Sabtu, 06 September 2008

Buka Bersama


Hari keempat puasa, saya tidak ngantor. Bukan karena puasa tapi justru karena sedang cuti puasa. Biasa deh perempuan. Alam telah memberikan dispensasi kepada kami untuk tidak berpuasa pada hari-hari "merah". Dan peraturan di kantor saya memberi hak kepada karyawati yang tengah datang bulan untuk cuti haid selama satu hari. Jadi, libur saya legal toh?


Biasanya selama tidak kerja saya tidak kemana-mana. Menghabiskan waktu di rumah dengan baca buku, ngenet, atau nonton tivi. Sebenarnya malas betul melakukan aktivitas yang terakhir itu sebab acara-acaranya tidak ada yang bisa dikatakan bagus. Seluruh stasiun tivi menyiarkan acara yang nyaris seragam setiap harinya. Apalagi sepanjang Ramadan ini. Saya sampai kesulitan membedakan satu acara dengan acara lainnya saking miripnya. Mulai menjelang berbuka hingga pada saat makan sahur.


Pagi itu, kira-kira jam sepuluh, tukang sayur langganan ibu saya berhenti tepat di muka rumah kami. Dengan teriakannya yang khas, ia mengumumkan kehadirannya. Ibu saya segera bergegas memenuhi panggilannya. Begitu juga beberapa ibu yang lain tetangga kami.


Saya yang sedang enggan mengerjakan apa-apa, tak beranjak dari ruang tamu. Mulanya saya tidak tertarik mengamati rutinitas para ibu itu. Namun, hari itu mereka membincang topik yang berhasil menggugah perhatian saya. Diam-diam saya mencuri dengar percakapan mereka.


Dimulai dari keluhan si Tukang Sayur. Dengan setengah menggerutu ia mengeluh soal langganannya yang kian hari kian sedikit saja belanjanya. Agak mengherankan baginya, sebab lazimnya hari-hari bulan puasa merupakan hari-hari menguntungkan karena para langganan umumnya berbelanja lebih banyak dari hari-hari biasa. Ia bisa menjual bukan saja sayur-mayur dan lauk-pauk tapi juga buah-buahan serta bahan-bahan pembuat kolak atau cemilan lain sebagai takjil. Tetapi baru memasuki hari keempat kok ibu-ibu ini sudah banyak mengurangi belanjaannya.


"Yah, habis percuma sih Mas, masak banyak-banyak juga nggak ada yang makan," sahut seorang ibu, "Anak-anak hampir setiap hari buka di luar," lanjutnya lagi yang lekas disepakati oleh ibu-ibu yang lain, termasuk ibu saya.


"Iya. Itu kolak pisang sampai tiga hari masih belum habis. Akhirnya dibuang deh," terdengar seorang ibu mengungkapkan "kasus"-nya.


"Betul, Bu. Di rumah juga begitu. Saya selalu buka sendirian. Cuma puasa pertama saja mereka buka di rumah," itu suara ibu saya. Nadanya kesal bercampur sedih. Ow..ow.."Malah sahur juga lebih sering sendiri karena mereka pada susah disuruh bangun. Alasannya ngantuk. Ya gimana nggak ngantuk kalau baru pulang jam 11?" Wah, semakin panjang curhatnya dan membuat saya jadi merasa bersalah. Pasti yang dimaksudnya itu saya dan adik saya.


Sebuah suara menimpali, "Tahu tuh anak-anak. Semakin gede semakin nggak betah di rumah. Padahal katanya jam pulang kantor dimajukan 1 jam supaya bisa buka di rumah. Eh..ini malah pada ngelayap."


Obrolan pagi para ibu itu sebenarnya masih terus berlanjut beberapa saat lagi. Tapi bagi saya sudah cukup untuk menangkap inti sarinya yang bikin saya tercenung. Kasihan ya ibu saya. Jadi selama ini saya sudah bikin sedih hatinya lantaran kerap buka bersama di luar. Setiap hari ada saja jadwal buka bersama yang harus saya hadiri. Harus? Benarkah itu satu keharusan yang wajib saya laksanakan atau saya sekadar mencari pembenaran saja ketika memakai alasan "tidak enak kalau tidak datang"? Lalu bagaimana dengan perasaan ibu saya yang diam-diam menelan sendiri kesepian dan kesedihannya karena harus buka puasa sendirian? Mengapa saya bisa merasa enak-enak saja meninggalkan beliau sendiri sementara saya makan enak di luar? Oh, jangan-jangan saya sudah jadi anak durhaka.


Kalau mendengar "drama" satu babak tadi, agaknya bukan cuma ibu saya yang mengalami "kasus" seperti itu. Dan saya yakin, hal serupa dialami juga oleh ibu-ibu di tempat lain. Tatkala semestinya bulan yang penuh berkah ini bisa menyatukan anggota keluarga dalam ritual berbuka dan sahur, mengapa justru peluang itu tidak saya manfaatkan dan malah saya sibuk makan di luar. Bukankah kegiatan "makan di luar" telah hampir setiap hari saya lakukan selama ini?


Jadi sekarang baiknya gimana ya? Apakah mulai hari ini dan seterusnya saya berbuka di rumah saja? Atau apakah harus saya atur kembali jadwalnya, selang-seling dengan buka di luar?


Selagi saya masih sibuk berpikir, tiba-tiba ponsel saya berdering. Panggilan dari seorang teman. Saya tahu, dia pasti ingin mengingatkan kembali ihwal acara buka puasa bersama petang nanti di sebuah resto di bilangan Cikini. Saya angkat atau tidak, ya?***

Rabu, 21 Mei 2008

Kutu Buku


“Setiap bulan sedikitnya saya membeli 300 buku,” demikian budayawan Raufik Rahzen (45) bertutur di sebuah perhelatan kutu buku bertajuk “Temu Blogger Buku” di Kafe Matahari/Domus, Jakarta, Sabtu (17/5) pekan lalu. “Kadang-kadang bisa juga sampai 600 buku,” tambahnya lagi seolah belum puas mengejutkan para hadirin yang berjumlah seratusan orang itu dengan angka 300-nya, termasuk saya yang kebetulan bertindak sebagai moderator.

Hah? Enam ratus sebulan? Oh..oh…tetamu di ruangan bernuansa remang-remang siang itu yang berani-beraninya mengaku kutu buku, kudu menjura seratus kali kepada pria berkaca mata itu, lagi-lagi, termasuk saya yang telah dengan sombongnya gembar-gembor ihwal penyakit belanja buku; padahal cuma mampu beli buku lima biji sebulan. Buat saya, dan mungkin mayoritas rakyat Indonesia, buku masih menjadi barang mewah yang mahal.

Namun, masih menurut Ketua Yayasan Blora ini, rendahnya minat baca masyarakat kita tidak terkait dengan harga buku yang mahal. Sebab, jika orang sudah suka membaca, ia akan mencari berbagai upaya untuk mendapatkan buku-buku yang ingin dibacanya. Pengagum berat Pramoedya Ananta Toer ini mencontohkan pengalamannya sewaktu masih di kampungnya di Sumbawa dahulu. Ia rela berjalan kaki menempuh jarak sepanjang 35 km demi bisa membaca buku. Sekali lagi, kami dibuat melongo dan akhirnya mesti ikhlas mengakui, bahwa beliau memang pecandu buku sejati.

Buku, semua kita tahu, lewat huruf-huruf di pagina-paginanya telah membukakan jendela bagi mereka yang mengakrabinya. Dan sejarah negeri ini telah mencatat tentang para founding fathers-nya yang kutu buku.

Tengoklah seabad lalu, ketika para pemuda pemberani di sebuah negeri jajahan bernama Hindia Belanda, ramai-ramai berkonggres, membincang nasib tanah air mereka yang merana di bawah kangkangan Belanda. Dimotori oleh seorang dokter lulusan STOVIA–Sekolah kedokteran zaman itu–Wahidin, terbentuklah organisasi pemuda pertama yang diberi nama Budi Utomo. Keanggotaan awalnya terdiri dari para mahasiswa STOVIA itu. Kemudian pada 20 Mei 1908, bertempat di Yogyakarta, Budi Utomo menggelar konggres pemuda pertama. Kelak, hari itu dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Republik ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Dua puluh tahun berikutnya, jejak mereka diikuti oleh para penerus dengan mengumandangkan ikrar kebangsaan, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, di Batavia. Tepatnya di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng (28 Oktober 1928). Tokoh-tokoh pemuda yang hadir di antaranya Muhammad Yamin dan Amir Sjarifudin. Sementara itu, lewat caranya sendiri Soekarno, Hatta, dan Sjahrir melakukan perlawanan dengan mendirikan partai politik.

Tengoklah biografi para pemuda pemberani itu: Wahidin, Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, dan kawan-kawan. Mereka semua kutu buku. Kesadaran dan pencerahan yang mereka alami di antaranya mereka peroleh lewat bacaan-bacaan : literatur, koran, dan majalah. Mereka para pembaca yang rakus, melahap buku apa saja seperti makhluk dari golongan omnivora. Buku-buku telah membangkitan keberanian mereka untuk berontak, melawani kezaliman pemerintah Belanda. Buku-buku pula yang telah mengobar-ngobarkan semangat mereka untuk merdeka, bebas dari belenggu penjajahan.

Yang lebih membanggakan lagi, mereka tak hanya berhenti pada membaca. Mereka juga menulis; melakukan perlawanan lewat tulisan-tulisan di media massa yang terbit kala itu dan membuat gerah para meneer penguasa. Satu per satu anak-anak “nakal” itu pun ditertibkan dengan jalan dibui atau diasingkan ke sebuah nusa yang jauh dari ibu kota.

Namun, ternyata penjara dan pengasingan tak lantas menyurutkan semangat perlawanan anak-anak muda ini. Dari tempat pembuangan itu, dengan ditemani buku-buku, mereka terus menulis dan menyebarluaskan gagasan kemerdekaan ke dunia luar. Sebab, mereka pasti sepakat, bahwa menulis adalah juga sebuah tindakan revolusioner.

Jika tak segan menoleh lebih ke belakang lagi, kita akan bertemu Kartini, seorang raden ayu berpendidikan sekolah rendah Belanda yang telah mencengangkan dunia lewat surat-suratnya. Surat-surat itu tak semata berisi curahan hati si gadis Jawa, tetapi juga memuat pikiran-pikiran dan keprihatinan Kartini kepada rakyat kecil yang menderita di bawah tindasan para penguasa (Belanda dan priyayi Jawa). Dari mana gadis lugu yang sejak umur 12 tahun dipingit itu memiliki kesadaran sedemikian rupa? Dari mana lagi kalau bukan dari buku-buku yang diperolehnya melalui sahabat-sahabat korespondensinya.

Mendadak saya iseng membayangkan, andaikata waktu itu teknologi internet dan blog sudah ada, tentu Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, Kartini, Tan Malaka, dan gerombolan “anak nakal” lainnya, pasti akan ramai-ramai nge-blog. Dan tentu Indonesia tak perlu menunggu selama 350 tahun plus 3,5 tahun untuk merdeka.

Dan pekan lalu, agaknya Taufik Rahzen beserta segenap penyelenggara acara, ingin menyebar-nyebarkan virus dan mengajak sebanyak-banyak orang menjadi kutu buku lewat kebiasaan membaca dan menulis (blog). Mungkin apa yang dilakukan oleh Taufik Rahzen dan gerombolannya hanyalah ibarat setetes air di tengah samudera, namun semoga bisa menyegarkan.

Saya akhiri tulisan sok tahu ini dengan mengutip sajak “Di Toko Buku” milik penyair Hasan Aspahani yang juga teramat mencintai buku:

Diam-diam aku sedang mempersiapkan
Sebuah kematian yang paling sempurna:
Dikuburkan di dalam buku. Engkau tahu?
Buku akan hidup abadi. Tak mati-mati!

Barangkali saja, kelak dalam perjalananku
Dari halaman-halamanmu, duhai Bukuku,
Duhai Kuburku, duhai Kekasih Abadiku,
bisa kutemukan pertanyaan teka-tekimu,
bisa kudengar apa saja yang dikata Waktu
.***

Kamis, 15 Mei 2008

Minyak


“Tahun depan nggak ada lagi metro mini, angkot, atau bis kota di Indonesia. Semua bakal diganti dengan dokar dan andong. Hemat energi!”

Kalimat di atas bukan statement seorang menteri, pengamat politik, atau pakar transportasi, tetapi diucapkan oleh seorang sopir metro mini dengan logat bataknya yang kental dan khas. Saya yang duduk pas di belakangnya, jadi senyum-senyum sendiri mendengar celoteh sopir itu.

Ramai-ramai berita tentang rencana pemerintahan menaikkan harga BBM telah menimbulkan aneka reaksi di masyarakat. Kabar tersebut telah menyengat banyak kalangan, terutama rakyat kecil yang hidupnya sudah susah dengan harga minyak yang sekarang. Tak heran apabila sopir metro mini tadi berkomentar seperti itu. Ia bagian dari masyarakat ekonomi kelas bawah yang bakal sangat direpotkan dengan kenaikan tariff tersebut. Sebab, kenaikan tarif BBM tentu akan memicu pula kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Bahan bakar adalah kebutuhan dasar yang berkait erat dengan banyak sektor kehidupan.

Beberapa hari sebelumnya, Enok, pembantu di rumah kami, juga ikut ribut mengenai rencana pemerintah itu. Dengan peluh berleleran di keningnya, ia berkicau, bahwa betapa akan susahnya hidup bagi dia dan keluarganya jika sampai harga minyak tanah mencapai Rp 8.000,00 per liter. Sekarang saja dengan harga Rp 5.000,00 dia sudah cukup repot. Untunglah tak lama kemudian dia kebagian jatah kompor gas tabung hijau gratis dari pemerintah. “Tapi saya masih takut memakainya, Bu. Takut meledak,” ujarnya polos.

Kekhawatiran Enok barangkali karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ihwal kompor gas gratis itu termasuk penjelasan tentang maksud dan tujuan program konversi dari minyak tanah ke gas, sehingga masyarakat tidak paham. Akibatnya banyak yang kemudian malah menjual kompor dan tabung-tabung gas jatahnya dengan harga Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00 dan mereka tetap menggunakan kompor minyak tanah seperti semula.

Belum lagi adanya gangguan dari oknum-oknum tertentu yang “melenyapkan” gas dari pasar, membuat harga gas melambung ke langit. Teman saya di Bandung sampai harus mencari gas di Bogor karena di tempatnya sudah tidak ada. Tetapi dia harus kecewa karena ternyata di Bogor pun gas “menghilang”. Para pengusaha restoran dan hotel di sepanjang Cisarua sempat panic juga beberapa hari sebelum akhirnya gas-gas dalam tabung biru itu tersedia kembali.

Ah, ya, menyebut Bogor saya jadi ingat sekitar dua pekan silam saat saya menuju daerah Puncak. Waktu itu saya naik angkutan kota warna biru jurusan Bogor-Cisarua. Sampai di pasar Cisarua, seorang ibu muda naik ke angkot saya. Maksud saya, angkot yang saya tumpangi. Ia membawa banyak jinjingan di kedua belah tangannya. Mukanya yang berpupur putih itu mengilat oleh butiran peluh. Dia meletakkan barang-barang bawaannya di lantai angkot. Saya menduga, ibu ini pasti pedagang.

“Buat jualan ya, Bu?” Saya memulai percakapan setelah ia duduk manis di pojok. Kebetulan kami Cuma berdua saja di angkot itu. Bertiga dengan sopir.

“Iya,” ibu itu menyahut sambil mengelap keringat di keningnya.

“Jualan apa, Bu?”

“Buka warung. Icalan gorengan. Cau, tempe, tahu, bala-bala”. Icalan itu artinya jualan, sedangkan cau adalah bahasa Sunda untuk pisang. Kalau bala-bala sudah tahu, kan? Itu bakwan. Kalau bakwan tidak mengerti juga, ya sudah, ke laut aja.

“Di mana jualannya, Bu?” Saya bertanya lagi yang dijawabnya dengan menyebut nama sebuah tempat wisata di kawasan Puncak.

Salah satu bawaan ibu itu adalah jeriken minyak yang terisi penuh. Saya tidak tahu itu minyak goreng atau minyak tanah.

“Ini minyak tanah, Bu?” Saya menunjuk jeriken warna putih bekas kemasan minyak goreng isi 5 kilogram.

Muhun,” jawab ibu itu, lagi-lagi dalam bahasa Sunda yang artinya iya.

“Berapa seliter?”

Tilu rebu” Tiga ribu. Heran, dia kok masih terus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan bahasa Sunda. Untung saya mengerti walau hanya sedikit. Gini-gini saya orang Sunda juga. Bapak saya kelahiran Majalengka dan ibu saya orang Bekasi.

“Masih murah ya, Bu. Di Jakarta sudah enam ribu, loh,” kata saya teringat Enok, pembantu kami yang lugu itu.

“Sebetulnya di koperasi lebih murah lagi. Cuman dua rebu setengah. Tapi tos dua dinten persediaanana teu aya”. Harga di koperasi lebih murah lagi, cuma dua ribu lima ratus rupiah, tetapi sudah dua hari tidak ada persediaan. “Tapi minyak ini cuma saya pakai buat jualan saja. Buat masak di rumah saya pakai kayu bakar”, ia menambahkan.

Hah? Kayu bakar? Hari gini masih ada yang memasak dengan kayu bakar dan itu di Bogor, berjarak hanya dua jam saja dari Jakarta? Apa saya tidak salah dengar?

“Kayu bakar, Bu?” Saya menegaskan, takut salah dengar.

“Iya, Neng, kayu bakar. Habis minyak mahal sih.”

“Lalu, Ibu dapat kayunya dari mana?” Saya sungguh penasaran, sebab ibu itu tinggal di daerah wisata yang penuh bertaburan hotel dan vila-vila mewah tapi kok masih memasak dengan cara primitif.

“Saya cari di hutan,” sahutnya, “kadang-kadang juga di kebon enteh.” Maksudnya, kebun teh.

“Yang ibu pakai itu ranting-rantingnya yang jatuh atau dari menebang?” Kejar saya sembari berharap semoga dia pilih jawaban yang pertama.

“Dulu sih cuma mungutin ranting-rantingnya yang kering. Tapi sekarang karena semakin banyak yang masak pakai kayu, jadi terpaksa menebang pohon juga.”

Oh..akhirnya saya harus mendengar jawaban yang saya takutkan itu. Menebang pohon untuk kayu bakar! Berapa banyak dan sampai kapan?

Mendadak melintas dalam bayangan saya hutan-hutan (lindung) di Puncak yang botak ditebangi. Sekarang saja sebagian lahan yang seharusnya untuk daerah resapan air sudah dipenuhi bangunan-bangunan mewah milik orang-orang kaya Jakarta. Tanah di kawasan jelita tersebut sudah ramai-ramai dikapling para miliuner ibu kota. Dengan atau tanpa IMB. Sempat juga diributkan soal IMB ini ketika terjadi banjir besar di Betawi tiga tahun lalu (2005). Namun, tentu saja heboh itu hanya sekadar sandiwara belaka, agar kelihatan pemerintah serius menangani soal bencana bah yang menenggelamkan ibu kota negara itu. Setelah reda dan orang bosan membincangnya, berhenti pula “sinetron” itu.

“Katanya banjir di Jakarta itu karena pohon-pohon di Puncak ditebangi, ya?” Sekonyong-konyong ibu pedagang itu bicara lagi. Saya tersenyum saja, tidak berkata apa-apa. “Ya, biar tahu rasa deh orang-orang Jakarta. Habis minyak mahal jadi terpaksa masak pakai kayu”. Kali ini si ibu tersenyum malu-malu. Mungkin sebenarnya ia pun merasa bersalah juga atas tindakannya turut mencukur hutan-hutan di wilayahnya seperti para orang kaya Jakarta itu. Hanya bedanya, kalau orang Jakarta menggunduli hutan demi kesenangan, sedangkan ibu itu untuk menyambung hidupnya.

Tak lama kemudian “nara sumber” saya itu pun turun, meninggalkan saya sendiri di dalam angkot. Sayup-sayup dari kabin sopir, terdengar alunan vokal Iwan Fals menyanyikan lagu lawasnya yang bertitel Galang Rambu Anarki:

BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi….

Sementara itu di luar jendela menyajikan tamasya indah deretan bukit hijau gelap merimbun menggerumbul. Mendekati kilometer 90, di kanan kiri pemandangan bertambah cantik oleh hamparan “karpet” hijau perkebunan teh Gunung Mas yang sudah ada sejak zaman kolonial dahulu. Akan berapa lama lagikah keelokan itu sanggup bertahan? Saya cepat-cepat mengeluarkan kamera saku dan memotretnya, memerangkap, mengabadikan keindahan itu. Siapa tahu, sepuluh tahun lagi semuanya sudah tiada.***ENDAH SUKLWESI

Kamis, 08 Mei 2008

GURU


Seharusnya saya jadi guru kalau mau setia pada latar belakang studi saya yang jurusan Pendidikan Geografi IKIP Jakarta (sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta-UNJ). Atau jika hendak bersetia pada “profesi turunan” di keluarga besar saya. Kakek saya guru. Dua orang paman saya juga guru. Beberapa sepupu saya pun ikut-ikutan melanjutkan pekerjaan mengajar dan mendidik itu. Ya, mungkin ini berkait erat dengan persoalan darah.

Namun, ternyata saya memilih “berkhianat” dengan bekerja di bidang lain yang sama sekali jauh dari predikat pengajar. Apalagi pendidik sejati seperti kedua orang paman saya di Cirebon dan Majalengka.

Adik lelaki ayah saya yang di Cirebon, saya memanggilnya Mang Mamat, adalah pensiunan guru. Jabatan tertinggi yang dipegangnya sebelum pensiun adalah kepala sekolah SD Inpres di Cirebon. Sosoknya yang kurus ringkih benar-benar sesuai dengan sosok guru desa zaman dulu. Tubuhnya yang ceking kering itu setiap hari, enam hari dalam seminggu, dibalut seragam cokelat dekil plus sabuk kulit kusam melilit pinggangnya yang ramping. Di kepalanya yang krisis rambut nangkring sepucuk kopiah hitam kecokelatan yang bulu-bulu beludrunya sudah rontok, pertanda seharusnya sudah diganti. Dengan sepeda ontel tuanya, paman saya pergi mengajar. Tas hitam kulit (buaya) imitasi diikat erat di boncengan. Persis Umar Bakri, sosok guru rekaan Iwan Fals.

Sekali waktu saya pernah bermalam di rumah petak beliau, di belakang bangunan anggun keraton Kasepuhan Cirebon yang tembok pagarnya sudah mulai doyong. Pada saya paman bercerita, bahwa sebagian anak didiknya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, sehingga kerap menunggak bayaran sekolah sampai berbulan-bulan. Atau mereka membayarnya dengan hasil ternak dan hasil bumi, seperti: ayam, telur ayam, dan pisang. Serasa kembali ke zaman perundagian.

Jangan lagi bicara soal gaji dan tunjangan. Paman saya sering harus merogoh saku untuk pangadaan kapur tulis di sekolahnya. Zaman itu tentu belum ada dana BOS (biaya operasional sekolah) seperti sekarang yang oleh beberapa sekolah justru diselewengkan untuk kepentingan lain (misalnya satu sekolah di kawasan Jakarta Timur ada yang memakai dana BOS untuk memasang AC di ruang kepala sekolahnya). Paman saya tidak pernah sampai hati mengusir murid yang telat bayar SPP walaupun untuk itu ia akhirnya terpaksa harus “main akrobat”, memutar anggaran yang teramat minim dari pemerintah. Kini, ia tengah menikmati masa pensiunnya bersama anak, istri, serta dua orang cucu.

Hanya sepelemparan batu dari Cirebon, ada lagi seorang paman saya yang jadi guru. Tepatnya di Kabupaten Majalengka. Tak jauh berbeda dengan saudaranya yang di Cirebon, paman saya di Majalengka ini juga sering menerima bayaran SPP berbentuk non-duit. Malah lebih parah lagi, ada yang membayarnya dengan daun pisang dan kayu bakar. Karena di rumah paman saya menggunakan kompor minyak, maka kayu-kayu bakar tersebut dibiarkan saja menumpuk di halamannya.

Memang cerita tadi terjadi dalam rentang waktu 10 tahun lalu. Cerita duka dari masa “pra sejarah”. Tapi entah, apakah kisah serupa masih terjadi di masa kini, barangkali di belahan lain bumi pertiwi yang masih belum terjangkau teknologi? Agaknya demikian. Belum lama ini saya masih menyaksikan tayangan feature di sebuah stasiun tv swasta nasional ihwal anak-anak bangsa yang harus berjalan jauh menempuh jarak berkilo-kilo meter, menyeberang sungai, melintas desa untuk bisa sampai ke sebuah bangunan reyot bernama sekolah. Anak-anak lugu berkulit kelam dekil bersisik itu dengan riang menebas jarak dengan ceker ayam menuju sebuah tempat di mana cita-cita tentang masa depan lebih cerah digantungkan. Mereka dekat saja. Hanya beberapa jam dari ibu kota negara: Tasikmalaya.

Sungguh amat kontras dengan Jakarta. Setiap pagi saya menyaksikan gerombolan pelajar dari SD hingga SMA yang riuh rendah bergurau dan cekikikan di bus kota. Rata-rata mereka memiliki telepon seluler dengan model paling baru. Seragam mereka kinclong. Dari tubuh-tubuh sehat itu menguar wewangian aneka cologne beraroma sari buah dan bunga. Canda tawa mereka begitu segar dan ceria, seakan-akan tak ada yang mereka cemaskan, bahkan UAN yang penuh intrik itu pun rasanya tak mampu merampas kegembiraan mereka.

Omong-omong soal UAN (ujian akhir nasional) ternyata banyak menyimpan cerita “misteri” di baliknya. Seorang teman di Tangerang bertutur berbagi gosip ihwal pelaksanaan UAN di sekolah anaknya. Ia bilang, sembari berbisik-bisik sebab kami bergunjing di kafe yang lumayan penuh, bahwa di sekolah anaknya ada tim sukses UAN yang terdiri dari para guru dan diketahui serta direstui oleh kepala sekolah.

Tim sukses? Apa pula itu? Ternyata itu adalah sebuah tim yang sengaja dan dengan sadar dibentuk oleh sekolah yang bersangkutan demi meluluskan anak-anak didik mereka. Jadi setelah kertas ujian dikumpulkan, akan dikerjakan lagi oleh tim sukses tersebut, dibetulkan jawaban-jawaban yang salah. Tujuannya agar nilai ujian anak-anak itu terkatrol dan jika prosentase yang lulus tinggi, maka sekolah mereka akan naik peringkat.

Oh, saya benar-benar terhenyak. Apakah sudah sedemikian parahnya yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita? Siapa yang salah kalau sudah begini? Pemerintah? Para guru? Sistem?

Saya jadi ingin bernostalgia ke masa sekolah dulu. Pada zaman saya, ujian akhir kelulusan ini disebut Ebtanas (Evaluasi belajar tahap akhir nasional) dan wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas terakhir di SD, SMP, dan SMA. Hasilnya nanti berupa NEM (nilai ebtanas murni) yang sama sekali tidak menentukan kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh nilai yang tertera di ijasah yang merupakan hasil testing seluruh mata pelajaran. Nantinya, NEM hanya berpengaruh bagi penerimaan di sekolah selanjutnya. Semakin baik peringkat sekolah, biasanya semakin tinggi persyaratan minimal NEM yang dipatok.

Tetapi kini rupanya zaman telah berganti. Sistem NEM tak dipakai lagi. Mulai tiga tahun lalu UAN-lah yang resmi digunakan sebagai metode pengujian siswa. Saya tak tahu persis binatangnya seperti apa, namun yang saya baca, dengar, dan saksikan, selama pelaksanaan UAS ini banyak pihak yang stres. Mulai dari siswa, guru-guru, para penguji, hingga orang tua murid. Semua berkeringat dingin, cemas menghadapi UAN. Gosip tak sedap pun meruak tentang soal-soal ujian yang bocor, tentang jual beli kertas ujian, dan tentang tim sukses tadi. Ironisnya, hal ini terjadi pada hari Pendidikan Nasional. Lebih memelaskan lagi, konon, semua itu justru dilakukan oleh oknum-oknum pendidikan yang seharusnya menjadi teladan para murid. Ah..semoga saja itu cuma sekadar gosip murahan yang tidak terbukti kebenarannya. Tapi bagaimana kalau ternyata benar?

Lalu, seandainya saya tidak “berkhianat” dan memilih menjadi guru, apakah saya akan mampu menghadapi kondisi seperti ini? Masihkah saya sanggup bersetia kepada idealisme?***

Selasa, 29 April 2008

Jodoh


Siapa yang bisa mengetahui dengan pasti tibanya jodoh? Konon, ia datang seperti ajal, bisa melalui proses yang panjang–lewat sakit, luka, dan jatuh bangun–atau secara tiba-tiba dan tak terduga. Hari ini berkenalan dan jatuh cinta, seminggu kemudian menikah. Atau berabad-abad menjalin kasih, ternyata tidak jadi menikah.

Beberapa waktu lalu datang seorang teman adik saya, perempuan muda berusia 32 tahun. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan adikku, tetapi petang itu adikku telat pulang sehingga aku yang menemaninya mengobrol. Mari kita namai ia Bunga.

Pada saya Bunga berbagi semacam kesedihan. Ayah ibunya hendak menangguhkan pernikahannya karena kakak perempuan Bunga belum menikah. Menurut adat dan kepercayaan yang diyakini keluarganya, Bunga tidak boleh melangkahi kakaknya itu. Pamali, kata ibunya, kasihan kakakmu nanti jadi susah jodohnya.

“Memang kakakmu umur berapa?” tanya saya mulai iseng.
“Tiga puluh lima,” sahut Bunga.
“Apakah ia memang berencana menikah?” lanjut saya.
“Nah itu dia, Mbak, kakakku masih jomblo.

Hm, saya jadi ingat tiga tahun silam. Sepupu saya, perempuan, juga mengalami kasus yang hampir serupa. Bedanya, ia yang dilangkah adik perempuannya. Seminggu menjelang hari perkawinan adiknya itu, ia minggat dari rumah. Menghilang. Membuat panik seluruh keluarga. Di kantor, ia pamit cuti selama satu pekan. Semua temannya tak ada yang bisa memberikan informasi ihwal keberadaannya.

Namun, untunglah. Sebelum jadi menyewa jasa detektif swasta untuk melacak jejaknya, pada hari ketiga kepergiannya, ia menelepon saya. Dia baik-baik saja dan selama ini tinggal nyaman di sebuah kamar hotel.

“Mengapa kabur?” tanya saya.
“Tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa takut sekali menghadapi hari itu,” jawabnya dengan suara sedih.
“Apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah merestui adikmu menikah?”
“Ya, aku tidak keberatan dia menikah duluan. Tetapi aku tidak sanggup membayangkan pada hari pernikahan nanti semua hadirin akan menatapku dengan pandangan iba karena aku dilangkah.”

Oh, sampai sebegitunya ternyata yang dirasakan sepupu saya yang waktu itu berusia 37 tahun. Sama seperti kakaknya Bunga, sepupu saya ini juga belum punya kekasih. Entah apa alasan sebenarnya, tetapi yang kelihatan oleh saya ia begitu sibuk mengurusi keluarganya. Sejak ayah mereka meninggal, sebagai sulung dialah yang mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Semua biaya kuliah adiknya yang 3 orang menjadi tanggungannya. Mungkin itulah sebabnya hingga kini ia masih melajang.

“Jangan pikirkan orang lain deh,” kata saya berusaha menenangkannya, “Pikirkan saja adik dan ibumu. Mereka sedih banget tuh kamu kabur.”
“Ya nanti kalau sudah tenang aku pasti pulang,” jawabnya, “Justru aku juga sedih memikirkan ibu nanti yang malu punya anak perawan tua kayak aku.”

Ucapannya itu membuat saya terdiam karena jadi teringat diri saya sendiri. Tiga kali saya dilangkah. Saya tidak pernah merasa keberatan dengan pernikahan adik-adik saya. Tidak ada hak saya melarang atau meminta mereka menunda pernikahan. Apa lagi saya memang sudah berniat being jomblo forever. Jika pun tidak, bagi saya hal tersebut tidak jadi masalah. Yang lahir duluan tidak mesti menikah duluan. Sungguh akan sangat tidak adil bagi adik-adik saya jika saya sampai menghambat rencana mulia mereka demi alasan yang sama sekali tidak rasional.

“Aku juga tidak mau ada acara langkahan,” sepupu saya melanjutkan teleponnya.
Ritual langkahan ini biasanya berlangsung menjelang akad nikah. Sang adik yang jadi pengantin hari itu mesti memohon restu kepada kakaknya dengan menyerahkan sejumlah “upeti”. Lazimnya berupa seperangkat perhiasan (kalung, gelang, cincin, anting-anting, dll).

Saya pernah sangat “menderita” ihwal pelangkah ini. Waktu itu adik lelaki saya yang akan menikah. Sejak jauh-jauh bulan dia sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, seperti gedung, katering, perias pengantin, dan termasuk pelangkah untuk saya. Setiap ada kesempatan dia selalu bertanya pelangkah apa yang saya inginkan. Siang malam saya dikejar-kejar terus. Tadinya saya tak mau ambil pusing dengan segala tetek bengek itu. Tidak penting. Lagian, dari pada untuk beli pelangkah demi pamali itu, mendingan uangnya untuk hal lain yang lebih berguna.

Karena setiap hari terus diuber-uber, akhirnya saya mengalah. Baiklah, kata saya, tetapi saya tidak mau segala rupa perhiasan itu. Saya ingin satu set ensiklopedi Islam. Biar tahu rasa anak itu, batin saya sambil nyengir jahil. Saya pikir dengan minta pelangkah seharga 2,5 juta itu, adik saya akan menyerah dan berhenti memburu-buru saya. Ini sih sekadar akal-akalan saya saja.

Namun, keesokan paginya saya terkejut. Di atas meja tamu tergeletak beberapa lembar brosur ensiklopedi Islam yang saya inginkan itu. Saya jadi tersentuh. Tiba-tiba saya merasa telah berlaku kejam terhadap adik saya. Mendadak saya ingin menangis. Ternyata adik saya menanggapi serius gurauan itu. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh meskipun saya sangat ingin memiliki ensiklopedi tersebut.

Maka, siang harinya saya sms adik saya. Saya katakan, bahwa dia tak perlu membelikan ensiklopedi mahal itu. Kalau memang tetap harus ada pelangkah sebagai syarat yang diwajibkan adat, dia boleh membelikan saya apa saja. Saya akan menerimanya. Dan seminggu menjelang pernikahannya, saya mendapatkan pelangkah keramat itu : Novel Senopati Pamungkas jilid 1 dan 2 yang segede-gede bantal. Wah, kalau ini sih saya tak sanggup menolaknya. Sekarang, adik saya anaknya sudah hampir dua.

Kembali ke sepupu saya. Akhirnya setelah berhasil meyakinkan dia bahwa tidak akan ada acara langkah melangkah pada hari pernikahan adiknya kelak, telepon pun ditutup dengan janji ia akan segera pulang. Dan ia menepati janjinya. Sehari sebelum hari “H”, dia muncul, membuat semua orang menangis lega dan terharu.

“Aku iri sama Dian, “ tiba-tiba Bunga berkata memecah lamunan saya. Dian itu adik saya.
“Iri kenapa?” Saya bertanya.
“Ya, waktu Dian minta izin menikah Mbak dan keluarga tidak ada yang keberatan.”
“Apakah kakakmu keberatan?” Saya penasaran.
“Kakakku sebenarnya tidak apa-apa, tapi ayah ibu kami yang tidak merestui. Pamali, kata mereka.”

Nah itu dia! Akar persoalannya lagi-lagi soal kultur. Orang tua Bunga masih sangat meyakini kebenaran pamali dan mitos yang bersumber dari budaya tradisional. Pamali dan mitos-mitos itu seolah-olah sengaja diciptakan hanya bagi perempuan. Pamali ini itu tidak berlaku bagi golongan pria. Coba lihat saja, selalu hanya anak gadis yang serba diatur. Tidak boleh bersuara selagi makan, tidak pantas tertawa terbahak-bahak, tidak elok berdiri di depan pintu, tidak boleh makan pisang ambon, nanas, tunggir ayam, dan lain-lain.

Tak pernah ada pamali buat lelaki. Lelaki boleh menikah kapanpun dia siap dan sah-sah saja dilangkahi adik-adiknya. Tak ada pantangan buat lelaki dalam hal makan atau bersikap. Lelaki boleh melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dunia merestuinya.

Lalu bagaimana dengan Bunga? Entahlah, sampai hari ini saya tidak mendengar kabarnya lagi, tetapi yang jelas kelak bila saya punya anak saya akan bersikap adil pada anak-anak saya. Eh, tapi saya kan tidak mau menikah, ya? ***

Rabu, 23 April 2008

Kondom

Kira-kira sebulan silam saya mendapat sebuah sms dari seorang teman lama. Bunyinya begini: “Alhamdulillah, telah lahir dengan selamat putri kelima kami, Siti Zahra Saskia, pada tgl. 9 Maret 2008 jam 08.25 di rumah sakit Hermina Bekasi. Berat 2,8 kg, panjang 47 cm”. Reaksi pertama saya adalah terkejut. Bukan apa-apa, tetapi hari gini masih ada yang punya anak sampai 5? Oh…

Seminggu berikutnya saya sempatkan menengok mereka sekeluarga. Rumah mereka kebetulan tidak jauh dari rumah saya. Suami istri ini adalah teman-teman saya semasa di bangku SMP. Mereka sudah pacaran sejak di SMP dan menikah tak lama setelah tamat kuliah. Saya hadir di pernikahan mereka. Teman saya yang perempuan sebelum menikah sempat bekerja sebagai tenaga konsultan di sebuah sekolah Islam terpadu. Tetapi tak lama kemudian berhenti karena hamil. Dan sampai sekarang tidak pernah bekerja kembali.

“Repot, Ndah. Nggak sempat kerja deh. Ngurus suami dan anak-anak aja sudah cape,” katanya pada sebuah kesempatan saya bertandang ke rumahnya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu anaknya baru tiga orang. Perempuan semua. Cantik-cantik seperti ibu dan ayahnya.

Sekarang anaknya lima orang. Yang sulung berumur 12 tahun. Saat bertemu itu, teman saya kelihatan lemah sekali. Tidak seperti lazimnya perempuan yang habis melahirkan, ia tampak kurus dan pucat. Rumahnya berantakan. Mainan anak-anak berserakan di setiap penjuru rumah. Bau pesing ompol dan susu memenuhi udara di kamar tidur dan ruang tengah. Di ruang tengah itu terhampar selembar kasur di depan sebuah pesawat televisi 21 inci. Pakaian kotor menggunung di salah satu pojoknya. Jemuran pakaian bayi dan handuk-handuk bergelantungan di kamar belakang yang bersatu dengan dapur.

Dapurnya tak kalah berantakan. Piring dan gelas kotor menumpuk di bak cuci piring, meruapkan aroma makanan basi. Lantai dapurnya terasa lengket di kaki saya. Barangkali sudah berhari-hari tidak tersentuh kain pel. Singkatnya, rumah itu kacau-balau seperti kapal pecah.

“Sorry berantakan, Ndah. Pembantuku lagi pulang kampung, ibunya sakit,” kata teman saya, kita sebut saja namanya Sari, meminta maaf atas ketidaknyamanan rumahnya. Saya cuma tersenyum maklum. Ya, pasti repot sekali mengurus rumah tangga dengan lima orang anak kecil.

“Sari, memang kamu tidak KB, ya?” akhirnya tercetus juga pertanyaan yang memang sudah saya siapkan dari rumah. Kami mengobrol di ruang tengah sambil Sari menyusui bayinya.

“Nggak. Nggak boleh sama suamiku,” sahutnya pelan.

“Atau suamimu yang pakai ..hm…kondom mungkin?” tanya saya lagi penasaran.

“Nggak juga. Mana mau dia pakai kondom,” jawab Sari dengan wajah sedikit memerah.

“Lah, berarti kamu masih mungkin melahirkan lagi dong,” kata saya. Tanpa sadar nadanya meninggi.

Sari cuma bisa nyengir kuda. “Ya gimana lagi? Aku kan mesti nurut suami”.

Saya hanya bisa garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Saya kasihan melihat kondisi Sari yang tampak kuyu dan jauh lebih tua dari usianya. Tak ada lagi Sari yang lincah dan suka tertawa terbahak-bahak. Sari yang ada di hadapan saya adalah seorang perempuan kurus, layu, dan acak-acakan dengan daster batik kusam. Sari seperti telah lupa caranya berdandan.

“Sebaiknya setelah ini kamu tidak melahirkan lagi, Sar,” saya mulai usil menggurui. Tahu apa saya soal anak dan melahirkan? Keusilan saya semata-mata didorong oleh keprihatinan menyaksikan kondisi Sari.

“Suamiku sih janji, kalau sudah dapat anak lelaki baru berhenti,” kata Sari sambil menepuk-nepuk bayinya.

“Laki perempuan kan sama saja, Sar,” lagi-lagi saya kembali sok tahu.
“Kamu kan tahu gimana orang Batak terhadap anak lelaki,” sahut Sari.

Mendengar jawaban Sari saya jadi merenung. Apakah Sari benar-benar tak kuasa menolak keinginan suaminya untuk terus melahirkan dan baru berhenti jika sudah dapat anak lelaki? Aku tidak tahu apakah Sari terpaksa atau tidak menuruti semua kehendak suaminya itu. Padahal sebagai pemilik rahim, Sari sangat berhak untuk menentukan kehamilannya terutama demi pertimbangan kesehatannya (hak reproduksi).

Dalam hal kesehatan reproduksi, yakni suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi (definisi ini diluncurkan pertama kali 1994 pada konferensi internasional yang membahas populasi penduduk dunia dan pembangunan di Kairo, Mesir),perempuan diakui memiliki 4 macam hak dasar, yaitu:
Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual.
Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan;
Hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya;
Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.

Keempat hak dasar reproduksi tersebut disepakati dan dicetuskan di Beijing tahun 1995 pada Konferensi Dunia tentang Perempuan IV.

Dari keempat hak-hak itu termasuk di dalamnya hak untuk memilih alat kontrasepsi. Sayangnya, alat kontrasepsi yang tersedia sekarang lebih banyak ditujukan untuk perempuan. Padahal sudah cukup banyak “tugas” perempuan dalam urusan reproduksi: hamil, melahirkan, menyusui. Masa sih untuk soal kontrasepsi masih juga harus perempuan yang menjalani? Mestinya bagian ini menjadi porsi suami (lelaki).

Tentu saya belum pernah mengalami sendiri menggunakan alat kontrasepsi, namun dari pengalaman beberapa teman wanita saya mendapatkan cerita yang kurang sedap. Alat-alat pengatur kehamilan itu beberapa banyak yang berefek samping tidak menyenangkan, seperti kegemukan, flek-flek di wajah, nyeri saat berhubungan seks, sakit dan tidak lancer ketika menstruasi, pusing-pusing, hingga perdarahan.

Bukan bermaksud mendukung Julia Perez yang menghadiahkan kondom bagi setiap pembelian CD album lagu-lagu dangdutnya–walaupun saya setuju dengan niatnya mengampanyekan kondom sebagai pencegah bahaya HIV/AiDs–agaknya kondom bisa jadi alternatif cara ber-KB yang aman dan tanpa efek samping. Kondom relatif aman sebab benda tersebut digunakan di luar, tidak mesti diselundupkan ke dalam tubuh seperti halnya alat-alat kontrasepsi untuk perempuan (spiral, pil, suntik, dll).

Saat saya pamitan pulang, saya peluk Sari tanpa kata-kata. Saya cium kedua belah pipinya yang layu sambil dalam hati berdoa agar sahabat saya ini selalu dikaruniai kesehatan (dan semoga suaminya mau pakai kondom).***

Rabu, 16 April 2008

ROBOHNYA SURAU KAMI


Jam lima sore di Ciawi. Di dalam bus patas AC Maya Raya jurusan Cianjur-Bekasi, saya tak kuasa menahan kantuk. Duduk di bawah embusan hawa sejuk dari pendingin ruangan di tengah udara petang yang gerah, tak terasa mata saya memejam. Perjalanan Ciawi-Uki sering saya gunakan sebagai waktu istirahat saya. Istirahat colongan. Lumayan. Selama 40 menit, kalau beruntung saya bisa tidur.

Beruntung artinya tidak ada gangguan. Gangguan itu bisa berupa pesawat tv dengan volume yang dikeraskan atau yang paling sering adalah pengamen. Saya tidak pernah bisa menyukai pengamen. Maaf, mungkin pernyataan saya ini terdengar sok ya. Namun, apa boleh buat karena demikianlah apa adanya yang saya rasakan. Kehadiran para pengamen itu selalu terasa mengganggu. Apalagi jika ngamennya keroyokan. Fiuhh….serasa dirampok kemerdekaan saya memperoleh kenyamanan dalam transportasi umum.

Untunglah, sepertinya sore itu tak ada pengamen. Tidur saya bakal pulas sampai terbangun nanti di halte UKI, Jakarta. Akan tetapi itu tidak lama. Tiba-tiba menggelegarlah sebuah suara bariton; memasuki gendang telinga saya.

“Selamat sore bapak ibu penumpang sekalian,” kata suara itu. Huh…gangguan deh, saya menggerutu dalam hati tanpa membuka mata. Paling-paling mau baca puisi. Mending kalau puisinya bagus. Biasanya sih puisi ciptaan sendiri yang tidak jelas apa maunya. Sudah sering saya menjumpai para pengamen puisi ini. Dulu pernah sekali saya bertemu pengamen puisi yang lumayan bagus. Puisinya maksud saya, bukan membacanya. Puisi yang dideklamasikannya adalah “Derai-derai Cemara.” karya Chairil Anwar. Lumayan, kan, untuk seorang pengamen jalanan?

“Sebentar lagi saya akan membacakan untuk Anda sekalian sebuah karya sastra yang cukup fenomenal,” si pengamen melanjutkan, “Bapak Ibu tahu, sastra adalah juga sebuah karya seni. Melalui karya-karya sastra kita bisa mengetahui banyak hal..”

Wah, apa ini? Secepat kilat mata saya terbuka; terjaga sepenuhnya. Siapa ini yang sok-sokan ceramah tentang sastra? Mata saya segera bertemu dengan asal suara. Pemiliknya tentu pengamen tadi. Dia ada di tengah-tengah bus, di gang antara kursi-kursi. Sosoknya menjulang tinggi. Barangkali di atas 170. Di kepalanya ada kupluk, topi rajutan dari benang wol, berwarna coklat tanah. Tubuhnya yang ramping dibungkus jaket parasut warna hijau tentara. Di dalamnya ia mengenakan kaus biru gelap. Celananya jins biru. Saya tak bisa melihat sepatunya karena sayu duduk di kursi deret kedua dari belaka. Ia tampak cerdas dengan kacamata John Lennon-nya. Duhai, saya jadi penasaran. Siapakah pengamen ini?

“Lewat karya sastra kita juga bisa menyampaikan kritik dan protes. Karya sastra juga menjadi semacam catatan sejarah, mewakili zamannya,” pengamen itu meneruskan pidato kesusatraannya. Kini saya terjaga sepenuhnya. Kantuk yang tadi menggelayuti mata, kabur entah ke mana. Sementara ia berkhotbah, saya sibuk menebak-nebak siapa gerangan pengamen sastra ini? Bisa jadi ia seorang mahasiswa sastra yang belum memperoleh pekerjaan dan untuk mengisi waktu ia mengamen. Atau bisa juga ia memang seorang “sastrawan”. Maksud saya, seorang yang menggemari sastra dan mengamen hanya untuk iseng-iseng saja, menyalurkan hobinya. Kemungkinan berikutnya, ia seorang seniman miskin yang tidak terkenal dan sedang tidak punya job. Untuk sementara ia mengamen demi menyambung hidupnya. Tapi kira-kira apa yang akan ditampilkannya? Tepatnya, puisi apa yang akan dibacakannya.

“Nah, para penumpang yang terhormat, kali ini saya akan membacakan sebuah cerpen. Cerpen yang sangat terkenal. Cerpen yang meski ditulis berpuluh tahun lalu, tepatnya 1955, tetapi temanya masih tetap relevan dengan keadaan zaman sekarang”. Oh…dia hendak membaca cerpen. Wah, ini sesuatu yang baru, saya membatin. Cerpen apa ya?

“Cerpen yang akan saya bacakan adalah karya fenomenal Ali Akbar Navis, Robohnya Surau Kami”. Saya tertegun. Dia bahkan menyebut dengan tepat nama lengkap sastrawan Minang itu. A.A. Navis. Ya, dia membaca karya terbaik A.A. Navis itu.

Maka tampillah ia layaknya seorang pembaca cerpen profesional, lengkap dengan gerak tubuh teaterikal, vokal yang diubah-ubah sesuai karakter cerita, intonasi yang baik, serta permainan mimik wajah. Alhasil, kisah Haji Saleh yang taat beribadah tetapi malah masuk neraka itu lumayan menarik dibawakannya.

Cerpennya sendiri memang sudah bagus. Cerita yang ditulis sastrawan kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 ini sangat kental warna lokal Minang dan nuansa keislamannya; menjungkirbalikkan logika umum keislaman tentang seorang haji penjaga langgar yang taat beribadah selama hidupnya justru dijebloskan ke neraka begitu ia meninggal. Ganjaran tersebut akibat ia melalaikan kewajiban duniawinya sebagai manusia; menelantarkan keluarganya untuk asyik masyuk bercinta dengan Tuhan di surau yang dijaganya sembari diam-diam mendamba surga sebagai imbalan ketaatannya.

Melalui cerpen ini Navis menyindir dengan tajam para ulama dan ahli ibadah yang hanya sibuk mementingkan kesalehan ritual ketimbang kesalehan sosial. Padahal mestinya keduanya berjalan seiring dan seimbang. Navis ingin menyampaikan bahwa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga adalah juga ibadah.
“Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh ,tidak membanting tulang, sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal, kemudianbaru beribadat. Tetapi kau membaliknya. Seolah-olah Aku ini kau anggap sukapujian, mabuk disembah saja…. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, malaikathalaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.” Demikian salah satu dialog Tuhan dengan para ulama saleh di akhirat dalam cerpen tersebut.

Lalu bagaimana dengan pengamen kita? Sayang saya tak sempat berbincang dengannya. Setelah usai pertunjukannya, ia duduk di kursi paling belakang. Padahal saya sangat ingin mengorek keterangan darinya tentang pilihannya mengamen cerpen. Kalau saja saat itu Pak Navis masih hidup dan saya memiliki nomor HP-nya, pasti saya sudah meng-sms beliau ihwal peristiwa menarik ini. Sayangnya, sastrawan itu telah tiada. Ia wafat pada 22 Maret 2003 dalam usia 79 tahun.

Sesampainya di halte UKI saya melihat si pengamen cerpen itu ikut turun. Diam-diam saya berharap suatu hari bisa bersua kembali dengannya. Mungkin saja nanti saya bisa request “Orang-Orang Bloomington” atau “Ripin” untuk dibacakannya.***