Sabtu, 06 September 2008

Buka Bersama


Hari keempat puasa, saya tidak ngantor. Bukan karena puasa tapi justru karena sedang cuti puasa. Biasa deh perempuan. Alam telah memberikan dispensasi kepada kami untuk tidak berpuasa pada hari-hari "merah". Dan peraturan di kantor saya memberi hak kepada karyawati yang tengah datang bulan untuk cuti haid selama satu hari. Jadi, libur saya legal toh?


Biasanya selama tidak kerja saya tidak kemana-mana. Menghabiskan waktu di rumah dengan baca buku, ngenet, atau nonton tivi. Sebenarnya malas betul melakukan aktivitas yang terakhir itu sebab acara-acaranya tidak ada yang bisa dikatakan bagus. Seluruh stasiun tivi menyiarkan acara yang nyaris seragam setiap harinya. Apalagi sepanjang Ramadan ini. Saya sampai kesulitan membedakan satu acara dengan acara lainnya saking miripnya. Mulai menjelang berbuka hingga pada saat makan sahur.


Pagi itu, kira-kira jam sepuluh, tukang sayur langganan ibu saya berhenti tepat di muka rumah kami. Dengan teriakannya yang khas, ia mengumumkan kehadirannya. Ibu saya segera bergegas memenuhi panggilannya. Begitu juga beberapa ibu yang lain tetangga kami.


Saya yang sedang enggan mengerjakan apa-apa, tak beranjak dari ruang tamu. Mulanya saya tidak tertarik mengamati rutinitas para ibu itu. Namun, hari itu mereka membincang topik yang berhasil menggugah perhatian saya. Diam-diam saya mencuri dengar percakapan mereka.


Dimulai dari keluhan si Tukang Sayur. Dengan setengah menggerutu ia mengeluh soal langganannya yang kian hari kian sedikit saja belanjanya. Agak mengherankan baginya, sebab lazimnya hari-hari bulan puasa merupakan hari-hari menguntungkan karena para langganan umumnya berbelanja lebih banyak dari hari-hari biasa. Ia bisa menjual bukan saja sayur-mayur dan lauk-pauk tapi juga buah-buahan serta bahan-bahan pembuat kolak atau cemilan lain sebagai takjil. Tetapi baru memasuki hari keempat kok ibu-ibu ini sudah banyak mengurangi belanjaannya.


"Yah, habis percuma sih Mas, masak banyak-banyak juga nggak ada yang makan," sahut seorang ibu, "Anak-anak hampir setiap hari buka di luar," lanjutnya lagi yang lekas disepakati oleh ibu-ibu yang lain, termasuk ibu saya.


"Iya. Itu kolak pisang sampai tiga hari masih belum habis. Akhirnya dibuang deh," terdengar seorang ibu mengungkapkan "kasus"-nya.


"Betul, Bu. Di rumah juga begitu. Saya selalu buka sendirian. Cuma puasa pertama saja mereka buka di rumah," itu suara ibu saya. Nadanya kesal bercampur sedih. Ow..ow.."Malah sahur juga lebih sering sendiri karena mereka pada susah disuruh bangun. Alasannya ngantuk. Ya gimana nggak ngantuk kalau baru pulang jam 11?" Wah, semakin panjang curhatnya dan membuat saya jadi merasa bersalah. Pasti yang dimaksudnya itu saya dan adik saya.


Sebuah suara menimpali, "Tahu tuh anak-anak. Semakin gede semakin nggak betah di rumah. Padahal katanya jam pulang kantor dimajukan 1 jam supaya bisa buka di rumah. Eh..ini malah pada ngelayap."


Obrolan pagi para ibu itu sebenarnya masih terus berlanjut beberapa saat lagi. Tapi bagi saya sudah cukup untuk menangkap inti sarinya yang bikin saya tercenung. Kasihan ya ibu saya. Jadi selama ini saya sudah bikin sedih hatinya lantaran kerap buka bersama di luar. Setiap hari ada saja jadwal buka bersama yang harus saya hadiri. Harus? Benarkah itu satu keharusan yang wajib saya laksanakan atau saya sekadar mencari pembenaran saja ketika memakai alasan "tidak enak kalau tidak datang"? Lalu bagaimana dengan perasaan ibu saya yang diam-diam menelan sendiri kesepian dan kesedihannya karena harus buka puasa sendirian? Mengapa saya bisa merasa enak-enak saja meninggalkan beliau sendiri sementara saya makan enak di luar? Oh, jangan-jangan saya sudah jadi anak durhaka.


Kalau mendengar "drama" satu babak tadi, agaknya bukan cuma ibu saya yang mengalami "kasus" seperti itu. Dan saya yakin, hal serupa dialami juga oleh ibu-ibu di tempat lain. Tatkala semestinya bulan yang penuh berkah ini bisa menyatukan anggota keluarga dalam ritual berbuka dan sahur, mengapa justru peluang itu tidak saya manfaatkan dan malah saya sibuk makan di luar. Bukankah kegiatan "makan di luar" telah hampir setiap hari saya lakukan selama ini?


Jadi sekarang baiknya gimana ya? Apakah mulai hari ini dan seterusnya saya berbuka di rumah saja? Atau apakah harus saya atur kembali jadwalnya, selang-seling dengan buka di luar?


Selagi saya masih sibuk berpikir, tiba-tiba ponsel saya berdering. Panggilan dari seorang teman. Saya tahu, dia pasti ingin mengingatkan kembali ihwal acara buka puasa bersama petang nanti di sebuah resto di bilangan Cikini. Saya angkat atau tidak, ya?***