Rabu, 16 April 2008

KERUDUNG


Pada suatu sore hari sehabis mandi. Saya mematut diri di cermin di ruang tengah; menyisir rambut saya yang lurus kaku bak ijuk. Rambut saya yang beberapa tahun lalu masih hitam seluruhnya, kini mulai menyembulkan warna perak di tempat-tempat tertentu. Salah duanya di bagian poni serta pelipis. “Duh, uban sudah banyak, nih!” saya bergumam sembari lebih mendekat ke permukaan cermin agar bisa melihat lebih jelas “bunga-bunga jambu” di kepala saya. “Apa perlu dicat ya supaya tidak kelihatan?” kata saya lagi. Saya tidak bicara sendiri sebetulnya, sebab ada ibu saya sedang asyik nonton acara gosip di televisi.

“Uban kok dicat. Mendingan pakai kerudung,” tiba-tiba ibu saya menyahut, “Sudah tua, nggak usah macam-macam. Insyaf donk,” sambungnya lagi. Saya cuma bisa nyengir, senang bisa menggoda beliau. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh ingin mengecat rambut saya. Tetapi saya juga belum siap berkerudung.

Ingat kerudung saya jadi ingat peristiwa beberapa hari lalu ketika saya sedang setengah berlari mengejar metro mini di pagi hari. Sampai di tempat saya biasa menunggu metro mini, saya bertemu dengan seorang tetangga kompleks. Saya nyaris tidak mengenalinya. Bukan lantaran kami sudah lama tidak berjumpa tetapi karena hari itu ia tidak berkerudung seperti yang selama ini saya kenal. Baiklah kita sebut saja ia dengan nama Intan.

“Intan?” tanya saya ragu-ragu. “Iya, Mbak,” sahutnya pelan dengan wajah sedikit tersipu. “Kemana kerudungmu?” dengan penasaran saya bertanya lagi. Belum sempat ia menjawab, metro mini yang saya tunggu datang. Oh..tetapi untunglah, ternyata Intan juga naik metro mini yang sama. Kami duduk berdampingan dan obrolan pun berlanjut.

“Kemana kerudungmu?” saya mengulang pertanyaan yang belum sempat terjawab tadi. Intan membenahi posisi duduknya sebelum kemudian bercerita.

Intan, ibu muda dari dua orang anak ini, terpaksa melepas kerudungnya karena peraturan di tempat kerjanya tak membolehkan para karyawannya berkerudung. Intan yang belum pernah bekerja seumur hidupnya–ia langsung menikah begitu kuliahnya selesai–tak punya pilihan lain: ikut peraturan atau keluar. Pekerjaan ini pun diperoleh berkat bantuan kenalan ibunya. Intan terpaksa bekerja karena sang suami kena PHK tujuh bulan yang lalu dan hingga kini belum juga beroleh pekerjaan baru. Sementara hidup mereka harus terus berjalan. Anak-anak mereka perlu susu, perlu makan, perlu pakaian. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Intan harus mengambil keputusan. Dan ia, dengan izin suami, memilih bekerja demi kelangsungan hidup mereka.

Nasib yang mirip dengan Intan juga menimpa Ria yang juga tetangga saya. Ria yang tamatan SMA ini juga seorang ibu muda dengan bayi lelaki berumur tujuh bulan. Ria menikah karena “kecelakaan”. Suaminya mahasiswa semester tujuh. Perkawinan itu berlangsung tanpa restu orang tua si suami yang tinggal jauh di Ternate. Setelah menikah, Ria dan suaminya tinggal di rumah orang tua Ria yang hidup pas-pasan. Ayah Ria seorang sopir taksi dan ibunya membantu dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tetangga. Dua orang adik Ria masih sangat memerlukan biaya sekolah. Kini dengan bertambahnya dua orang di rumah itu, bertambah pula dua mulut yang harus dihidupi. Sebagai anak sulung, Ria merasa malu jika terus menjadi parasit bagi orang tuanya. Dia tak terlalu berharap pada mahasiswa yang menjadi suaminya itu.

Lalu berkat pertolongan seorang sepupunya, Ria akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan. Itu berarti ia harus melepas busana panjang dan kerudung yang selama ini menjadi pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan seragam : rok selutut dan atasan lengan pendek. Lagi-lagi, Ria tak punya banyak pilihan. Mencari pekerjaan hari ini bagi seorang perempua lulusan SMA tentu bukan perkara mudah.

Lain lagi yang dialami Gita, tetangga saya juga. Gadis manis berambut sebahu ini sudah hampir satu tahun ini mengajar di sebuah SD Islam. Sekolah tempatnya mengajar mewajibkannya mengenakan kerudung. Gita yang sebenarnya lebih suka membiarkan rambutnya yang indah “telanjang”, mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang berlaku di tempat kerjanya. Ia pun mengenakan kerudung, meski hanya selama mengajar saja.

Mungkin kasus Gita sedikit lebih mudah dibanding dua yang pertama. Yang saya heran kok masih ada ya pelarangan memakai kerudung di era kebebasan ini? Jika itu terjadi dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, masih bisa dimengerti. Maksud saya, waktu itu rezim yang berkuasa (baca: Orde Baru) memang sangat alergi dengan segala atribut yang berbau Islam. Hubungan penguasa (umara) dengan Islam (ulama) tidak semesra sekarang. Islam masih dianggap sebagai ancaman besar yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan pemerintahan yang sah.

Sekejap ingatan saya melayang pada masa SMA dua puluh tahun lewat. Kala itu saya kelas I (1987/88). Terjadi satu peristiwa seorang teman baik saya dikeluarkan dari sekolah karena memilih tetap memakai kerudung. Pihak sekolah memberi pilihan: tetap sekolah di situ tetapi kerudung dilepas atau tetap memakai kerudung namun harus angkat kaki. Teman saya yang hebat itu–menurut saya dia hebat–memilih yang kedua: keluar dari sekolah kami dan pindah ke sebuah SMA Islam. Sekarang ia telah menikah dan sukses memimpin sebuah majalah keluarga.

Kembali kepada larangan berkerudung. Menurut saya sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sosial politik mutakhir tatkala kebebasan di segala bidang tengah merayakan kemenangannya di negeri ini setelah “terpenjara” puluhan tahun. Demikian juga sebaliknya, jangan sampai ada pemaksaan mengenakan kerudung (atau busana lainnya) demi kepentingan pihak-pihak tertentu. ***

Tidak ada komentar: