Jumat, 28 Desember 2007

P O H O N


Judul di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu global warming atau perubahan iklim. Juga tidak ada kaitannya langsung dengan imbauan Ibu Negara untuk menanam sepuluh juta pohon dalam rangka mengatasi climate change yang ramai-ramai dibincang di Bali beberapa waktu silam. Saya cuma ingin ngobrol soal pohon natal dan sejarahnya.

Perayaan Natal yang jatuh setiap 25 Desember tak bisa dilepaskan dari tradisi memajang pohon natal. Hiasan yang berasal dari pohon cemara ini ternyata memiliki sejarah panjang dan banyak versi. Tetapi umumnya menyebut bahwa asal-mula penggunaan pohon cemara sebagai pohon natal adalah di Jerman.

Mulanya tentulah bukan dimaksudkan sebagai hiasan pohon natal ketika bangsa Jerman kuno memiliki kesenangan (atau tradisi?) memasang pohon–utuh berikut batang, cabang, dan dedaunannya–di rumah mereka. Tujuannya lebih sebagai pengusir roh jahat. Maklumlah, waktu itu mungkin mereka masih menganut agama pagan atau keyakinan semacam animisme dan dinamisme. Jadi jauh sebelum datangnya agama Kristen.

Tatkala agama yang dibawa oleh Isa Almasih itu menyebar sampai ke Jerman, gereja dengan kekuasaannya melarang umat untuk meneruskan tradisi tersebut. Agaknya dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen.

“Dongeng” lain menyebutkan, bahwa semula pohon natal bukanlah cemara tetapi pohon oak. Masih di Jerman, al kisah adalah seorang pendeta Inggris bernama St.Boniface. Suatu hari, dalam sebuah perjalanannya, si Bapak Pendeta bertemu sekelompok orang yang tengah mengadakan ritual persembahan kepada Dewa Thor yang menghuni pohon oak. “Korban”-nya adalah seorang anak. Demi menyelamatkan jiwa bocah tersebut, St.Boniface merobohkan pohon itu. Ajaib! Selang beberapa waktu kemudian, di bekas tempat pohon oak yang roboh itu tumbuh sebatang pohon cemara yang kini dipakai sebagai pohon natal.

Namun nama yang paling sering disebut terkait perkara pohon terang ini adalah Martin Luther King. Dikisahkan, ketika tokoh reformasi gereja Protestan itu sedang mencari angin di hutan cemara pada suatu malam yang cerah. Ia tertegun menampak jutaan cahaya gemintang menembusi kepekatan hutan. Gemerlapnya seolah-olah menggantung di setiap dahan cemara. Ia pun lalu menebang sebatang dan dibawanya pulang. Untuk menggantikan keindahan kelap-kelip bintang, ia menyalakan berbatang-batang lilin yang dipasang di setiap cabang cemara. Ternyata, anak-anaknya menyenangi hiasan hasil kreasinya itu.

Dari Jerman, tradisi ini menyeberang ke Inggris. Pada tahun 1846, Ratu Inggris, Victoria yang menikahi Pangeran Albert dari Jerman, untuk pertama kalinya memasang pohon natal di istana mereka. Lantaran Sang Ratu sangat disayangi oleh rakyatnya, maka segera saja memasang pohon natal menjadi tren di Inggris.

Selanjutnya, si pohon terbang ke Benua Amerika. Di Negeri Uncle Sam ini, pohon natal, konon, pertama kali ditemukan di Pensylvania. Lagi-lagi dipelopori oleh orang Jerman.

Benar tidaknya “legenda-legenda” di atas, faktanya kini pohon natal menjadi hiasan “wajib” di rumah-rumah masyarakat (dan gereja) Nasrani di seluruh dunia.

Saya ingat pengalaman waktu kecil pernah ikut menghias pohon natal di rumah tetangga saya, keluarga Batak beragama Protestan. Pada suatu hari, beberapa hari menjelang Natal di masa lampau itu, saya diperkenankan ikut serta mendandani pohon natal mereka yang nyaris sebesar dan setinggi pohon cemara sungguhan.

Dengan riang gembira, saya bersama putri mereka yang seusia saya (namanya Natalia), menggantungkan lonceng-lonceng aneka warna, bola-bola emas, gumpalan kapas putih perlambang salju, serta bermacam pita dan lampu berbentuk bintang warna-warni melingkari tubuh pohon. Terakhir, dipasanglah salib emas di pucuk cemara yang kini menjelma pohon terang yang cantik.

Tiba hari Natal yang dinantikan, biasanya mereka mengirimi kami senampan penganan berupa kue-kue cantik (dan lezat) plus permen dan coklat. Yang saya juga ingat dengan jelas, saya juga diajak makan bersama keluarga besar mereka. Salah satu menu yang tersaji adalah sayur daun singkong tumbuk yang diberi kuah santan. Tapi sebagai bocah kecil saya tidak suka santapan itu. Saya malah memilih black forest dengan coklat keping yang menggiurkan. Oya, ada satu menu yang tidak boleh saya makan : daging babi yang tampak berkilau-kilau oleh lemak. Tentu karena mereka tahu saya muslim.

Kembali kepada pohon. Lantaran alasan kepraktisan (dan juga karena semakin sulit didapat), pohon natal kini tidak lagi berupa pohon cemara asli tetapi telah berganti menjadi pohon-pohon plastik yang “evergreen”. Bagus juga sih. Coba bayangkan seandainya tetap bertahan menggunakan pohon asli. Berapa juta batang cemara mesti dipenggal setiap tahunnya? Jika dicabuti dari hutan-hutan cemara, berapa banyak hutan yang tercukur gundul karenanya? Pasti proses global warming akan lebih cepat lagi. Daripada menebangi cemara-cemara itu, bukankah jauh lebih baik membiarkannya tetap hidup, menghijau lestari hingga anak cucu nanti.

Akhirnya, saya ucapkan selamat hari natal dan tahun baru. Damai di hati, damai di bumi.***


ENDAH SULWESI 29/12

Sabtu, 22 Desember 2007

T E H


Pada mulanya adalah legenda dari Daratan Cina. Tentang seorang kaisar bernama Shen Nung yang hidup pada zaman ketika kalender Masehi belum diciptakan. Kaisar yang hobi berkebun tanaman obat-obatan ini pada suatu hari secara tidak sengaja “menemukan” pohon teh untuk pertama kalinya.

Konon menurut kabar yang diembuskan angin dari berabad-abad nan silam, ketika Sang Kaisar tengah bekerja membuat ramuan di kebun kesayangannya, ketel yang berisi air mendidih untuk keperluan merebus “jamu” bikinannya, kejatuhan beberapa helai daun kering dari pohon di atasnya. Tatkala Yang Mulia Shen Nung meminum air rebusan tersebut, ia mendapatkan rasa sedap dan aroma segar. Warna airnya pun tidak lagi bening tetapi agak keruh. Ternyata Sang Kaisar menyukai rasanya. Ia juga merasa lebih bugar setelah meminum “ramuan” itu. Ramuan itulah yang kini kita kenal sebagai teh.

Versi lainnya menuturkan, bahwa Sang Kaisar pertama kali menemukan teh saat sedang beristirahat di bawah sebatang pohon dalam sebuah perjalanan panjang. Daun teh tersebut diterbangkan angin dan nyemplung ke dalam panci yang berisi air mendidih untuk minum Kaisar. Kaisar yang langsung meyenangi rasanya, segera memerintahkan para juru masaknya untuk merebus lebih banyak lagi.

Walaupun kisahnya rada-rada mirip dengan kisah Newton (sama-sama ketiban “wangsit” di bawah pohon) tetapi itulah legenda yang dipercaya oleh dunia sebagai asal-muasal sejarah ditemukannya teh.

Tradisi minum teh di Cina jauh lebih tua dari usia Republik itu sendiri. Mulanya hanya berlaku di kalangan bangsawan dan orang kaya saja.Demikian pula di Jepang yang beruntung kecipratan khasiat teh dari Cina lewat penyebaran agama Budha.

Miturut hikayat yang dilisankan secara turun-temurun, asal mula teh di Jepang lebih unik lagi sejarahnya. Adalah seorang pendeta Budha bernama Daruma yang hidup sekitar tahun 520 M. Lazimnya pendeta, Daruma kerap melakoni tapa sebagai salah satu ritual demi menyempurnakan ibadahnya. Selama bertapa ia tidak diperbolehkan tidur barang sekejap pun.

Namun, suatu kali Daruma tak kuasa menahan kantuk. Tiba-tiba saja ia sudah lelap tertidur dan murka sekali saat terjaga. Tak habis-habisnya ia mengutuki diri sendiri atas kelalaian yang memalukan itu. Maka, kemudian untuk mencegah hal tersebut terulang kembali ia lantas memotong kedua kelopak matanya. Potongan kelopak itu kemudian dibuang tak jauh dari tempatnya biasa bertapa. Tak lama berselang di tempat tersebut tumbuh sebatang pohon yang seduhan daunnya bisa dibuat minuman. Pohon itulah cikal bakal tanaman teh yang kita kenal kenal sekarang.

Masih banyak lagi versi lainnya yang beredar di masyarakat. Dari yang serba ilmiah sampai kepada mitologi dan dongeng. Yang jelas tumbuhan yang memiliki nama latin camellia sinensis ini dahulunya adalah minuman raja-raja dan para bangsawan. Tradisi minum teh yang berasal dari Cina, selanjutnya menyebar ke Eropa, Amerika, dan seluruh dunia. Bahkan di Jepang ada upacaranya sendiri. Dan kini, teh telah menjadi minuman semua orang.

Di Indonesia, teh dikenal seiring dimulainya kolonialisme Belanda. Menurut catatan sejarah, bibit tanaman yang jika dibiarkan bisa mencapai ketinggian 10 meter ini dibawa oleh Dr. Andreas Cleyer pada tahun 1686 sebagai tanaman hias. Barulah pada 1728 ditanam secara besar-besaran oleh Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa. Benihnya didatangkan dari Cina.

Akan tetapi ternyata klon dari Negeri Tirai Bambu ini tidak cocok untuk tanah dan iklim di Jawa. Atas upaya seorang dokter tentara, Dr.Van Siebold, diujicobakan bibit teh dari Jepang. Usaha ini kemudian dikembangkan oleh rekannya, Jacobson dan ketika Gubernur Jendral Van Den Bosch berkuasa rakyat diwajibkan menanam teh melalui politik tanam paksa. Peninggalannya masih dapat kita saksikan berupa bentangan perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatera yang dimiliki pemerintah (PT Perkebunan Nusantara).

Yang terdekat dengan Jakarta adalah Perkebunan Teh Gunung Mas. Terletak hanya 90 km dari ibu kota negara, kawasan hijau nan sejuk ini dapat ditempuh dalam tempo 2 jam saja. Tentu dengan jika kondisi lalu lintas Puncak sedang tidak macet. Di Gunung Mas ini kita juga dapat melakukan kunjungan ke pabrik teh. Di pabrik yang dibangun Belanda pada 1910 ini pengunjung bisa melihat secara langsung proses pengolahan teh hitam hanya dengan membayar Rp 3.000,- per orang serta Rp 15.000,- untuk satu orang pemandu yang akan memberikan penjelasan.

Tidak seperti di negara-negara lain, di Indonesia tidak dikenal tradisi minum teh. Malahan di sini teh diperlakukan sebagai minuman kelas dua. Kedudukan teh di rumah tangga-rumah tangga Indonesia lebih rendah dari susu, kopi, atau sirup. Ini bisa dilihat misalnya ketika kita bertamu dan tuan rumah “hanya” menyajikan teh, demi sopan-santun ia akan berkata dengan nada minta maaf: “Maaf ya cuma disuguhi teh saja nih.” Atau mana kala kita makan di restoran, masih banyak yang menyediakan teh secara cuma-cuma.

Sikap seperti ini bisa jadi menyebabkan harga teh di dalam negeri rendah, walaupun sekarang sudah kian banyak produk minuman teh dalam kemasan siap saji dengan beraneka variasi rasa tambahan, seperti: apel, mint, stroberi, melati, dan lain-lain. Padahal konon jumlah produksi teh tanah air tidak akan cukup bagi konsumsi dalam negeri apa bila seluruh orang Indonesia mengonsumsinya. Tidak akan ada sisa untuk diekspor.

Tetapi sayangnya masyarakat kita lebih suka minum air putih yang kini lebih populer dengan istilah keren air mineral. Padahal zat-zat yang terkandung dalam secangkir air teh tak kalah bermanfaat dibanding air putih. Dalam teh terdapat zat antioksidan yang bernama katekin yang berfungsi mencegah penyakit jantung dan hipertensi selain juga menurunkan kadar kolesterol. Unsur fluoride-nya bisa menghambat tumbuhnya karies pada gigi; sedangkan kafeinnya menyegarkan tubuh serta merangsang sistem saraf sehingga memperlancar distribusi oksigen.

Nah, jika Anda masih bingung memilih menu sehat untuk minuman Anda, cobalah teh dan rasakan manfaatnya.***

Jumat, 14 Desember 2007

P A S A R


Sudah lama sekali saya tidak pernah lagi ke pasar tradisional. Rasanya kok jadi malas banget membayangkan lantainya yang kotor, becek, bau, dan panas. Beda sekali kondisinya dengan pasar-pasar swalayan seperti Carrefour, Hypermart, atau Giant, untuk menyebut beberapa nama. Pasar-pasar modern ini ada di dalam gedung besar berlantai mengilap, sejuk karena pendingin ruangan, dan wangi. Kadang-kadang terdengar juga alunan musik merdu dari pengeras suara. Saya bisa betah berjam-jam di dalamnya.

Kelebihan lain pasar modern, setidaknya menurut saya, adalah mutu barang yang dijual serta harga yang ditawarkan. Jika di pasar kumuh saya harus tarik-tarikan urat leher demi mendapatkan harga yang sesuai dengan keinginan saya, di pasar-pasar wangi itu tidak perlu terjadi. Semua harga sudah tertera di barang dagangan. Secara fisik dan visual, barang-barang tersebut tampak bagus dan ditata sedemikian rupa dalam display yang menarik. Seringkali, tanpa sadar saya terbujuk membeli barang yang sebetulnya tidak saya butuhkan hanya karena ngiler pada kemasan dan penampilan fisik benda-benda itu.

Masih ada lagi alasan mengapa saya lebih suka belanja di pasar swalayan, yaitu soal timbangan. Di pasar-pasar sejuk itu, saya tidak pernah dikecewakan untuk urusan timbangan. Benar-benar akurat. Tentu saja, karena mereka menggunakan timbangan digital, sedangkan di pasar “kampung”, paling banter timbangan yang dipakai adalah timbangan kuno yang serbamanual.

Tetapi sebenarnya, kondisi alat yang serba “terbelakang” itu tak bisa dijadikan alasan untuk berbuat curang dalam menimbang. Toh, alat tersebut tetap bisa berfungsi dengan benar seandainya dipakai dengan baik. Misalnya, sering ditera ulang, sehingga selisih berat tidak sampai terjadi. Ini terlepas dari cerita tentang moral si pedagang, lho. Sebab kalau sudah bicara moral, neraca paling canggih pun tetap bisa diakali untuk berlaku tak jujur.

Dengan beberapa kelebihan tadi, sudah barang tentu saya lebih memilih belanja di pasar-pasar swalayan dari pada pasar “kuno”. Prihatin sebetulnya, sebab dengan munculnya pasar-pasar mewah itu sedikit banyak memengaruhi geliat perdagangan di pasar-pasar tradisional. Tidak sampai tutup memang, namun barangkali tidak seramai beberapa tahun silam saat supermarket belum menjamur seperti sekarang.

Belum lagi ditambah dengan hadirnya minimarket-minimarket di daerah permukiman. Semakin malaslah saya berbelanja ke pasar becek yang berjarak agak jauh dari rumah. Sementara ada minimarket di dekat rumah saya yang hanya butuh waktu 5 menit berjalan kaki. Di situ saya bisa mendapatkan segala barang yang saya perlukan. Mulai dari beras, minyak, sabun, mie instant, sirup, payung, sampai obat-obatan. Coba, bagaimana tidak enak?

Tetapi yang enak buat saya belum tentu enak buat orang lain. Contohnya, tetangga saya pemilik sebuah warung kelontong. Dengan adanya minimarket di dekat kompleks kami, otomatis orang-orang yang biasa berbelanja di warungnya jadi berkurang. Sekarang, nyaris semua penghuni kompleks berbelanja di minimarket itu. Bahkan hanya untuk sekadar membeli sebiji pasta gigi atau sekilo gula pasir. Warung tetangga saya hanya kebagian untuk beli garam atau sebutir telur ayam. Itu pun untuk kondisi segera dan mendesak.

Tidak enak juga mendengar tetangga saya itu jadi sering mengeluh karena warungnya sepi. Pada hal sebelum minimarket itu beroperasi, warungnya jadi sasaran pertama kami belanja barang kelontongan. Kini, jika pun ada yang belanja cukup banyak di warungnya, biasanya dengan niat berutang. Ya..kalau giliran utang aja ke warung saya deh, kata tetangga saya dengan muka ditekuk.

Tidak adil kedengarannya. Tapi mau apa lagi? Berapa banyak pengusaha warung kelontong seperti tetangga saya yang dirugikan dengan keberadaan minimarket-minimarket itu?

Agaknya mesti diatur kembali pemberian izin operasi bagi pasar-pasar serbaada tersebut agar tidak lalu mematikan usaha kecil yang sudah ada. Perlu ada semacam pembatasan jumlah dan ketentuan lokasi usaha supaya kehadirannya bisa tepat guna. Dalam hal ini pemerintahlah yang mesti turun tangan dengan segala kekuasaan yang dimilikinya. Pejabat yang berwenang mengurus seharusnya tidak boleh merasa tenang-tenang saja melihat fenomena seperti ini. Saya khawatir, apabila didiamkan dampaknya akan jauh lebih serius lagi. Bukan mustahil akan meningkatkan angka pengangguran.

Dan bagi para pedagang di pasar-pasar tradisional tampaknya perlu memperbaiki mutu pelayanan. Janganlah “mencuri” angka timbangan atau menipu pembeli dengan menjual barang kualitas kelas dua dengan harga tinggi. Aturlah barang-barang dagangan dalam susunan rapi dan menarik dalam wadah-wadah yang baik dan bersih. Layani pelanggan dengan senyum dan tutur kata sopan. Insya Allah, pelanggan akan tetap setia mengalirkan rejeki ke pundi-pundi Anda.***

endah sulwesi 25/11

ilustrasi diambil dari: http://www.gudeg.net/images/icon/icon_belanja.gif

Rabu, 12 Desember 2007

D A U N


Jika saya ditanya daun apakah yang termahal di dunia? Barangkali bila pertanyaan tersebut dilontarkan beberapa tahun lalu, saya akan berpikir cukup lama untuk menemukan jawabannya. Tetapi, jika saya ditanya hal yang sama hari ini, saya dengan yakin akan menjawab: daun anthurium!

Ya, anthurium. Tanaman hias dengan aneka macam bentuk daun-daun cantik (menurut penggemarnya) itu berasal dari bumi Amerika Selatan. Memiliki nama Latin anthos oura, tanaman ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Asia. Entah karena mitos sebagai tanaman pembawa hoki atau karena semata-mata keindahan fisik dan tampilannya, belakangan ini demam anthurium melanda Jakarta dan kota-kota besar di Tanah Air. Para penggila tanaman hias berlomba-lomba mengoleksi si “emas hijau” ini. Tak peduli meski harganya terkadang tampak tak masuk akal bagi awam.

Bayangkan saja, satu batang anthurium yang masih bayi dari jenis Neo Super Boom dijual dengan harga Rp 3,5 juta! Bahkan untuk jenis lainnya, Anthurium Keris dan Anthurium Sirih, bisa mencapai Rp 6 juta! Kabar terakhir yang saya baca di surat kabar, telah terjual anthurium jenis Gelombang Cinta seharga Rp 125 juta! Buat saya yang ngos-ngosan cari duit sekadar agar bisa sesekali ngopi di Starbuck, ini sungguh gila. Saya nyaris tidak percaya ada orang di dunia ini yang rela menukar uang sebanyak itu dengan “sekadar” dedaunan.

Namun, tentulah bagi para hobiis anthurium bukan sekadar dedaunan tak berguna. Tanaman yang salah satu jenisnya dulu sering kita sebut “kuping gajah” ini, mempunyai bunga berbentuk hati dengan warna merah dan putih. Bunganya berkelopak tunggal tanpa wewangian. Sebenarnya sih tidak cantik-cantik amat jika dibandingkan mawar atau anggrek, umpamanya.

Dari jenisnya yang beragam itu, ada satu yang jadi primodana, yaitu anthurium Gelombang Cinta (the wave of love) yang telah saya sebut di atas. Dinamakan Gelombang Cinta karena bentuk daunnya yang bergelombang. Panjang setiap helainya bisa mencapai 2 meter. Para pemujanya rela membayar sampai ratusan juta untuk mengoleksinya.

Ah, pastilah hanya mereka yang kaya-raya saja yang sanggup menghiasi taman-taman di rumah mereka dengan spesies flora mahal ini. Bukan saja para penggemar sejatinya, tetapi juga mereka yang cuma ikut-ikutan tren demi gengsi dan status sosial. Memelihara dan mengoleksi anthurium kini menjadi semacam gaya hidup di kalangan elite yang mulai menyusup ke tingkat bawah. Seorang teman yang saya tahu betul selama ini tak pernah punya perhatian khusus kepada tetumbuhan, tiba-tiba saja latah membeli janin anthurium seharga lima ratus ribu rupiah. Katanya sih buat bisnis. Nanti jika “bayi” itu sudah besar akan dijualnya lagi. Tentu dengan harga berkali-kali lipat dari harga membelinya.

Sesungguhnya fenomena seperti ini bukan hal baru dan bisa terjadi di berbagai kalangan. Ingat saja misalnya saat booming ikan arwana. Kita dibuat tercengang oleh kenyataan ada ikan sungai yang biasanya jadi lauk makan siang bisa berharga puluhan juta rupiah. Lalu menyusul demam laohan, masih sejenis ikan hias air tawar. Bentuknya mirip ikan mas koki dengan mata menonjol dan kepala panjul yang unik. Lagi-lagi harganya seolah-olah berada di luar nalar kita yang awam. Ikan-ikan berjidat benjol itu bernilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.


Di lingkungan penyuka tanaman juga tak kalah menakjubkan. Anggrek, contohnya. Telah berabad-abad silam tanaman yang aslinya tumbuh di tengah hutan ini menjadi koleksi bergengsi di kalangan bangsawan dan kaum borjuis. Bahkan kian berkembang sampai hari ini. Para penggila anggrek ini sering nekat dalam upaya mereka mendapatkan anggrek-anggrek dari jenis yang langka. Tak jarang mereka terpaksa “mencuri”-nya dari dalam kawasan hutan yang dilindungi. Dalih mereka sih untuk menyelamatkan tanaman itu. Daripada di rimba belantara tidak ada yang merawatnya mendingan diambil untuk ditanam dan dibudidayakan secara lebih layak lagi. Dengan demikian spesies langka itu terlindung dari ancaman kepunahan alamiah dan dunia dapat ikut menikmati keindahannya.

Memang menarik mengamati perilaku para penggila ini. Bagi kita yang berada “di luar” sering dibuat takjub dan terheran-heran oleh kenekatan mereka. Kerap kita tak percaya menyaksikan ulah mereka yang unik dan di luar akal sehat. Tindakan membeli tanaman dan hewan peliharaan semahal itu oleh kita tampak sebagai kelakuan boros menghambur-hamburkan uang. Padahal kalau kita berada di posisi mereka, bukan mustahil kita pun akan melakukan hal yang sama.

Dan kalau saja saya punya uang sebanyak itu, pasti saya akan lebih memilih menukarkannya dengan satu unit laptop, misalnya. Atau untuk biaya jalan-jalan ke Tana Toraja selama seminggu. Atau bisa jadi untuk memborong buku-buku, menambah koleksi yang sudah ada yang mungkin saja akan mengundang komentar miring dari mereka yang tidak suka buku. Hah? Uang sebanyak itu hanya untuk beli buku? Mendingan untuk beli berlian atau emas atau sepatu atau……***

Jumat, 07 Desember 2007

B U K U


Pada suatu petang, iseng-iseng saya menonton siaran televisi dari salah satu stasiun tv swasta nasional. Layar di depan saya mempertontonkan sebuah tayangan singkat tentang seorang perempuan sederhana bernama, sebut saja, Kiswanti. Ibu berusia kira-kira 50-an tahun ini, tampak mengayuh sepeda di jalan kampung yang lengang. Keranjang berwarna merah yang terletak di depan setang sepedanya, penuh berisi buku. Demikian pula di bagian boncengannya. Sampai di desa yang di tuju, Kiswanti langsung diserbu oleh beberapa orang anak yang rupanya telah menunggunya sejak tadi. Ya, mereka adalah para pelanggan yang menyewa buku-buku Kiswanti.

Selanjutnya oleh narator dikisahkan siapa Kiswanti sesungguhnya. Perempuan berkerudung yang hanya tamatan sekolah dasar ini, pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kemiskinan orang tuanya membuatnya terpaksa tak mampu meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Namun demikian, kendala tersebut tak lalu menyurutkan minatnya terhadap buku-buku dan bacaan.

Berangkat dari pengalaman hidup yang kurang beruntung itu, menumbuhkan sebentuk tekad di hati Kiswanti untuk menularkan kegemarannya membaca kepada masyarakat di sekitarnya. Maka, mulailah ia mengumpulkan buku-buku untuk disewakan kepada warga di kampungnya melalui perpustakaan pribadinya. Sampai saat ini, koleksinya sudah mencapai 1.900 buku dan majalah. Berikutnya, ia melebarkan jangkauan usahanya hingga merambah ke kampung-kampung tetangga dengan menggunakan sepeda.

Tayangan singkat itu menyentak saya. Sungguh mulia apa yang sudah diperbuat oleh Kiswanti dalam kaitannya dengan upaya memasyarakatkan gemar membaca. Dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, Kiswanti tanpa gembar-gembor telah turut mencerdaskan bangsa.

Sementara itu, apa yang sudah saya lakukan sebagai orang yang mengaku kutu buku dan pencinta sastra selama ini? Tindakan nyata apa yang sudah saya perbuat bagi orang-orang di sekitar saya untuk menumbuhkan kecintaan membaca? Cukupkah hanya sampai pada mengikuti acara-acara diskusi dan bedah buku saja sambil sesekali menulis resensi dan laporannya? Memadaikah hanya dengan rajin menyambangi pameran-pameran buku dan menghabiskan uang di sana padahal belum tentu buku-buku tersebut sanggup saya baca semuanya? Puaskah saya hanya dengan ikut berteriak-teriak mengimbau pemerintah dan masyarakat untuk mulai gemar membaca tanpa melakukan suatu tindakan nyata yang menyentuh langsung ke masyarakat?

Rasanya, yang terjadi adalah justru perilaku yang kontra-produktif. Boro-boro, misalnya, menyumbangkan buku-buku bagi yang memerlukan, meminjamkannya pun saya nyaris tidak pernah. Khawatir buku-buku kesayangan saya rusak atau bahkan tidak dikembalikan sama sekali. Padahal kian hari, jumlah buku di lemari saya kian bertambah banyak dan membutuhkan banyak tempat juga. Saya jadi sangat pelit jika menyangkut urusan dengan buku. Saya terlalu mencintai buku-buku saya sehingga sering tidak rela kehilangannya. Jangankan sampai hilang, cacat sedikit saja saya sudah panik. Saya menjaga buku-buku saya seperti menjaga peti harta karun. Sampai-sampai keempat keponakan saya yang masih kecil-kecil itu sering menjadi korban teriakan saya kalau mereka coba-coba menyentuh “harta” tersebut. Hah. Kalau begini, bagaimana saya bisa mengajari mereka mencintai buku dan gemar membaca? Saya sibuk menyerakahi buku-buku saya untuk diri saya sendiri.

Sungguh malu saya “berhadapan” dengan sosok mulia Ibu Kiswanti, karena dibandingkan dirinya, apa yang sudah saya kerjakan selama ini nyaris nol besar. Cuma manis di bibir saja. Komitmen saya untuk menularkan kegemaran membaca jangan-jangan hanya sekadar lip service. Tinggal menjadi jargon dan slogan saja. Padahal, seandainya saya mau membagi sebagian kecil saja dari “harta” saya itu dengan yang lain, tentu akan lebih bermanfaat dari pada sekadar menjadi pajangan.

Sekiranya saya sudi menyumbangkan sedikit saja dari buku-buku saya yang tiga lemari itu untuk taman bacaan di sebuah rumah singgah (rumah bagi anak-anak jalanan) yang dikelola seorang teman, pasti akan banyak anak-anak yang dapat turut menikmatinya. Ikut serta membukakan “jendela” dunia bagi mereka yang tidak mampu membeli buku, seperti ketika saya kecil dulu yang hanya bisa membaca buku-buku bekas yang dibeli ayah saya dari pasar loak Jatinegara. Bukankah memberikan sebuah buku sama artinya dengan memberikan sekeping dunia? ***

Endah Sulwesi

Kamis, 06 Desember 2007

T A T T O O


Setiap kali ke Bali, sebisa mungkin saya selalu menyempatkan diri ke Kuta. Selain untuk menikmati eksotisme pantai landai berpasir putih dengan tubuh-tubuh bule telanjang bergeletakan disengat surya, juga untuk membuat tattoo (selanjutnya saya sebut tato saja). Biasanya saya buat di lengan bawah atau pergelangan. Pernah juga di dekat tumit. Bukan tato permanen tentu. Gambar yang dibuat dengan tinta hitam atau biru ini akan luntur dengan sendirinya dalam jangka waktu dua pekan. Untuk jasa rajah tubuh ini, kita dikenakan ongkos lima belas ribu rupiah. Tetapi jika ukuran gambar semakin besar dan rumit, ongkosnya juga mesti ditambah.

Kata “tattoo” berasal dari bahasa Tahiti, “tatu” yang berarti “tanda”. Konon, menurut para ahli sejarah, seni tato ini sudah ada sejak 12.000 tahun SM. Bukti-buktinya bisa ditemukan pada peninggalan suku-suku kuno, seperti Maori (Selandia Baru), Ainu Jepang), Inca, Aztec (Amerika), dll. Tato tertua ditemukan di Mesir. Diduga kuat dari negeri para firaun inilah seni tato berasal dan menyebar luas ke segala penjuru dunia. Di Indonesia, jejak tato bisa ditelusuri di wilayah Kepulauan Mentawai, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di NTB.

Namun, sejatinya saya tidak suka melihat orang bertato. Selalu ada rasa ngeri yang menyertai tatkala berjumpa atau berdekatan dengan mereka. Agaknya ini akibat ‘cekokan’ informasi yang saya terima waktu kecil dulu, bahwa orang bertato itu identik dengan penjahat, badung, kriminal. Tidak terlalu salah juga sebetulnya, sebab kalau mau membaca kembali sejarahnya, salah satu “fungsi” tato pada zaman dahulu adalah “cap” bagi para budak dan orang-orang tahanan di samping juga sebagai perhiasan atau penanda status sosial seseorang.

Tetapi itu dahulu. Sekarang, tato sudah dianggap semacam life style dan mode atau bahkan seni. Kini tato bukan monopoli kaum pria saja, tetapi wanita pun mulai banyak yang merajah tubuh mereka. Ayu Azhari, Nafa Urbach, dan Becky Tumewu, misalnya untuk menyebut beberapa nama selebritis perempuan yang memiliki tato. Bahkan belum lama ini, seorang teman perempuan memamerkan sebuah tato kupu-kupu di punggungnya. Keren, kan? Katanya bangga yang saya tanggapi dengan cengiran. Belakangan saya tahu koleksi rajahnya bertambah dua lagi. Satu di pinggul berupa matahari serta satunya lagi di payudara, berbentuk tiga kuntum kecil bunga

Dan masih menyangkut tato, beberapa hari lalu di bus jurusan Bekasi-Sukabumi saya terpaksa duduk di sebelah lelaki bertato. Tepatnya, dia yang duduk di sebelah saya, sebab saya telah duduk lebih dulu dan kursi di sebelah saya kosong sebelum datang lelaki itu. Sudah tentu saya merasa ngeri dan risih sekali.

Pria bertubuh tinggi besar dan kekar itu memakai kaus lengan buntung, menampakkan dengan jelas otot-otot lengan serta gambar sepasang naga melingkar di sana, di atas kulit berwarna tembaga. Potongan rambutnya cepak, mirip tentara. Sekilas, penampilannya mengingatkan saya pada sosok Bang Napi di RCTI. Tanpa sadar tubuh saya rasanya menciut, semakin mepet ke jendela bus. Jangan-jangan “Bang Napi” ini mantan narapidana, saya membatin seraya sibuk menutupi ‘tato’ bunga di pergelangan tangan saya oleh-oleh dari Kuta.

Tatkala kursi sudah terisi semua dan bus ambil ancang-ancang untuk segera berangkat, tiba-tiba seorang ibu berlari terseok-seok membawa kardus dan sebuah tas besar di kedua belah tangannya. Lantaran tak dapat melambai, ibu itu berteriak meminta agar ditunggu. Ia hendak naik. Sulit sekali tampaknya bagi si ibu menaiki tangga bus dengan tangan yang penuh jinjingan. Sementara itu kernet bus ada di pintu belakang, sibuk menjerit-jerit memanggil penumpang. Sampai beberapa saat tak ada seorang pun yang tergerak membantu sang ibu yang kerepotan itu.

Tanpa saya duga, lelaki bertato di samping saya berdiri segera dan beranjak ke pintu menolong ibu itu naik. Kedua bawaan diraihnya seraya membimbing si ibu ke kursi sebelah saya. Duduk sini, Bu, katanya ramah yang disambut dengan ucapan terima kasih berulang-ulang dari si ibu. “Bang Napi” itu sendiri kemudian berdiri gagah di samping kursi tersebut.

Saya terperangah sambil diam-diam menyimpan rasa malu karena sempat tebersit pikiran buruk terhadap “Bang Napi” ini. Ternyata, dia yang sempat saya kira bekas penjahat malah yang lebih dulu berbuat baik. Jika tadi ia tak menolong, belum tentu saya yang akan melakukannya.

Selama ini saya lebih sering menggerutu jika ada penumpang–orang tua, menggendong anak, atau wanita hamil–yang memaksa naik meskipun bus sudah penuh. Bukannya memberi kursi, saya justru pura-pura tidak melihat atau berlagak tidur. Saya juga bayar dan perlu duduk. Apalagi ransel saya berat banget, kata saya dalam hati mencari pembenaran. Salah sendiri naik mobil yang penuh padahal kalau mau bersabar menunggu masih akan banyak yang kosong, saya melanjutkan gerundelan. Tentu, lagi-lagi cuma berani dalam hati.

Pasti saya sudah berlaku tidak adil, baik terhadap “Bang Napi” dengan prasangka buruk, mau pun kepada para penumpang yang memaksa naik bus penuh. Bisa saja mereka memaksa naik karena harus bergegas sampai ke tempat tujuan. Mungkin ada urusan yang mesti cepat diselesaikan. Atau seperti saya juga, tak ingin terlambat sampai di kantor.

Begitupun perkara tato. Agaknya saya mesti mengubah cara pandang saya selama ini. Walaupun masih tetap seram, tetapi setidaknya mulailah berpikir bahwa tato itu tidak identik dengan kriminal dan–ini yang terpenting–jangan sekali-sekali menilai sesuatu dari bungkus luarnya. Kalau di kalangan kutu buku, istilah populernya adalah don’t judge the book by its cover. Iya nggak sih?***


endah sulwesi