Selasa, 29 April 2008

Jodoh


Siapa yang bisa mengetahui dengan pasti tibanya jodoh? Konon, ia datang seperti ajal, bisa melalui proses yang panjang–lewat sakit, luka, dan jatuh bangun–atau secara tiba-tiba dan tak terduga. Hari ini berkenalan dan jatuh cinta, seminggu kemudian menikah. Atau berabad-abad menjalin kasih, ternyata tidak jadi menikah.

Beberapa waktu lalu datang seorang teman adik saya, perempuan muda berusia 32 tahun. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan adikku, tetapi petang itu adikku telat pulang sehingga aku yang menemaninya mengobrol. Mari kita namai ia Bunga.

Pada saya Bunga berbagi semacam kesedihan. Ayah ibunya hendak menangguhkan pernikahannya karena kakak perempuan Bunga belum menikah. Menurut adat dan kepercayaan yang diyakini keluarganya, Bunga tidak boleh melangkahi kakaknya itu. Pamali, kata ibunya, kasihan kakakmu nanti jadi susah jodohnya.

“Memang kakakmu umur berapa?” tanya saya mulai iseng.
“Tiga puluh lima,” sahut Bunga.
“Apakah ia memang berencana menikah?” lanjut saya.
“Nah itu dia, Mbak, kakakku masih jomblo.

Hm, saya jadi ingat tiga tahun silam. Sepupu saya, perempuan, juga mengalami kasus yang hampir serupa. Bedanya, ia yang dilangkah adik perempuannya. Seminggu menjelang hari perkawinan adiknya itu, ia minggat dari rumah. Menghilang. Membuat panik seluruh keluarga. Di kantor, ia pamit cuti selama satu pekan. Semua temannya tak ada yang bisa memberikan informasi ihwal keberadaannya.

Namun, untunglah. Sebelum jadi menyewa jasa detektif swasta untuk melacak jejaknya, pada hari ketiga kepergiannya, ia menelepon saya. Dia baik-baik saja dan selama ini tinggal nyaman di sebuah kamar hotel.

“Mengapa kabur?” tanya saya.
“Tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa takut sekali menghadapi hari itu,” jawabnya dengan suara sedih.
“Apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah merestui adikmu menikah?”
“Ya, aku tidak keberatan dia menikah duluan. Tetapi aku tidak sanggup membayangkan pada hari pernikahan nanti semua hadirin akan menatapku dengan pandangan iba karena aku dilangkah.”

Oh, sampai sebegitunya ternyata yang dirasakan sepupu saya yang waktu itu berusia 37 tahun. Sama seperti kakaknya Bunga, sepupu saya ini juga belum punya kekasih. Entah apa alasan sebenarnya, tetapi yang kelihatan oleh saya ia begitu sibuk mengurusi keluarganya. Sejak ayah mereka meninggal, sebagai sulung dialah yang mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Semua biaya kuliah adiknya yang 3 orang menjadi tanggungannya. Mungkin itulah sebabnya hingga kini ia masih melajang.

“Jangan pikirkan orang lain deh,” kata saya berusaha menenangkannya, “Pikirkan saja adik dan ibumu. Mereka sedih banget tuh kamu kabur.”
“Ya nanti kalau sudah tenang aku pasti pulang,” jawabnya, “Justru aku juga sedih memikirkan ibu nanti yang malu punya anak perawan tua kayak aku.”

Ucapannya itu membuat saya terdiam karena jadi teringat diri saya sendiri. Tiga kali saya dilangkah. Saya tidak pernah merasa keberatan dengan pernikahan adik-adik saya. Tidak ada hak saya melarang atau meminta mereka menunda pernikahan. Apa lagi saya memang sudah berniat being jomblo forever. Jika pun tidak, bagi saya hal tersebut tidak jadi masalah. Yang lahir duluan tidak mesti menikah duluan. Sungguh akan sangat tidak adil bagi adik-adik saya jika saya sampai menghambat rencana mulia mereka demi alasan yang sama sekali tidak rasional.

“Aku juga tidak mau ada acara langkahan,” sepupu saya melanjutkan teleponnya.
Ritual langkahan ini biasanya berlangsung menjelang akad nikah. Sang adik yang jadi pengantin hari itu mesti memohon restu kepada kakaknya dengan menyerahkan sejumlah “upeti”. Lazimnya berupa seperangkat perhiasan (kalung, gelang, cincin, anting-anting, dll).

Saya pernah sangat “menderita” ihwal pelangkah ini. Waktu itu adik lelaki saya yang akan menikah. Sejak jauh-jauh bulan dia sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, seperti gedung, katering, perias pengantin, dan termasuk pelangkah untuk saya. Setiap ada kesempatan dia selalu bertanya pelangkah apa yang saya inginkan. Siang malam saya dikejar-kejar terus. Tadinya saya tak mau ambil pusing dengan segala tetek bengek itu. Tidak penting. Lagian, dari pada untuk beli pelangkah demi pamali itu, mendingan uangnya untuk hal lain yang lebih berguna.

Karena setiap hari terus diuber-uber, akhirnya saya mengalah. Baiklah, kata saya, tetapi saya tidak mau segala rupa perhiasan itu. Saya ingin satu set ensiklopedi Islam. Biar tahu rasa anak itu, batin saya sambil nyengir jahil. Saya pikir dengan minta pelangkah seharga 2,5 juta itu, adik saya akan menyerah dan berhenti memburu-buru saya. Ini sih sekadar akal-akalan saya saja.

Namun, keesokan paginya saya terkejut. Di atas meja tamu tergeletak beberapa lembar brosur ensiklopedi Islam yang saya inginkan itu. Saya jadi tersentuh. Tiba-tiba saya merasa telah berlaku kejam terhadap adik saya. Mendadak saya ingin menangis. Ternyata adik saya menanggapi serius gurauan itu. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh meskipun saya sangat ingin memiliki ensiklopedi tersebut.

Maka, siang harinya saya sms adik saya. Saya katakan, bahwa dia tak perlu membelikan ensiklopedi mahal itu. Kalau memang tetap harus ada pelangkah sebagai syarat yang diwajibkan adat, dia boleh membelikan saya apa saja. Saya akan menerimanya. Dan seminggu menjelang pernikahannya, saya mendapatkan pelangkah keramat itu : Novel Senopati Pamungkas jilid 1 dan 2 yang segede-gede bantal. Wah, kalau ini sih saya tak sanggup menolaknya. Sekarang, adik saya anaknya sudah hampir dua.

Kembali ke sepupu saya. Akhirnya setelah berhasil meyakinkan dia bahwa tidak akan ada acara langkah melangkah pada hari pernikahan adiknya kelak, telepon pun ditutup dengan janji ia akan segera pulang. Dan ia menepati janjinya. Sehari sebelum hari “H”, dia muncul, membuat semua orang menangis lega dan terharu.

“Aku iri sama Dian, “ tiba-tiba Bunga berkata memecah lamunan saya. Dian itu adik saya.
“Iri kenapa?” Saya bertanya.
“Ya, waktu Dian minta izin menikah Mbak dan keluarga tidak ada yang keberatan.”
“Apakah kakakmu keberatan?” Saya penasaran.
“Kakakku sebenarnya tidak apa-apa, tapi ayah ibu kami yang tidak merestui. Pamali, kata mereka.”

Nah itu dia! Akar persoalannya lagi-lagi soal kultur. Orang tua Bunga masih sangat meyakini kebenaran pamali dan mitos yang bersumber dari budaya tradisional. Pamali dan mitos-mitos itu seolah-olah sengaja diciptakan hanya bagi perempuan. Pamali ini itu tidak berlaku bagi golongan pria. Coba lihat saja, selalu hanya anak gadis yang serba diatur. Tidak boleh bersuara selagi makan, tidak pantas tertawa terbahak-bahak, tidak elok berdiri di depan pintu, tidak boleh makan pisang ambon, nanas, tunggir ayam, dan lain-lain.

Tak pernah ada pamali buat lelaki. Lelaki boleh menikah kapanpun dia siap dan sah-sah saja dilangkahi adik-adiknya. Tak ada pantangan buat lelaki dalam hal makan atau bersikap. Lelaki boleh melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dunia merestuinya.

Lalu bagaimana dengan Bunga? Entahlah, sampai hari ini saya tidak mendengar kabarnya lagi, tetapi yang jelas kelak bila saya punya anak saya akan bersikap adil pada anak-anak saya. Eh, tapi saya kan tidak mau menikah, ya? ***

Rabu, 23 April 2008

Kondom

Kira-kira sebulan silam saya mendapat sebuah sms dari seorang teman lama. Bunyinya begini: “Alhamdulillah, telah lahir dengan selamat putri kelima kami, Siti Zahra Saskia, pada tgl. 9 Maret 2008 jam 08.25 di rumah sakit Hermina Bekasi. Berat 2,8 kg, panjang 47 cm”. Reaksi pertama saya adalah terkejut. Bukan apa-apa, tetapi hari gini masih ada yang punya anak sampai 5? Oh…

Seminggu berikutnya saya sempatkan menengok mereka sekeluarga. Rumah mereka kebetulan tidak jauh dari rumah saya. Suami istri ini adalah teman-teman saya semasa di bangku SMP. Mereka sudah pacaran sejak di SMP dan menikah tak lama setelah tamat kuliah. Saya hadir di pernikahan mereka. Teman saya yang perempuan sebelum menikah sempat bekerja sebagai tenaga konsultan di sebuah sekolah Islam terpadu. Tetapi tak lama kemudian berhenti karena hamil. Dan sampai sekarang tidak pernah bekerja kembali.

“Repot, Ndah. Nggak sempat kerja deh. Ngurus suami dan anak-anak aja sudah cape,” katanya pada sebuah kesempatan saya bertandang ke rumahnya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu anaknya baru tiga orang. Perempuan semua. Cantik-cantik seperti ibu dan ayahnya.

Sekarang anaknya lima orang. Yang sulung berumur 12 tahun. Saat bertemu itu, teman saya kelihatan lemah sekali. Tidak seperti lazimnya perempuan yang habis melahirkan, ia tampak kurus dan pucat. Rumahnya berantakan. Mainan anak-anak berserakan di setiap penjuru rumah. Bau pesing ompol dan susu memenuhi udara di kamar tidur dan ruang tengah. Di ruang tengah itu terhampar selembar kasur di depan sebuah pesawat televisi 21 inci. Pakaian kotor menggunung di salah satu pojoknya. Jemuran pakaian bayi dan handuk-handuk bergelantungan di kamar belakang yang bersatu dengan dapur.

Dapurnya tak kalah berantakan. Piring dan gelas kotor menumpuk di bak cuci piring, meruapkan aroma makanan basi. Lantai dapurnya terasa lengket di kaki saya. Barangkali sudah berhari-hari tidak tersentuh kain pel. Singkatnya, rumah itu kacau-balau seperti kapal pecah.

“Sorry berantakan, Ndah. Pembantuku lagi pulang kampung, ibunya sakit,” kata teman saya, kita sebut saja namanya Sari, meminta maaf atas ketidaknyamanan rumahnya. Saya cuma tersenyum maklum. Ya, pasti repot sekali mengurus rumah tangga dengan lima orang anak kecil.

“Sari, memang kamu tidak KB, ya?” akhirnya tercetus juga pertanyaan yang memang sudah saya siapkan dari rumah. Kami mengobrol di ruang tengah sambil Sari menyusui bayinya.

“Nggak. Nggak boleh sama suamiku,” sahutnya pelan.

“Atau suamimu yang pakai ..hm…kondom mungkin?” tanya saya lagi penasaran.

“Nggak juga. Mana mau dia pakai kondom,” jawab Sari dengan wajah sedikit memerah.

“Lah, berarti kamu masih mungkin melahirkan lagi dong,” kata saya. Tanpa sadar nadanya meninggi.

Sari cuma bisa nyengir kuda. “Ya gimana lagi? Aku kan mesti nurut suami”.

Saya hanya bisa garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Saya kasihan melihat kondisi Sari yang tampak kuyu dan jauh lebih tua dari usianya. Tak ada lagi Sari yang lincah dan suka tertawa terbahak-bahak. Sari yang ada di hadapan saya adalah seorang perempuan kurus, layu, dan acak-acakan dengan daster batik kusam. Sari seperti telah lupa caranya berdandan.

“Sebaiknya setelah ini kamu tidak melahirkan lagi, Sar,” saya mulai usil menggurui. Tahu apa saya soal anak dan melahirkan? Keusilan saya semata-mata didorong oleh keprihatinan menyaksikan kondisi Sari.

“Suamiku sih janji, kalau sudah dapat anak lelaki baru berhenti,” kata Sari sambil menepuk-nepuk bayinya.

“Laki perempuan kan sama saja, Sar,” lagi-lagi saya kembali sok tahu.
“Kamu kan tahu gimana orang Batak terhadap anak lelaki,” sahut Sari.

Mendengar jawaban Sari saya jadi merenung. Apakah Sari benar-benar tak kuasa menolak keinginan suaminya untuk terus melahirkan dan baru berhenti jika sudah dapat anak lelaki? Aku tidak tahu apakah Sari terpaksa atau tidak menuruti semua kehendak suaminya itu. Padahal sebagai pemilik rahim, Sari sangat berhak untuk menentukan kehamilannya terutama demi pertimbangan kesehatannya (hak reproduksi).

Dalam hal kesehatan reproduksi, yakni suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi (definisi ini diluncurkan pertama kali 1994 pada konferensi internasional yang membahas populasi penduduk dunia dan pembangunan di Kairo, Mesir),perempuan diakui memiliki 4 macam hak dasar, yaitu:
Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual.
Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan;
Hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya;
Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.

Keempat hak dasar reproduksi tersebut disepakati dan dicetuskan di Beijing tahun 1995 pada Konferensi Dunia tentang Perempuan IV.

Dari keempat hak-hak itu termasuk di dalamnya hak untuk memilih alat kontrasepsi. Sayangnya, alat kontrasepsi yang tersedia sekarang lebih banyak ditujukan untuk perempuan. Padahal sudah cukup banyak “tugas” perempuan dalam urusan reproduksi: hamil, melahirkan, menyusui. Masa sih untuk soal kontrasepsi masih juga harus perempuan yang menjalani? Mestinya bagian ini menjadi porsi suami (lelaki).

Tentu saya belum pernah mengalami sendiri menggunakan alat kontrasepsi, namun dari pengalaman beberapa teman wanita saya mendapatkan cerita yang kurang sedap. Alat-alat pengatur kehamilan itu beberapa banyak yang berefek samping tidak menyenangkan, seperti kegemukan, flek-flek di wajah, nyeri saat berhubungan seks, sakit dan tidak lancer ketika menstruasi, pusing-pusing, hingga perdarahan.

Bukan bermaksud mendukung Julia Perez yang menghadiahkan kondom bagi setiap pembelian CD album lagu-lagu dangdutnya–walaupun saya setuju dengan niatnya mengampanyekan kondom sebagai pencegah bahaya HIV/AiDs–agaknya kondom bisa jadi alternatif cara ber-KB yang aman dan tanpa efek samping. Kondom relatif aman sebab benda tersebut digunakan di luar, tidak mesti diselundupkan ke dalam tubuh seperti halnya alat-alat kontrasepsi untuk perempuan (spiral, pil, suntik, dll).

Saat saya pamitan pulang, saya peluk Sari tanpa kata-kata. Saya cium kedua belah pipinya yang layu sambil dalam hati berdoa agar sahabat saya ini selalu dikaruniai kesehatan (dan semoga suaminya mau pakai kondom).***

Rabu, 16 April 2008

ROBOHNYA SURAU KAMI


Jam lima sore di Ciawi. Di dalam bus patas AC Maya Raya jurusan Cianjur-Bekasi, saya tak kuasa menahan kantuk. Duduk di bawah embusan hawa sejuk dari pendingin ruangan di tengah udara petang yang gerah, tak terasa mata saya memejam. Perjalanan Ciawi-Uki sering saya gunakan sebagai waktu istirahat saya. Istirahat colongan. Lumayan. Selama 40 menit, kalau beruntung saya bisa tidur.

Beruntung artinya tidak ada gangguan. Gangguan itu bisa berupa pesawat tv dengan volume yang dikeraskan atau yang paling sering adalah pengamen. Saya tidak pernah bisa menyukai pengamen. Maaf, mungkin pernyataan saya ini terdengar sok ya. Namun, apa boleh buat karena demikianlah apa adanya yang saya rasakan. Kehadiran para pengamen itu selalu terasa mengganggu. Apalagi jika ngamennya keroyokan. Fiuhh….serasa dirampok kemerdekaan saya memperoleh kenyamanan dalam transportasi umum.

Untunglah, sepertinya sore itu tak ada pengamen. Tidur saya bakal pulas sampai terbangun nanti di halte UKI, Jakarta. Akan tetapi itu tidak lama. Tiba-tiba menggelegarlah sebuah suara bariton; memasuki gendang telinga saya.

“Selamat sore bapak ibu penumpang sekalian,” kata suara itu. Huh…gangguan deh, saya menggerutu dalam hati tanpa membuka mata. Paling-paling mau baca puisi. Mending kalau puisinya bagus. Biasanya sih puisi ciptaan sendiri yang tidak jelas apa maunya. Sudah sering saya menjumpai para pengamen puisi ini. Dulu pernah sekali saya bertemu pengamen puisi yang lumayan bagus. Puisinya maksud saya, bukan membacanya. Puisi yang dideklamasikannya adalah “Derai-derai Cemara.” karya Chairil Anwar. Lumayan, kan, untuk seorang pengamen jalanan?

“Sebentar lagi saya akan membacakan untuk Anda sekalian sebuah karya sastra yang cukup fenomenal,” si pengamen melanjutkan, “Bapak Ibu tahu, sastra adalah juga sebuah karya seni. Melalui karya-karya sastra kita bisa mengetahui banyak hal..”

Wah, apa ini? Secepat kilat mata saya terbuka; terjaga sepenuhnya. Siapa ini yang sok-sokan ceramah tentang sastra? Mata saya segera bertemu dengan asal suara. Pemiliknya tentu pengamen tadi. Dia ada di tengah-tengah bus, di gang antara kursi-kursi. Sosoknya menjulang tinggi. Barangkali di atas 170. Di kepalanya ada kupluk, topi rajutan dari benang wol, berwarna coklat tanah. Tubuhnya yang ramping dibungkus jaket parasut warna hijau tentara. Di dalamnya ia mengenakan kaus biru gelap. Celananya jins biru. Saya tak bisa melihat sepatunya karena sayu duduk di kursi deret kedua dari belaka. Ia tampak cerdas dengan kacamata John Lennon-nya. Duhai, saya jadi penasaran. Siapakah pengamen ini?

“Lewat karya sastra kita juga bisa menyampaikan kritik dan protes. Karya sastra juga menjadi semacam catatan sejarah, mewakili zamannya,” pengamen itu meneruskan pidato kesusatraannya. Kini saya terjaga sepenuhnya. Kantuk yang tadi menggelayuti mata, kabur entah ke mana. Sementara ia berkhotbah, saya sibuk menebak-nebak siapa gerangan pengamen sastra ini? Bisa jadi ia seorang mahasiswa sastra yang belum memperoleh pekerjaan dan untuk mengisi waktu ia mengamen. Atau bisa juga ia memang seorang “sastrawan”. Maksud saya, seorang yang menggemari sastra dan mengamen hanya untuk iseng-iseng saja, menyalurkan hobinya. Kemungkinan berikutnya, ia seorang seniman miskin yang tidak terkenal dan sedang tidak punya job. Untuk sementara ia mengamen demi menyambung hidupnya. Tapi kira-kira apa yang akan ditampilkannya? Tepatnya, puisi apa yang akan dibacakannya.

“Nah, para penumpang yang terhormat, kali ini saya akan membacakan sebuah cerpen. Cerpen yang sangat terkenal. Cerpen yang meski ditulis berpuluh tahun lalu, tepatnya 1955, tetapi temanya masih tetap relevan dengan keadaan zaman sekarang”. Oh…dia hendak membaca cerpen. Wah, ini sesuatu yang baru, saya membatin. Cerpen apa ya?

“Cerpen yang akan saya bacakan adalah karya fenomenal Ali Akbar Navis, Robohnya Surau Kami”. Saya tertegun. Dia bahkan menyebut dengan tepat nama lengkap sastrawan Minang itu. A.A. Navis. Ya, dia membaca karya terbaik A.A. Navis itu.

Maka tampillah ia layaknya seorang pembaca cerpen profesional, lengkap dengan gerak tubuh teaterikal, vokal yang diubah-ubah sesuai karakter cerita, intonasi yang baik, serta permainan mimik wajah. Alhasil, kisah Haji Saleh yang taat beribadah tetapi malah masuk neraka itu lumayan menarik dibawakannya.

Cerpennya sendiri memang sudah bagus. Cerita yang ditulis sastrawan kelahiran Padangpanjang, 17 November 1924 ini sangat kental warna lokal Minang dan nuansa keislamannya; menjungkirbalikkan logika umum keislaman tentang seorang haji penjaga langgar yang taat beribadah selama hidupnya justru dijebloskan ke neraka begitu ia meninggal. Ganjaran tersebut akibat ia melalaikan kewajiban duniawinya sebagai manusia; menelantarkan keluarganya untuk asyik masyuk bercinta dengan Tuhan di surau yang dijaganya sembari diam-diam mendamba surga sebagai imbalan ketaatannya.

Melalui cerpen ini Navis menyindir dengan tajam para ulama dan ahli ibadah yang hanya sibuk mementingkan kesalehan ritual ketimbang kesalehan sosial. Padahal mestinya keduanya berjalan seiring dan seimbang. Navis ingin menyampaikan bahwa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga adalah juga ibadah.
“Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh ,tidak membanting tulang, sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal, kemudianbaru beribadat. Tetapi kau membaliknya. Seolah-olah Aku ini kau anggap sukapujian, mabuk disembah saja…. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, malaikathalaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.” Demikian salah satu dialog Tuhan dengan para ulama saleh di akhirat dalam cerpen tersebut.

Lalu bagaimana dengan pengamen kita? Sayang saya tak sempat berbincang dengannya. Setelah usai pertunjukannya, ia duduk di kursi paling belakang. Padahal saya sangat ingin mengorek keterangan darinya tentang pilihannya mengamen cerpen. Kalau saja saat itu Pak Navis masih hidup dan saya memiliki nomor HP-nya, pasti saya sudah meng-sms beliau ihwal peristiwa menarik ini. Sayangnya, sastrawan itu telah tiada. Ia wafat pada 22 Maret 2003 dalam usia 79 tahun.

Sesampainya di halte UKI saya melihat si pengamen cerpen itu ikut turun. Diam-diam saya berharap suatu hari bisa bersua kembali dengannya. Mungkin saja nanti saya bisa request “Orang-Orang Bloomington” atau “Ripin” untuk dibacakannya.***

PANGGIL IA KARTINI SAJA


Ya benar sekali! Judul di atas terinspirasi buku karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Tepatnya, Panggil Aku Kartini Saja. Sepotong kalimat yang dipetik dari surat Kartini untuk sahabat korespondensinya di Belanda, Estelle Zeehandelaar atau yang akrab disebutnya Stella. Kalimat yang menunjukkan jiwa egalitarian Kartini, keluar dari kungkungan nilai-nilai budaya Jawa feodal. Satu sikap yang sungguh luar biasa di zaman itu, lebih dari seratus tahun yang lalu, bagi seorang perempuan ningrat bergelar Raden Ajeng.

Buku ini merupakan telaah psikologis Kartini melalui surat-suratnya. Lantaran sekarang ini April, bulan yang di Indonesia sering dimaknai sebagai “bulan perempuan”, agaknya masih relevan mengingat kembali pemikiran-pemikiran serta cita-cita Kartini yang tertuang dalam surat-surat tersebut.

Sejarah kelahiran Kartini nyaris bersamaan dengan berakhirnya politik Tanam Paksa di Hindia Belanda, termasuk Jepara. Menjelang dihapuskannya Tanam Paksa, seorang Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara, bersua dengan seorang gadis desa dari kalangan rakyat jelata. Gadis itu bernama Ngasirah, anak dari Modirono, seorang buruh pabrik gula Mayong. Sang Asisten Wedana jatuh cinta pada si gadis walaupun saat itu ia telah berbini dan beranak empat. Ngasirah, tanpa kuasa menolak, lalu dijadikan selir. Asisten Wedana ini adalah R.M. Adipati Sosroningrat yang kelak menjadi bupati Jepara dan ayahanda R.A. Kartini. Dalam catatan sejarah, nama Ngasirah nyaris tidak pernah disebut. Mungkin karena statusnya sebagai istri kedua dan asal-usulnya yang hanya rakyat jelata.

Sebagai peranakan berdarah separuh rakyat jelata dan separuh bangsawan, Kartini bukan tergolong wanita berparas cantik. Ini bisa dilihat dari foto-foto peninggalannya. Oleh Pram dideskripsikan sebagai berikut: Mula-mula orang akan terkesan pada wajahnya yang bundar–wajah kakeknya. Kemudian matanya, yang juga tidak terlalu dalam terpasang pada rongganya, bahkan boleh dikata agak keluar. Bentuk muka dan mata ini adalah warisan kakeknya, dan terutama mata itu, tidak meninggalkan ciri kebangsawanan Pribumi. Tetapi kalau orang sampai pada hidungnya, sekaligus orang telah bisa mendapat gambaran lain. Hidung itu tidak biasa ada pada golongan bangsawan, tapi lebih umum pada rakyat jelata. Baik kemancungannya, ketinggiannya, maupun ketipisannya bukan lagi hidung Tjondronegoro ataupun Sosroningrat. Itulah hidung warisan seseorang yang gambarnya tidak pernah diterbitkan orang sampai dewasa ini, hidung ibu kandung Kartini, seorang wanita yang berasal dari rakyat jelata (hlm.28)

Nama Kartini diduga diberikan oleh ibu kandungnya. Sesuai adat Jawa tradisional, ayah hanya memberi nama bagi anak-anak lelakinya saja. Tak ada nama ditinggalkan untuk anak perempuan. Namun, bukan berarti anak perempuan itu tidak dekat dengan ayahnya. Hubungan mereka berdua justru sangat dekat. Kartini sangat mencintai sekaligus menghormati ayahnya. Kartini adalah anak sang bapak. Tatkala ia tak mampu menolak perjodohannya di usia 24, itu pun karena tak ingin menyakiti hati Sosroningrat, kendati dalam hati yang paling dalam ia mengutuki nasibnya yang harus mengalami poligami, mengulang sejarah hidup Ngasirah.

Benar kiranya apa yang dikatakan oleh Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam sebuah wawancara dengan saya pekan lalu, bahwa persoalan perempuan Indonesia yang paling mendasar adalah kultur. Dan agaknya itu telah berlangsung sejak dulu. Kultur yang di dalamnya termasuk adat, tradisi, dan agama telah mengekalkan penindasan terhadap perempuan. Umpamanya soal “kawin paksa” dan permaduan (poligami) yang harus dijalani Kartini, itu pun berangkat dari kultur Jawa tradisional yang telah ada jauh sebelum masuknya Islam.

Poligami merupakan salah satu mata rantai penderitaan kaum perempuan, dari dulu hingga kini. Di lingkungannya Kartini saban hari menyaksikan praktik-praktik permaduan yang dilakukan oleh ayah dan suaminya sendiri. Ketidakberdayaan Kartini menolak nasib yang disodorkan kepadanya kerap dianggap oleh para sahabat penanya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan perjuangannya sendiri. Mereka tidak paham, situasinya saat itu sangat sulit bagi Kartini untuk melawan.

Satu-satunya perlawanan yang masih sanggup ia berikan adalah dengan menulis surat dan menerbangkannya keluar, jauh melintasi dinding-dinding tebal yang mengungkungnya, menemui para sahabat sepikiran di Eropa untuk kemudian menggema ke seluruh dunia. Kepada para sahabatnya, wanita yang tak berumur panjang ini mengemukakan gagasan-gagasannya, mengabarkan kegalauan hatinya, keprihatinannya, bukan saja perihal nasib dirinya semata tetapi juga bangsanya, terutama kaum perempuan. Tembok-tembok tinggi rumah besar Bupati Sosroningrat tak mampu menahan kebebasan berpikir Kartini.

Pada umur 12 tahun, Kartini kecil harus masuk pingitan. Lagi-lagi karena mematuhi adat yang berlaku bagi gadis-gadis bangsawan. Kartini mesti melupakan hasratnya untuk terus bersekolah, baik ke Batavia dan apalagi ke Nederland. Namun, semangat belajarnya yang berkobar-kobar terus mencari jalan keluar. Kelak, Kartini menemukan jalan itu lewat surat-menyurat dengan para sahabatnya yang lalu mengiriminya buku-buku, majalah, dan berbagai jurnal. Tak pelak lagi semua itu menambah kesadaran Kartini, membukakan mata hati serta benak mungilnya dalam melihat dunia dan sekitarnya. Semua pengetahuan yang direguknya dengan kerakusan seorang musafir yang dahaga menanamkan sebentuk keberanian dalam jiwanya untuk berbicara kepada dunia luar tentang bangsanya.

Sungguh mengagumkan. Seorang perempuan Jawa, masih sangat belia, hanya keluaran sekolah rendah, memiliki keberanian, pengetahuan, serta pikiran yang maju jauh melampaui zamannya. Ironis rasanya jika setiap peringatan mengenang kebesarannya, memuliakannya hanya dimaknai dengan lomba kebaya , konde, dan masak-memasak.

Seratus tahun lebih sudah berlalu sejak wafatnya Kartini, sang inspirator. Kaum perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan. Bisa sekolah tinggi, bekerja, dan berorganisasi. Namun, bukan berarti masalah perempuan telah selesai. Faktanya, hingga hari ini masih banyak terjadi tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Masih banyak TKW yang dianiaya, praktik trafficking masih terus berlangsung, angka kematian ibu karena melahirkan masih tinggi, upah buruh perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki; perkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi kasus lainnya. Tentu kita tidak akan cuma duduk berdiam diri menanti Kartini bangkit kembali dari kuburnya untuk menyelesaikan ini semua, bukan?***

KERUDUNG


Pada suatu sore hari sehabis mandi. Saya mematut diri di cermin di ruang tengah; menyisir rambut saya yang lurus kaku bak ijuk. Rambut saya yang beberapa tahun lalu masih hitam seluruhnya, kini mulai menyembulkan warna perak di tempat-tempat tertentu. Salah duanya di bagian poni serta pelipis. “Duh, uban sudah banyak, nih!” saya bergumam sembari lebih mendekat ke permukaan cermin agar bisa melihat lebih jelas “bunga-bunga jambu” di kepala saya. “Apa perlu dicat ya supaya tidak kelihatan?” kata saya lagi. Saya tidak bicara sendiri sebetulnya, sebab ada ibu saya sedang asyik nonton acara gosip di televisi.

“Uban kok dicat. Mendingan pakai kerudung,” tiba-tiba ibu saya menyahut, “Sudah tua, nggak usah macam-macam. Insyaf donk,” sambungnya lagi. Saya cuma bisa nyengir, senang bisa menggoda beliau. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh ingin mengecat rambut saya. Tetapi saya juga belum siap berkerudung.

Ingat kerudung saya jadi ingat peristiwa beberapa hari lalu ketika saya sedang setengah berlari mengejar metro mini di pagi hari. Sampai di tempat saya biasa menunggu metro mini, saya bertemu dengan seorang tetangga kompleks. Saya nyaris tidak mengenalinya. Bukan lantaran kami sudah lama tidak berjumpa tetapi karena hari itu ia tidak berkerudung seperti yang selama ini saya kenal. Baiklah kita sebut saja ia dengan nama Intan.

“Intan?” tanya saya ragu-ragu. “Iya, Mbak,” sahutnya pelan dengan wajah sedikit tersipu. “Kemana kerudungmu?” dengan penasaran saya bertanya lagi. Belum sempat ia menjawab, metro mini yang saya tunggu datang. Oh..tetapi untunglah, ternyata Intan juga naik metro mini yang sama. Kami duduk berdampingan dan obrolan pun berlanjut.

“Kemana kerudungmu?” saya mengulang pertanyaan yang belum sempat terjawab tadi. Intan membenahi posisi duduknya sebelum kemudian bercerita.

Intan, ibu muda dari dua orang anak ini, terpaksa melepas kerudungnya karena peraturan di tempat kerjanya tak membolehkan para karyawannya berkerudung. Intan yang belum pernah bekerja seumur hidupnya–ia langsung menikah begitu kuliahnya selesai–tak punya pilihan lain: ikut peraturan atau keluar. Pekerjaan ini pun diperoleh berkat bantuan kenalan ibunya. Intan terpaksa bekerja karena sang suami kena PHK tujuh bulan yang lalu dan hingga kini belum juga beroleh pekerjaan baru. Sementara hidup mereka harus terus berjalan. Anak-anak mereka perlu susu, perlu makan, perlu pakaian. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Intan harus mengambil keputusan. Dan ia, dengan izin suami, memilih bekerja demi kelangsungan hidup mereka.

Nasib yang mirip dengan Intan juga menimpa Ria yang juga tetangga saya. Ria yang tamatan SMA ini juga seorang ibu muda dengan bayi lelaki berumur tujuh bulan. Ria menikah karena “kecelakaan”. Suaminya mahasiswa semester tujuh. Perkawinan itu berlangsung tanpa restu orang tua si suami yang tinggal jauh di Ternate. Setelah menikah, Ria dan suaminya tinggal di rumah orang tua Ria yang hidup pas-pasan. Ayah Ria seorang sopir taksi dan ibunya membantu dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tetangga. Dua orang adik Ria masih sangat memerlukan biaya sekolah. Kini dengan bertambahnya dua orang di rumah itu, bertambah pula dua mulut yang harus dihidupi. Sebagai anak sulung, Ria merasa malu jika terus menjadi parasit bagi orang tuanya. Dia tak terlalu berharap pada mahasiswa yang menjadi suaminya itu.

Lalu berkat pertolongan seorang sepupunya, Ria akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan. Itu berarti ia harus melepas busana panjang dan kerudung yang selama ini menjadi pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan seragam : rok selutut dan atasan lengan pendek. Lagi-lagi, Ria tak punya banyak pilihan. Mencari pekerjaan hari ini bagi seorang perempua lulusan SMA tentu bukan perkara mudah.

Lain lagi yang dialami Gita, tetangga saya juga. Gadis manis berambut sebahu ini sudah hampir satu tahun ini mengajar di sebuah SD Islam. Sekolah tempatnya mengajar mewajibkannya mengenakan kerudung. Gita yang sebenarnya lebih suka membiarkan rambutnya yang indah “telanjang”, mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang berlaku di tempat kerjanya. Ia pun mengenakan kerudung, meski hanya selama mengajar saja.

Mungkin kasus Gita sedikit lebih mudah dibanding dua yang pertama. Yang saya heran kok masih ada ya pelarangan memakai kerudung di era kebebasan ini? Jika itu terjadi dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, masih bisa dimengerti. Maksud saya, waktu itu rezim yang berkuasa (baca: Orde Baru) memang sangat alergi dengan segala atribut yang berbau Islam. Hubungan penguasa (umara) dengan Islam (ulama) tidak semesra sekarang. Islam masih dianggap sebagai ancaman besar yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan pemerintahan yang sah.

Sekejap ingatan saya melayang pada masa SMA dua puluh tahun lewat. Kala itu saya kelas I (1987/88). Terjadi satu peristiwa seorang teman baik saya dikeluarkan dari sekolah karena memilih tetap memakai kerudung. Pihak sekolah memberi pilihan: tetap sekolah di situ tetapi kerudung dilepas atau tetap memakai kerudung namun harus angkat kaki. Teman saya yang hebat itu–menurut saya dia hebat–memilih yang kedua: keluar dari sekolah kami dan pindah ke sebuah SMA Islam. Sekarang ia telah menikah dan sukses memimpin sebuah majalah keluarga.

Kembali kepada larangan berkerudung. Menurut saya sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sosial politik mutakhir tatkala kebebasan di segala bidang tengah merayakan kemenangannya di negeri ini setelah “terpenjara” puluhan tahun. Demikian juga sebaliknya, jangan sampai ada pemaksaan mengenakan kerudung (atau busana lainnya) demi kepentingan pihak-pihak tertentu. ***