Jumat, 14 Maret 2008

PEREMPUAN


Pekan lalu, tepatnya 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasioal; sebuah hari untuk memperingati penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah diperjuangkan oleh perempuan-perempuan di Amerika (Serikat) dan Eropa lebih seabad yang lalu. Untuk pertama kalinya, Hari Perempuan Sedunia diperingati pada 19 Maret 1911, satu tahun setelah berlangsungnya Deklarasi Kopenhagen yang antara lain menyerukan agar seluruh perempuan di dunia bersatu padu untuk memperjuangkan hak untuk bekerja, hak memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan.

Tetapi yang menjadi tonggak paling bersejarah adalah ketika terjadi aksi perempuan turun ke jalan di Rusia pada 8 Maret 1917. Aksi tersebut berujung pada turunnya Tsar dari kursi kekuasaan dan kemudian pemerintahan baru memberikan hak pilih kepada kaum perempuan (dalam hal ini, mungkin perempuan Indonesia lebih beruntung. Sejak Pemilu pertama pada 1955 perempuan telah boleh ikut memilih). Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Perempuan Sedunia.

Di Indonesia kelihatannya peringatan Hari Perempuan belum cukup populer. Gemanya baru sampai di kalangan tertentu saja (LSM, aktivis perempuan, dan kampus). Masyarakat kita tentu lebih akrab dengan Hari Kartini (21 April) dan Hari Ibu (22 Desember) sebagai peringatan “hari perempuan nasional”. Celakanya, setiap kali peringatannya hanya sibuk pada penyelenggaraan lomba ini itu yang tidak jauh-jauh dari peran domestik perempuan, seperti : lomba memasak, merias pengantin, bikin tumpeng, peragaan busana, pasang konde, paduan suara…..Dari tahun ke tahun senantiasa berulang. Itu-itu saja. Seolah-olah ingin menegaskan kembali bahwa posisi perempuan memang hanya pantas di wilayah domestik.

Bukan saya ingin mengecilkan makna peran tersebut. Oh..sudah tentu tak ada yang bisa menyangkal tentang pentingnya urusan “dalam negeri” bagi ketahanan nasional. Tetapi bahwa perempuan juga, jika diberi kesempatan, akan mampu menjalankan peran-peran lainnya di wilayah publik pun haruslah diakui. Mungkin ini isu yang sudah basi diangkat, namun pada kenyataannya masih banyak perempuan kita yang menderita di dalam rumahnya sendiri.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), begitulah istilah populernya sekarang. Pengertian istilah ini menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT adalah “perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Mengapa dalam teks di atas diutamakan perempuan? Sebab, pada umumnya mayoritas korban tindak KDRT adalah perempuan (dan anak-anak). Meski hukum dan undang-undang telah berupaya memberikan perlindungan, namun masih saja berlangsung tindak KDRT. Upaya sosialisasi dan penyadaran harus terus dilakukan agar masyarakat yang selama ini menganggap KDRT hanyalah masalah internal berani mengungkapkan kasus-kasus yang terjadi, baik yang menimpa dirinya langsung atau yang terjadi di sekitarnya.

Tidak mudah memang mengatasi masalah ini. Perlu keberanian dari korban atau saksi untuk melaporkannya kepada polisi. Budaya patriarkhi yang masih kental berlaku di masyarakat kita menjadi faktor penghambat utama. Selain itu juga karena rasa malu jika melaporkan kasusnya berarti sama saja dengan membuka aib keluarga dan khawatir pada keselamatan dirinya. Apalagi jika ditambah dengan respons polisi yang tidak sesuai harapan, menyatakan kasus tersebut sebagai masalah pribadi saja atau pelapor dipersulit dengan meminta bukti-bukti yang memang kadang sulit dihadirkan.

Kekerasan dalam rumah tangga bisa juga hadir dalam bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. Lagi-lagi budaya patriarkhi dalam masyarakat kita seringkali memperlakukan anak perempuan secara tidak adil; memposisikan anak lelaki lebih penting daripada anak perempuan. Sikap diskriminatif seperti ini tidak boleh terus berlangsung. Anak-anak lahir dengan membawa hak azasi yang sama dan setara, tanpa memandang jenis kelamin.

Dalam kasus diskriminasi di atas saya punya satu contoh. Tetangga saya, suami istri pemilik warung sate kambing di pojok jalan kampung kami, punya tiga orang anak. Satu lelaki dan dua perempuan. Putri sulung mereka, 18 tahun, sudah tidak bersekolah lagi. Dipaksa berhenti sampai SMP saja dengan alasan ekonomi. Selanjutnya, ia bekerja membantu ayah ibunya di warung sate mereka. Padahal gadis itu cukup berprestasi di sekolahnya. Ia lulus dengan nilai yang baik dan ingin sekali meneruskan sekolahnya. Tetapi orang tuanya, terutama ayahnya, memaksanya berhenti sekolah sampai di situ saja. “Anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma. Paling-paling cuma jadi ibu rumah tangga,” begitu alasan sang ayah.

Sementara, adiknya yang lelaki (16 tahun), kini duduk di kelas I sebuah SMA swasta karena nilainya tak memenuhi syarat untuk masuk di SMA Negerri. Tetapi, lagi-lagi si ayah, kali ini berusaha keras mencari cara agar anak lelakinya tetap bisa melanjutkan sekolah. Ia rela meskipun harus melego motor kesayangannya demi membiayai putranya. “Anak lelaki kudu sekolah. Kalau ngga sekolah, mau jadi apa dia?” demkian si ayah berdalih.

Begitulah sebagian realita yang masih banyak kita jumpai di masayarakat. Perempuan masih menjadi warga kelas dua yang eksistensinya tidak dianggap penting, baik di dalam rumah mau pun di wilayah sosial. Perempuan adalah korban potensial dan target empuk berbagai aksi kekerasan dan kejahatan. Dari mulai perampokan, pencopetan, pelecehan seksual di tempat kerja dan kendaraan umum, hingga upah yang jauh lebih rendah dari karyawan pria.

Bahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru kerap berubah menjadi penjara. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung, sering tiba-tiba menjelma neraka. Pemukulan, diskriminasi, pelecehan, hingga perkosaan terhadap perempuan banyak terjadi justru di dalam rumah, dilakukan oleh anggota keluarga sendiri yang semestinya melindungi. Tak ubahnya seperti pagar makan tanaman. Lebih memprihatinkan lagi manakala aturan-aturan dalam agama, tradisi, budaya, dan norma-norma masyarakat turut “mengesahkannya”.***

Tidak ada komentar: