Kamis, 06 Maret 2008

DANGDUT DAN TELEVISI


Pada suatu Rabu malam. Saya dan ibu saya duduk di depan televisi menyaksikan sebuah tayangan langsung di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Acaranya itu seperti lomba menyanyi dangdut. Pesertanya ada sepuluh orang. Setelah melalui audisi yang dinilai oleh tiga orang juri, peserta dikempiskan menjadi tinggal lima orang saja yang berhak mengikuti kontes tersebut.

Kelima peserta yang tersisa ini kemudian diadu kebolehannya menyanyi dangdut. Satu per satu mereka tampil di pentas; bernyanyi dan bergoyang. Ketiga orang juri yang berasal dari kalangan artis penyanyi dan pelaku dunia hiburan memberikan penilaian untuk vokal, koreografi, dan penampilan.

Malam itu, kelima peserta kontes perempuan semua. Dari cerita mereka terungkaplah sepotong kisah hidup dan motif mereka mengikuti acara itu. Umumnya, entah benar atau tidak, para kontestan itu menuturkan sebuah kisah sedih. Dituturkan dengan mimik muka memelas dan bahkan sampai berurai air mata.

Adalah Nuraini dan Tresna yang malam itu menjadi “bintang” pertunjukan. Nuraini, wanita muda asli Jawa tetapi lahir di Medan itu, jauh-jauh datang ke Jakarta dari desanya di ujung Sumatera sana demi mengejar seberkas mimpi menjadi penyanyi (dangdut) terkenal. Minimal di Sumatera. Saat ini Nur hanyalah seorang penyanyi dangdut kampung yang ngamen dari panggung ke panggung pada acara perkawinan atau khitanan. Mereka menyanyi dengan iringan organ tunggal. Kadang-kadang untuk lebih semarak ditambah juga tabuhan gendang dan tiupan seruling.

Fenomena dangdut solo organ ini semakin hari semakin marak saja. Kini setiap ada hajatan terasa kurang lengkap tanpa hiburan musik hidup ini. Penyanyinya yang biasanya perempuan tampil dengan kostum serta dandanan layaknya penyanyi dangdut profesional.

Gaun mini di atas lutut dengan warna-warni cemerlang yand di beberapa bagian tampak terbuka, sepatu lars panjang berhak tinggi, rambut panjang lurus kecoklatan hasil pewarna, bulu mata palsu melengkung lentik, pupur tebal plus perona pipi jambon, gincu merah menyala….Tubuh seksi itu meliuk-liuk bergoyang mengikuti irama gendang. Sesekali pinggul menghentak nakal, membawa imajinasi para penonton melayang. Desahan serta kerling mata nan menggoda menambah hangat suasana.

Namun malam itu di layar kaca, Nuraini tak bergaya seronok. Dalam balutan busana keemasan, ia melenggok menyanyikan sebuah lagu pilihannya. Ia terlihat begitu bersemangat dan enjoy. Oleh para juri Nur diloloskan dan itu artinya ia mempunyai kesempatan untuk jadi pemenang yang akan diketahui di akhir acara dari hitungan SMS yang masuk.

Oya, tentu saja tayangan ini melibatkan kesertaan penonton tivi untuk ikut memilih pemenangnya dengan cara mengirimkan SMS. “Strategi” seperti ini mulai ramai digunakan para penyelenggara acara-acara tivi sejak beberapa tahun silam dan sukses meraup keuntungan, baik bagi stasiun televisinya mau pun penyedia layanan telepon selulernya. Terbukti dari tetap dipertahankannya acara-acara tersebut lantaran banyak diminati pemasang iklan dan rating-nya tinggi. Bicara rating, apa boleh buat, itulah salah satu “alat ukur” yang dipakai dan dipercaya untuk mengetahui laku tidaknya sebuah tayangan tivi. Tidak peduli acara tersebut bagus atau buruk mutunya.

Kembali kepada Nur yang telah usai berdendang. Oleh pembaca acara Nur diminta menuturkan kisahnya hingga tiba di panggung kontes dangdut itu. Dengan gayanya yang terlihat lugu, istri seorang tukang potong rumput itu, menggulirkan ceritanya.

Dari kampungnya nun jauh di Pulau Perca sana, Nur berangkat ke Jakarta dengan segumpal tekad ingin memenangi kontes dangdut itu. Berbekal uang tiga juta rupiah hasil penjualan 4 ekor kambing miliknya, perempuan berkulit gelap ini terbanglah. Sesampai di bandara Soekarno-Hatta ia sempat kebingungan tak tahu harus ke mana sebab, katanya, ia tak punya sanak saudara di ibukota ini. Untunglah, ia bertemu seorang bapak baik hati yang menawarinya tempat tinggal. Tawaran itu segera diterimanya. Nur tinggal di rumah pria baik budi itu sampai waktu lomba tiba. Nur menutup kisahnya dengan harapan dan doa agar ia berhasil menjadi juara malam itu.

Lain Nuraini lain pula Tresna. Tresna, bocah perempuan berumur 15 tahun ini, berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Ia datang diantar bapak ibunya dan beberapa orang saudaranya yang terus menyemangatinya selama ia tampil. Tresna bertubuh pendek untuk ukuran anak seusianya. Badannya sedikit gempal dengan rambut dipotong pendek. Malam itu ia mengenakan baju rok putih dengan bagian bawah lebar. Wajahnya dirias tebal sehingga membuat ia tampak lebih tua dari usianya.

Tresna menyanyi dengan bagus. Ia berhasil memesona para juri dan penonton di studio. Ia pun dinyatakan lolos. Sebagaimana Nur tadi, Tresna juga didaulat untuk bercerita.

Tresna anak sulung dari tiga bersaudara. Bapaknya bekerja sebagai tukang ojek, sedangkan ibunya berjualan kecil-kecilan di rumah. Sudah sejak umur 9 tahun, Tresna senang menyanyi. Ia belajar dari melihat VCD penyanyi idolanya, Rita Sugiarto. Seperti Nur, Tresna juga sering ditanggap menyanyi di panggung-panggung kecil di desanya. Serupa dengan Nur, Tresna pun ingin menang supaya bisa memperbaiki nasib keluarganya. Sambil berurai air mata dan suara tersendat oleh isak tangisnya, Tresna mengaku ingin menyenangkan dan membantu kedua orang tuanya mencari uang. Ia yakin dengan memenangi lomba malam itu jalan menuju hidup yang lebih baik akan terbuka lebar.

Oh..sungguh menyentuh kisah anak kecil itu. Tanpa terasa saya dan ibu saya ikut meneteskan air mata haru, larut oleh kisah yang dipaparkannya. Dan kemudian saya ikut memilihnya lewat SMS. Oh…inilah kali pertama saya “terlibat”.

Mungkin apa yang diungkapkan Tresna dan Nur benar belaka dan dengan jitu telah dimanfaatkan oleh pihak penyelenggara. Mereka mengekspos penderitaan para peserta demi menggugah dan melibatkan emosi penonton. Maka, jika penonton sampai ikut menangis berarti acara tersebut digemari dan sukses. Tidak terlalu salah kesimpulan itu, karena keesokan harinya, pada jam yang sama ibu saya kembali mengikuti acara tersebut.

Kiranya dangdut dan televisi telah bersinergi dengan apik dalam menjual mimpi-mimpi kepada para audiensnya. Keduanya adalah benda yang sangat akrab dalam keseharian masyarakat bawah. Lewat kedua media hiburan ini, orang-orang seperti Nuraini dan Tresna mencoba menggantungkan harapan untuk tetap survive menjalani kerasnya kehidupan.

Dangdut yang dahulunya hanya laku di kalangan bawah, kini pelan-pelan statusnya naik. Musik yang berasal dari India ini mulai merambah selera orang-orang kota (modern). Sekarang dangdut diterima di mana-mana. Mulai dari tukang becak sampai para pejabat. Dangdut semakin laku keras pada musim-musim kampanye. Artis dangdut banjir order. Mereka biasanya “dimanfaatkan” untuk mengumpulkan massa.

Agak sedikit berbeda, keberadaan televisi di masyarakat justru berangkat dari golongan mampu. Dahulu kala hanya orang-orang kaya saja yang sanggup memiliki “kotak ajaib” ini di rumah-rumah mereka. Rakyat jelata biasanya nonton ramai-ramai di balai desa atau numpang di rumah tetangga yang punya.

Namun hari ini pesawat televisi bukan lagi barang mewah. Ia telah jadi harta yang wajib ada di setiap rumah tangga. Di gubuk-gubuk pinggir rel sekali pun kita bisa menjumpai benda ini. Mungkin hanya di daerah yang sangat terpencil saja (yang tidak ada di peta)
yang belum mengenal teknologi televisi.

Dan tatkala keduanya, dangdut dan tivi, bekerja sama menjual impian, kita terperangkap di dalamnya; membeli, melahap, menelannya. Sampai suatu saat, mungkin, akan muntah dan mencari impian baru lagi.***ENDAH SULWESI.

Tidak ada komentar: