Selasa, 18 Maret 2008

CERAI


Percaya atau tidak, dalam sebulan ini ada 3 orang teman saya yang curhat (curahan hati) tentang masalah rumah tangganya. Ketiganya perempuan. Ketiganya berkata akan menuntut cerai suami-suami mereka. Halaah…ada apakah ini? Kayak selebritis saja, ramai-ramai cerai. Kalau sudah begini, ke mana larinya cinta?

Teman pertama, sebut saja namanya Ani, telah menikah selama tujuh tahun dan dikaruniai dua orang anak lelaki yang lucu-lucu; masing-masing berumur 7 dan 6 tahun. Ani bersuamikan seorang manajer sebuah bank pemerintah. Ani sendiri juga bekerja di salah satu perusahaan otomotif terkemuka. Ani bercerita pangkal dirinya minta cerai adalah karena sang suami yang telah dinikahinya selama delapan tahun, kedapatan nyeleweng.

Bagai dalam sinetron tivi, Ani mendapatkan bukti-bukti penyelewengan suaminya lewat bon-bon makan yang ia temukan di saku celana serta bekas gincu merah yang menempel di kerah bagian belakang kemeja sang suami. Kecurigaannya semakin menguat ketika Ani secara mencuti-curi membaca sms (pesan singkat) di telepon seluler milik suaminya itu yang berisi ungkapan mesra dari seorang perempuan. “Pantas saja,” kata Ani dengan suara serak menahan isak, “dia sering pulang larut malam”.

Berikutnya adalah Sita. Teman saya semasa kuliah ini sudah menikah selama lima tahun. Suaminya bekerja sebagai teknisi di sebuah stasiun tivi swasta nasional. Sita yang jurnalis di sebuah majalah wanita mengeluh bahwa ia sudah cape berumahtangga dan ingin mengakhirinya. Pasalnya, selama lima tahun ia tak pernah diberi nafkah (uang belanja) oleh suaminya itu. Pernah sih tetapi hanya 5 bulan pertama perkawinan mereka. Selanjutnya, hingga hari ini tal pernah lagi. Segala kebutuhan rumah tangga (sabun mandi, sabun cuci, minyak goreng, pasta gigi, shampoo, susu anak-anak, sampai beras) Sita yang memenuhi dari uang gajinya sendiri. Sementara suaminya lebih sibuk mengurusi keluarganya (ibu mertua dan adik-adik ipar Sita).

Awalnya Sita tak keberatan karena bagi Sita menikah itu berarti ia harus mau berbagi dengan keluarga suaminya. Sita mengerti sebagai anak sulung, suaminya berkewajiban membantu biaya sekolah 3 orang adiknya. Maklum, ayah mertua sudah pensiun. Satu-satunya andalan adalah suaminya.

Namun, lama kelamaan Sita gerah juga lantaran suaminya lebih menomorsatukan urusan ibu dan adik-adiknya sampai-sampai “menelantarkan” istri dan anak-anaknya. Sita tidak pernah lagi menerima uang gaji suaminya. Belakangan ia semakin tidak tahan sebab suaminya terlibat utang demi menyelamatkan rumah ibunya yang digadaikan. Ibu mertua Sita mencoba-coba berbisnis cengkeh, tetapi karena minim pengalaman akhirnya bangkrut dan minta tolong suami Sita untuk menyelesaikan segala utang-piutang menyangkut bisnis tersebut, termasuk rumah yang digadaikan.

Kasus utang ini bukan yang pertama kalinya. Ketika usia perkawinan mereka baru dua tahun, suaminya harus membayarkan utang sang ibu yang berbisnis jual beli kristal. Waktu itu, suami Sita terpaksa melego motornya dan pinjam dana dari bank. Belum lagi perkara uang sekolah ketiga orang adiknya yang mesti ditanggung suaminya. Sita dan anak-anaknya yang dua orang itu nyaris tidak kebagian. Maka akhirnya teman saya yang cantik pun menyerah. Ia ingin menyudahi pernikahannya.

Terakhir adalah Nuniek. Wanita bertubuh mungil yang saya kenal di sebuah seminar ini tiba-tiba menelepon saya dan bilang, bahwa ia sebentar lagi bakal menyandang status janda. Kami memang tidak terlalu akrab, tetapi cukup sering bertemu dan saling cerita lewat sms atau telepon. Nuniek masih cukup muda. Usianya baru 32 tahun. Ia menikah 3 tahun silam dengan seorang pria keturunan Arab. Suaminya pekerja kontrak di sebuah perusahaan asing; sedangkan Nuniek adalah sekretaris di penerbitan. Mereka belum dikaruniai anak.

Nuniek memutuskan bercerai dengan alasan sering dipukul suaminya. Dalam usia perkawinan yang masih seumur jagung itu, Nuniek kerap menerima perlakuan kasar– fisik dan psikis–dari suaminya yang cemburuan. Jika Nuniek pulang telat sedikit saja dari jadwal biasanya, habislah ia dihujani pertanyaan-pertanyaan yang bernada curiga. Jika jawaban Nuniek tidak berkenan di hatinya, tak segan-segan lelaki bertubuh tegap bak tentara itu melayangkan tinjunya ke tubuh mungil Nuniek. Hal tersebut telah berlangsung sejak tahun pertama pernikahan mereka. Selama ini Nuniek mencoba sabar dan bertahan sampai akhirnya tak kuat lagi. “Aku tidak mau dijadikan sansak seumur hidup,” katanya menahan marah.

Menarik. Dari ketiga kasus di atas, semua yang menuntut cerai adalah pihak istri (perempuan). Saya yakin, keputusan mereka bercerai tentu sudah dipertimbangkan matang-matang karena sejatinya tak ada orang yang menikah dengan niat untuk bercerai kemudian. Tidak ada perempuan yang sudi menyandang predikat janda. Cerai adalah solusi terakhir ketika jalan damai tak bisa lagi ditempuh.

Tatkala ketiganya saya tanya dengan pertanyaan yang sama “mengapa memilih bercerai?”, mereka memberikan jawaban yang hampir sama : “Lebih baik sendiri daripada menderita”. Ketika saya bertanya lagi, “Tidak takut jadi janda?” Mereka menyahut dengan gagah berani, “Tidak. Aku kan kerja. Aku mampu menghidupi diriku sendiri dan anak-anakku”.

Saya jadi ingat beberapa waktu lalu pernah ngobrol dengan seorang teman yang baru melahirkan. Teman saya ini berniat berhenti bekerja dan ingin mengurus anak di rumah. Waktu itu saya katakana, bahwa sebaiknya ia mengurungkan niatnya berhenti bekerja; sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kelak dengan kehidupannya, terutama perkawinannya.

Dengan tetap bekerja kita, perempuan, punya daya tawar yang tinggi. Dengan bekerja kita juga bisa mengaktualisasikan diri, bersosialisasi, berkembang, dan yang paling penting punya penghasilan sendiri sehingga tak bergantung seratus persen kepada suami. Ya kalau suami setia sampai mati; ya kalau suami tidak pelit; ya kalau suami terus bagus kariernya….Bagaimana andai sebaliknya yang terjadi, seperti yang menimpa Ani, Sita, dan Nuniek? Untunglah teman saya itu membatalkan niatnya.

Saya kira keberanian Ani, Sita, dan Nuniek memilih berpisah dengan suami mereka lantaran mereka bekerja. Mereka berani melawan; keluar dari masalah yang mengimpit demi menyelamatkan hidup mereka selanjutnya.

Sangat berbeda dengan yang dialami sepupu saya yang terpaksa rela dimadu karena secara ekonomi ia sepenuhnya bergantung pada suami. Ia tak berani meminta cerai. “Saya dan anak-anak mau makan apa kalau cerai?” begitu katanya memelas. Alhasil, sampai sekarang, suka atau tidak, statusnya adalah istri tua. Sudah tentu nafkah (lahir batin) yang ia terima tidak lagi seperti dulu karena harus berbagi dengan madunya.

Namun, terlepas dari bekerja atau tidak, manakala kita diperlakukan tidak adil oleh siapa pun–meniru Wiji Thukul–hanya ada satu kata: lawan! ***ENDAH SULWESI

Tidak ada komentar: