justru berangkat dari golongan mampu. Dahulu kala hanya orang-orang kaya saja yang sanggup memiliki “kotak ajaib” ini di rumah-rumah mereka. Rakyat jelata biasanya nonton ramai-ramai di balai desa atau numpang di rumah tetangga yang punya.

Namun hari ini pesawat televisi bukan lagi barang mewah. Ia telah jadi harta yang wajib ada di setiap rumah tangga. Di gubuk-gubuk pinggir rel sekali pun kita bisa menjumpai benda ini. Mungkin hanya di daerah yang sangat terpencil saja (yang tidak ada di peta)
yang belum mengenal teknologi televisi.

Dan tatkala keduanya, dangdut dan tivi, bekerja sama menjual impian, kita terperangkap di dalamnya; membeli, melahap, menelannya. Sampai suatu saat, mungkin, akan muntah dan mencari impian baru lagi.***ENDAH SULWESI.

Kamis, 14 Februari 2008

C I N T A


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Petikan puisi Sapardi Djoko Damono di atas, pagi tanggal 14 Februari, saya terima lewat pesan pendek (sms) dari seorang sahabat. Ceritanya sih dalam rangka Valentine’s Day, satu hari yang “disepakati” seluruh dunia sebagai Hari Kasih Sayang. Sajak “Aku Ingin” itu memang sering kali “dipinjam” untuk mengungkapkan rasa cinta seorang kekasih kepada yang dicintainya. Meskipun Sapardi menulis “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” tetapi maknanya ternyata sungguh tidak sederhana.

Bayangkan, apakah sederhana mencintai seseorang dengan cara kayu mencintai api yang membakarnya hingga jadi abu? Alangkah dahsyat cinta seperti itu. Namun, saya percaya ada cinta seperti itu seperti saya yakin bahwa cinta adalah kekuatan paling besar di atas muka bumi ini. Siapa yang sanggup mengalahkan kekuatan cinta? Adakah yang mampu menolak kehadiran cinta? Bahkan maut pun tak mampu memisahkan dua orang yang saling mencinta. Tak ada kekuatan yang dapat menghalangi seorang ibu mencintai anaknya. Demi tanah air tercinta, seorang patriot rela mengorbankan jiwa dan raga. Untuk istri terkasihnya, Raja Shah Jiran membangun makam megah di Agra, Taj Mahal.

Cinta sama tuanya dengan dunia ini. Tuhan mencipta dengan cinta. Semua agama mengajarkan cinta. Entah sudah berapa ribu buku mengguratkan kisah tentang cinta. Telah berapa juta puisi, sajak, dan lagu cinta tercipta. Dari Shakespeare hingga Tolstoy; dari Rumi sampai Gibran; dari Chairil hingga Sapardi; dari Jokpin sampai Ayu Utami.

Pada tahun 1960-an, saat berkecamuk perang Vietnam, generasi muda di Amerika Serikat yang menentang perang tersebut, meneriakkan semboyan “make love, not war!”. Bisa dimengerti sikap antiperang kelompok anak-anak muda ini, sebab merekalah yang terkena wajib militer, dikirim sebagai tentara ke Vietnam untuk membantu perang di sana antara Utara (Komunis) yang didukung Uni Soviet dan pihak Selatan yang dibantu Amerika Serikat. Perang yang berlangsung selama 16 tahun (1959-1975) itu telah menelan banyak korban jiwa. Termasuk para pemuda.

Semboyan itu, saya rasa masih sangat relevan diserukan hari ini sebagai ajakan perdamaian. Lebih baik “bercinta” daripada perang. Tentu, makna “bercinta” di sini lebih luas dari sekadar percintaan badaniah antara lelaki dan perempuan. Ia bisa berarti mencintai sesama umat manusia di seluruh muka bumi ini. Alangkah indahnya, bukan jika yang ada di muka bumi ini hanya kedamaian semata seperti syair lagu John Lennon “Imagine” yang legendaris itu.

Bulan Februari sering dianggap sebagai bulan cinta, khususnya pada tanggal 14. Di seluruh dunia pada hari itu ramai-ramai merayakan cinta. Umumnya memang cinta antara sepasang kekasih, tetapi akan lebih bijak jika dimaknai lebih luas lagi.

Hari Valentine memang bukan berakar dari budaya kita. Asal muasal perayaan ini punya banyak versi. Ada yang mengatakan, bahwa mulanya adalah untuk mengenang kematian Santo Valentino (14 Februari 269 M). Orang Suci ini semasa hidupnya dikenal sangat pengasih dan dermawan kepada kaum duafa di kota tempat tinggalnya, Temi, Italia. Ketika ia meninggal dunia, warga Temi yang mencintainya mendirikan sebuah patung untuk mengenang kebaikan hati Valentino dan tanggal kematiannya dinyatakan sebagai hari libur.

Versi lain lagi mengisahkan, bahwa Hari Valentine adalah untuk mengenang Santo Valentinus yang gugur sebagai martir di perang Romawi. Sebelum wafatnya, ia sempat menulis sepucuk surat cinta. Ada juga legenda yang menyatakan, bahwa pada tanggal 14 itu Valentinus dihukum mati karena menentang peraturan Kaisar yang melarang para serdadu muda menikah. Valentinus justru secara diam-diam membantu menikahkan prajurit-prajurit muda tersebut.

Lantaran sejarahnya amat kental dengan tradisi gereja dan agama Nasrani, tidak terlalu mengherankan jika ada kalangan non-Kristen yang mengharamkan keramaian dan perayaan di hari tersebut.

Buat para pedagang, Valentine berarti saatnya meraup untung dengan menjual aneka pernak-pernik yang berkaitan dengan Hari Kasih Sayang itu. Kuntum-kuntum mawar merah, kartu-kartu ucapan, coklat berbentuk hati, pita-pita merah jambu, kue-kue cantik bernuansa pink, boneka-boneka lucu, jepit rambut, tas, dompet, kaus, gaun, cincin….

Para pelaku industri hiburan pun tak mau ketinggalan mengais rezeki lebih pada hari merah jambu ini. Hampir semua stasiun televisi ramai-ramai menayangkan acara bertema Valentine. Film, sinetron, gosip infotainment, dan acara musik semua berbau Valentine. Tentu yang diharapkan adalah rating tinggi yang berarti banjir iklan dan berujung pada keuntungan.

Bagi saya yang jomblo ini, Valentine artinya mendapat dan mengirimkan sms berisi ungkapan cinta kepada para sahabat. Kalau beruntung kadang-kadang suka juga mendapat sekeping coklat lezat atau kartu-kartu cantik merah muda. Atau seperti pagi itu, sepotong puisi yang saya balas dengan lanjutannya :

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
diucapkan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada.****