Rabu, 21 Mei 2008

Kutu Buku


“Setiap bulan sedikitnya saya membeli 300 buku,” demikian budayawan Raufik Rahzen (45) bertutur di sebuah perhelatan kutu buku bertajuk “Temu Blogger Buku” di Kafe Matahari/Domus, Jakarta, Sabtu (17/5) pekan lalu. “Kadang-kadang bisa juga sampai 600 buku,” tambahnya lagi seolah belum puas mengejutkan para hadirin yang berjumlah seratusan orang itu dengan angka 300-nya, termasuk saya yang kebetulan bertindak sebagai moderator.

Hah? Enam ratus sebulan? Oh..oh…tetamu di ruangan bernuansa remang-remang siang itu yang berani-beraninya mengaku kutu buku, kudu menjura seratus kali kepada pria berkaca mata itu, lagi-lagi, termasuk saya yang telah dengan sombongnya gembar-gembor ihwal penyakit belanja buku; padahal cuma mampu beli buku lima biji sebulan. Buat saya, dan mungkin mayoritas rakyat Indonesia, buku masih menjadi barang mewah yang mahal.

Namun, masih menurut Ketua Yayasan Blora ini, rendahnya minat baca masyarakat kita tidak terkait dengan harga buku yang mahal. Sebab, jika orang sudah suka membaca, ia akan mencari berbagai upaya untuk mendapatkan buku-buku yang ingin dibacanya. Pengagum berat Pramoedya Ananta Toer ini mencontohkan pengalamannya sewaktu masih di kampungnya di Sumbawa dahulu. Ia rela berjalan kaki menempuh jarak sepanjang 35 km demi bisa membaca buku. Sekali lagi, kami dibuat melongo dan akhirnya mesti ikhlas mengakui, bahwa beliau memang pecandu buku sejati.

Buku, semua kita tahu, lewat huruf-huruf di pagina-paginanya telah membukakan jendela bagi mereka yang mengakrabinya. Dan sejarah negeri ini telah mencatat tentang para founding fathers-nya yang kutu buku.

Tengoklah seabad lalu, ketika para pemuda pemberani di sebuah negeri jajahan bernama Hindia Belanda, ramai-ramai berkonggres, membincang nasib tanah air mereka yang merana di bawah kangkangan Belanda. Dimotori oleh seorang dokter lulusan STOVIA–Sekolah kedokteran zaman itu–Wahidin, terbentuklah organisasi pemuda pertama yang diberi nama Budi Utomo. Keanggotaan awalnya terdiri dari para mahasiswa STOVIA itu. Kemudian pada 20 Mei 1908, bertempat di Yogyakarta, Budi Utomo menggelar konggres pemuda pertama. Kelak, hari itu dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Republik ini sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Dua puluh tahun berikutnya, jejak mereka diikuti oleh para penerus dengan mengumandangkan ikrar kebangsaan, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, di Batavia. Tepatnya di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng (28 Oktober 1928). Tokoh-tokoh pemuda yang hadir di antaranya Muhammad Yamin dan Amir Sjarifudin. Sementara itu, lewat caranya sendiri Soekarno, Hatta, dan Sjahrir melakukan perlawanan dengan mendirikan partai politik.

Tengoklah biografi para pemuda pemberani itu: Wahidin, Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, dan kawan-kawan. Mereka semua kutu buku. Kesadaran dan pencerahan yang mereka alami di antaranya mereka peroleh lewat bacaan-bacaan : literatur, koran, dan majalah. Mereka para pembaca yang rakus, melahap buku apa saja seperti makhluk dari golongan omnivora. Buku-buku telah membangkitan keberanian mereka untuk berontak, melawani kezaliman pemerintah Belanda. Buku-buku pula yang telah mengobar-ngobarkan semangat mereka untuk merdeka, bebas dari belenggu penjajahan.

Yang lebih membanggakan lagi, mereka tak hanya berhenti pada membaca. Mereka juga menulis; melakukan perlawanan lewat tulisan-tulisan di media massa yang terbit kala itu dan membuat gerah para meneer penguasa. Satu per satu anak-anak “nakal” itu pun ditertibkan dengan jalan dibui atau diasingkan ke sebuah nusa yang jauh dari ibu kota.

Namun, ternyata penjara dan pengasingan tak lantas menyurutkan semangat perlawanan anak-anak muda ini. Dari tempat pembuangan itu, dengan ditemani buku-buku, mereka terus menulis dan menyebarluaskan gagasan kemerdekaan ke dunia luar. Sebab, mereka pasti sepakat, bahwa menulis adalah juga sebuah tindakan revolusioner.

Jika tak segan menoleh lebih ke belakang lagi, kita akan bertemu Kartini, seorang raden ayu berpendidikan sekolah rendah Belanda yang telah mencengangkan dunia lewat surat-suratnya. Surat-surat itu tak semata berisi curahan hati si gadis Jawa, tetapi juga memuat pikiran-pikiran dan keprihatinan Kartini kepada rakyat kecil yang menderita di bawah tindasan para penguasa (Belanda dan priyayi Jawa). Dari mana gadis lugu yang sejak umur 12 tahun dipingit itu memiliki kesadaran sedemikian rupa? Dari mana lagi kalau bukan dari buku-buku yang diperolehnya melalui sahabat-sahabat korespondensinya.

Mendadak saya iseng membayangkan, andaikata waktu itu teknologi internet dan blog sudah ada, tentu Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, Kartini, Tan Malaka, dan gerombolan “anak nakal” lainnya, pasti akan ramai-ramai nge-blog. Dan tentu Indonesia tak perlu menunggu selama 350 tahun plus 3,5 tahun untuk merdeka.

Dan pekan lalu, agaknya Taufik Rahzen beserta segenap penyelenggara acara, ingin menyebar-nyebarkan virus dan mengajak sebanyak-banyak orang menjadi kutu buku lewat kebiasaan membaca dan menulis (blog). Mungkin apa yang dilakukan oleh Taufik Rahzen dan gerombolannya hanyalah ibarat setetes air di tengah samudera, namun semoga bisa menyegarkan.

Saya akhiri tulisan sok tahu ini dengan mengutip sajak “Di Toko Buku” milik penyair Hasan Aspahani yang juga teramat mencintai buku:

Diam-diam aku sedang mempersiapkan
Sebuah kematian yang paling sempurna:
Dikuburkan di dalam buku. Engkau tahu?
Buku akan hidup abadi. Tak mati-mati!

Barangkali saja, kelak dalam perjalananku
Dari halaman-halamanmu, duhai Bukuku,
Duhai Kuburku, duhai Kekasih Abadiku,
bisa kutemukan pertanyaan teka-tekimu,
bisa kudengar apa saja yang dikata Waktu
.***

Kamis, 15 Mei 2008

Minyak


“Tahun depan nggak ada lagi metro mini, angkot, atau bis kota di Indonesia. Semua bakal diganti dengan dokar dan andong. Hemat energi!”

Kalimat di atas bukan statement seorang menteri, pengamat politik, atau pakar transportasi, tetapi diucapkan oleh seorang sopir metro mini dengan logat bataknya yang kental dan khas. Saya yang duduk pas di belakangnya, jadi senyum-senyum sendiri mendengar celoteh sopir itu.

Ramai-ramai berita tentang rencana pemerintahan menaikkan harga BBM telah menimbulkan aneka reaksi di masyarakat. Kabar tersebut telah menyengat banyak kalangan, terutama rakyat kecil yang hidupnya sudah susah dengan harga minyak yang sekarang. Tak heran apabila sopir metro mini tadi berkomentar seperti itu. Ia bagian dari masyarakat ekonomi kelas bawah yang bakal sangat direpotkan dengan kenaikan tariff tersebut. Sebab, kenaikan tarif BBM tentu akan memicu pula kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Bahan bakar adalah kebutuhan dasar yang berkait erat dengan banyak sektor kehidupan.

Beberapa hari sebelumnya, Enok, pembantu di rumah kami, juga ikut ribut mengenai rencana pemerintah itu. Dengan peluh berleleran di keningnya, ia berkicau, bahwa betapa akan susahnya hidup bagi dia dan keluarganya jika sampai harga minyak tanah mencapai Rp 8.000,00 per liter. Sekarang saja dengan harga Rp 5.000,00 dia sudah cukup repot. Untunglah tak lama kemudian dia kebagian jatah kompor gas tabung hijau gratis dari pemerintah. “Tapi saya masih takut memakainya, Bu. Takut meledak,” ujarnya polos.

Kekhawatiran Enok barangkali karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ihwal kompor gas gratis itu termasuk penjelasan tentang maksud dan tujuan program konversi dari minyak tanah ke gas, sehingga masyarakat tidak paham. Akibatnya banyak yang kemudian malah menjual kompor dan tabung-tabung gas jatahnya dengan harga Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00 dan mereka tetap menggunakan kompor minyak tanah seperti semula.

Belum lagi adanya gangguan dari oknum-oknum tertentu yang “melenyapkan” gas dari pasar, membuat harga gas melambung ke langit. Teman saya di Bandung sampai harus mencari gas di Bogor karena di tempatnya sudah tidak ada. Tetapi dia harus kecewa karena ternyata di Bogor pun gas “menghilang”. Para pengusaha restoran dan hotel di sepanjang Cisarua sempat panic juga beberapa hari sebelum akhirnya gas-gas dalam tabung biru itu tersedia kembali.

Ah, ya, menyebut Bogor saya jadi ingat sekitar dua pekan silam saat saya menuju daerah Puncak. Waktu itu saya naik angkutan kota warna biru jurusan Bogor-Cisarua. Sampai di pasar Cisarua, seorang ibu muda naik ke angkot saya. Maksud saya, angkot yang saya tumpangi. Ia membawa banyak jinjingan di kedua belah tangannya. Mukanya yang berpupur putih itu mengilat oleh butiran peluh. Dia meletakkan barang-barang bawaannya di lantai angkot. Saya menduga, ibu ini pasti pedagang.

“Buat jualan ya, Bu?” Saya memulai percakapan setelah ia duduk manis di pojok. Kebetulan kami Cuma berdua saja di angkot itu. Bertiga dengan sopir.

“Iya,” ibu itu menyahut sambil mengelap keringat di keningnya.

“Jualan apa, Bu?”

“Buka warung. Icalan gorengan. Cau, tempe, tahu, bala-bala”. Icalan itu artinya jualan, sedangkan cau adalah bahasa Sunda untuk pisang. Kalau bala-bala sudah tahu, kan? Itu bakwan. Kalau bakwan tidak mengerti juga, ya sudah, ke laut aja.

“Di mana jualannya, Bu?” Saya bertanya lagi yang dijawabnya dengan menyebut nama sebuah tempat wisata di kawasan Puncak.

Salah satu bawaan ibu itu adalah jeriken minyak yang terisi penuh. Saya tidak tahu itu minyak goreng atau minyak tanah.

“Ini minyak tanah, Bu?” Saya menunjuk jeriken warna putih bekas kemasan minyak goreng isi 5 kilogram.

Muhun,” jawab ibu itu, lagi-lagi dalam bahasa Sunda yang artinya iya.

“Berapa seliter?”

Tilu rebu” Tiga ribu. Heran, dia kok masih terus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan bahasa Sunda. Untung saya mengerti walau hanya sedikit. Gini-gini saya orang Sunda juga. Bapak saya kelahiran Majalengka dan ibu saya orang Bekasi.

“Masih murah ya, Bu. Di Jakarta sudah enam ribu, loh,” kata saya teringat Enok, pembantu kami yang lugu itu.

“Sebetulnya di koperasi lebih murah lagi. Cuman dua rebu setengah. Tapi tos dua dinten persediaanana teu aya”. Harga di koperasi lebih murah lagi, cuma dua ribu lima ratus rupiah, tetapi sudah dua hari tidak ada persediaan. “Tapi minyak ini cuma saya pakai buat jualan saja. Buat masak di rumah saya pakai kayu bakar”, ia menambahkan.

Hah? Kayu bakar? Hari gini masih ada yang memasak dengan kayu bakar dan itu di Bogor, berjarak hanya dua jam saja dari Jakarta? Apa saya tidak salah dengar?

“Kayu bakar, Bu?” Saya menegaskan, takut salah dengar.

“Iya, Neng, kayu bakar. Habis minyak mahal sih.”

“Lalu, Ibu dapat kayunya dari mana?” Saya sungguh penasaran, sebab ibu itu tinggal di daerah wisata yang penuh bertaburan hotel dan vila-vila mewah tapi kok masih memasak dengan cara primitif.

“Saya cari di hutan,” sahutnya, “kadang-kadang juga di kebon enteh.” Maksudnya, kebun teh.

“Yang ibu pakai itu ranting-rantingnya yang jatuh atau dari menebang?” Kejar saya sembari berharap semoga dia pilih jawaban yang pertama.

“Dulu sih cuma mungutin ranting-rantingnya yang kering. Tapi sekarang karena semakin banyak yang masak pakai kayu, jadi terpaksa menebang pohon juga.”

Oh..akhirnya saya harus mendengar jawaban yang saya takutkan itu. Menebang pohon untuk kayu bakar! Berapa banyak dan sampai kapan?

Mendadak melintas dalam bayangan saya hutan-hutan (lindung) di Puncak yang botak ditebangi. Sekarang saja sebagian lahan yang seharusnya untuk daerah resapan air sudah dipenuhi bangunan-bangunan mewah milik orang-orang kaya Jakarta. Tanah di kawasan jelita tersebut sudah ramai-ramai dikapling para miliuner ibu kota. Dengan atau tanpa IMB. Sempat juga diributkan soal IMB ini ketika terjadi banjir besar di Betawi tiga tahun lalu (2005). Namun, tentu saja heboh itu hanya sekadar sandiwara belaka, agar kelihatan pemerintah serius menangani soal bencana bah yang menenggelamkan ibu kota negara itu. Setelah reda dan orang bosan membincangnya, berhenti pula “sinetron” itu.

“Katanya banjir di Jakarta itu karena pohon-pohon di Puncak ditebangi, ya?” Sekonyong-konyong ibu pedagang itu bicara lagi. Saya tersenyum saja, tidak berkata apa-apa. “Ya, biar tahu rasa deh orang-orang Jakarta. Habis minyak mahal jadi terpaksa masak pakai kayu”. Kali ini si ibu tersenyum malu-malu. Mungkin sebenarnya ia pun merasa bersalah juga atas tindakannya turut mencukur hutan-hutan di wilayahnya seperti para orang kaya Jakarta itu. Hanya bedanya, kalau orang Jakarta menggunduli hutan demi kesenangan, sedangkan ibu itu untuk menyambung hidupnya.

Tak lama kemudian “nara sumber” saya itu pun turun, meninggalkan saya sendiri di dalam angkot. Sayup-sayup dari kabin sopir, terdengar alunan vokal Iwan Fals menyanyikan lagu lawasnya yang bertitel Galang Rambu Anarki:

BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi….

Sementara itu di luar jendela menyajikan tamasya indah deretan bukit hijau gelap merimbun menggerumbul. Mendekati kilometer 90, di kanan kiri pemandangan bertambah cantik oleh hamparan “karpet” hijau perkebunan teh Gunung Mas yang sudah ada sejak zaman kolonial dahulu. Akan berapa lama lagikah keelokan itu sanggup bertahan? Saya cepat-cepat mengeluarkan kamera saku dan memotretnya, memerangkap, mengabadikan keindahan itu. Siapa tahu, sepuluh tahun lagi semuanya sudah tiada.***ENDAH SUKLWESI

Kamis, 08 Mei 2008

GURU


Seharusnya saya jadi guru kalau mau setia pada latar belakang studi saya yang jurusan Pendidikan Geografi IKIP Jakarta (sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta-UNJ). Atau jika hendak bersetia pada “profesi turunan” di keluarga besar saya. Kakek saya guru. Dua orang paman saya juga guru. Beberapa sepupu saya pun ikut-ikutan melanjutkan pekerjaan mengajar dan mendidik itu. Ya, mungkin ini berkait erat dengan persoalan darah.

Namun, ternyata saya memilih “berkhianat” dengan bekerja di bidang lain yang sama sekali jauh dari predikat pengajar. Apalagi pendidik sejati seperti kedua orang paman saya di Cirebon dan Majalengka.

Adik lelaki ayah saya yang di Cirebon, saya memanggilnya Mang Mamat, adalah pensiunan guru. Jabatan tertinggi yang dipegangnya sebelum pensiun adalah kepala sekolah SD Inpres di Cirebon. Sosoknya yang kurus ringkih benar-benar sesuai dengan sosok guru desa zaman dulu. Tubuhnya yang ceking kering itu setiap hari, enam hari dalam seminggu, dibalut seragam cokelat dekil plus sabuk kulit kusam melilit pinggangnya yang ramping. Di kepalanya yang krisis rambut nangkring sepucuk kopiah hitam kecokelatan yang bulu-bulu beludrunya sudah rontok, pertanda seharusnya sudah diganti. Dengan sepeda ontel tuanya, paman saya pergi mengajar. Tas hitam kulit (buaya) imitasi diikat erat di boncengan. Persis Umar Bakri, sosok guru rekaan Iwan Fals.

Sekali waktu saya pernah bermalam di rumah petak beliau, di belakang bangunan anggun keraton Kasepuhan Cirebon yang tembok pagarnya sudah mulai doyong. Pada saya paman bercerita, bahwa sebagian anak didiknya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, sehingga kerap menunggak bayaran sekolah sampai berbulan-bulan. Atau mereka membayarnya dengan hasil ternak dan hasil bumi, seperti: ayam, telur ayam, dan pisang. Serasa kembali ke zaman perundagian.

Jangan lagi bicara soal gaji dan tunjangan. Paman saya sering harus merogoh saku untuk pangadaan kapur tulis di sekolahnya. Zaman itu tentu belum ada dana BOS (biaya operasional sekolah) seperti sekarang yang oleh beberapa sekolah justru diselewengkan untuk kepentingan lain (misalnya satu sekolah di kawasan Jakarta Timur ada yang memakai dana BOS untuk memasang AC di ruang kepala sekolahnya). Paman saya tidak pernah sampai hati mengusir murid yang telat bayar SPP walaupun untuk itu ia akhirnya terpaksa harus “main akrobat”, memutar anggaran yang teramat minim dari pemerintah. Kini, ia tengah menikmati masa pensiunnya bersama anak, istri, serta dua orang cucu.

Hanya sepelemparan batu dari Cirebon, ada lagi seorang paman saya yang jadi guru. Tepatnya di Kabupaten Majalengka. Tak jauh berbeda dengan saudaranya yang di Cirebon, paman saya di Majalengka ini juga sering menerima bayaran SPP berbentuk non-duit. Malah lebih parah lagi, ada yang membayarnya dengan daun pisang dan kayu bakar. Karena di rumah paman saya menggunakan kompor minyak, maka kayu-kayu bakar tersebut dibiarkan saja menumpuk di halamannya.

Memang cerita tadi terjadi dalam rentang waktu 10 tahun lalu. Cerita duka dari masa “pra sejarah”. Tapi entah, apakah kisah serupa masih terjadi di masa kini, barangkali di belahan lain bumi pertiwi yang masih belum terjangkau teknologi? Agaknya demikian. Belum lama ini saya masih menyaksikan tayangan feature di sebuah stasiun tv swasta nasional ihwal anak-anak bangsa yang harus berjalan jauh menempuh jarak berkilo-kilo meter, menyeberang sungai, melintas desa untuk bisa sampai ke sebuah bangunan reyot bernama sekolah. Anak-anak lugu berkulit kelam dekil bersisik itu dengan riang menebas jarak dengan ceker ayam menuju sebuah tempat di mana cita-cita tentang masa depan lebih cerah digantungkan. Mereka dekat saja. Hanya beberapa jam dari ibu kota negara: Tasikmalaya.

Sungguh amat kontras dengan Jakarta. Setiap pagi saya menyaksikan gerombolan pelajar dari SD hingga SMA yang riuh rendah bergurau dan cekikikan di bus kota. Rata-rata mereka memiliki telepon seluler dengan model paling baru. Seragam mereka kinclong. Dari tubuh-tubuh sehat itu menguar wewangian aneka cologne beraroma sari buah dan bunga. Canda tawa mereka begitu segar dan ceria, seakan-akan tak ada yang mereka cemaskan, bahkan UAN yang penuh intrik itu pun rasanya tak mampu merampas kegembiraan mereka.

Omong-omong soal UAN (ujian akhir nasional) ternyata banyak menyimpan cerita “misteri” di baliknya. Seorang teman di Tangerang bertutur berbagi gosip ihwal pelaksanaan UAN di sekolah anaknya. Ia bilang, sembari berbisik-bisik sebab kami bergunjing di kafe yang lumayan penuh, bahwa di sekolah anaknya ada tim sukses UAN yang terdiri dari para guru dan diketahui serta direstui oleh kepala sekolah.

Tim sukses? Apa pula itu? Ternyata itu adalah sebuah tim yang sengaja dan dengan sadar dibentuk oleh sekolah yang bersangkutan demi meluluskan anak-anak didik mereka. Jadi setelah kertas ujian dikumpulkan, akan dikerjakan lagi oleh tim sukses tersebut, dibetulkan jawaban-jawaban yang salah. Tujuannya agar nilai ujian anak-anak itu terkatrol dan jika prosentase yang lulus tinggi, maka sekolah mereka akan naik peringkat.

Oh, saya benar-benar terhenyak. Apakah sudah sedemikian parahnya yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita? Siapa yang salah kalau sudah begini? Pemerintah? Para guru? Sistem?

Saya jadi ingin bernostalgia ke masa sekolah dulu. Pada zaman saya, ujian akhir kelulusan ini disebut Ebtanas (Evaluasi belajar tahap akhir nasional) dan wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas terakhir di SD, SMP, dan SMA. Hasilnya nanti berupa NEM (nilai ebtanas murni) yang sama sekali tidak menentukan kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh nilai yang tertera di ijasah yang merupakan hasil testing seluruh mata pelajaran. Nantinya, NEM hanya berpengaruh bagi penerimaan di sekolah selanjutnya. Semakin baik peringkat sekolah, biasanya semakin tinggi persyaratan minimal NEM yang dipatok.

Tetapi kini rupanya zaman telah berganti. Sistem NEM tak dipakai lagi. Mulai tiga tahun lalu UAN-lah yang resmi digunakan sebagai metode pengujian siswa. Saya tak tahu persis binatangnya seperti apa, namun yang saya baca, dengar, dan saksikan, selama pelaksanaan UAS ini banyak pihak yang stres. Mulai dari siswa, guru-guru, para penguji, hingga orang tua murid. Semua berkeringat dingin, cemas menghadapi UAN. Gosip tak sedap pun meruak tentang soal-soal ujian yang bocor, tentang jual beli kertas ujian, dan tentang tim sukses tadi. Ironisnya, hal ini terjadi pada hari Pendidikan Nasional. Lebih memelaskan lagi, konon, semua itu justru dilakukan oleh oknum-oknum pendidikan yang seharusnya menjadi teladan para murid. Ah..semoga saja itu cuma sekadar gosip murahan yang tidak terbukti kebenarannya. Tapi bagaimana kalau ternyata benar?

Lalu, seandainya saya tidak “berkhianat” dan memilih menjadi guru, apakah saya akan mampu menghadapi kondisi seperti ini? Masihkah saya sanggup bersetia kepada idealisme?***