Selasa, 29 April 2008

Jodoh


Siapa yang bisa mengetahui dengan pasti tibanya jodoh? Konon, ia datang seperti ajal, bisa melalui proses yang panjang–lewat sakit, luka, dan jatuh bangun–atau secara tiba-tiba dan tak terduga. Hari ini berkenalan dan jatuh cinta, seminggu kemudian menikah. Atau berabad-abad menjalin kasih, ternyata tidak jadi menikah.

Beberapa waktu lalu datang seorang teman adik saya, perempuan muda berusia 32 tahun. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan adikku, tetapi petang itu adikku telat pulang sehingga aku yang menemaninya mengobrol. Mari kita namai ia Bunga.

Pada saya Bunga berbagi semacam kesedihan. Ayah ibunya hendak menangguhkan pernikahannya karena kakak perempuan Bunga belum menikah. Menurut adat dan kepercayaan yang diyakini keluarganya, Bunga tidak boleh melangkahi kakaknya itu. Pamali, kata ibunya, kasihan kakakmu nanti jadi susah jodohnya.

“Memang kakakmu umur berapa?” tanya saya mulai iseng.
“Tiga puluh lima,” sahut Bunga.
“Apakah ia memang berencana menikah?” lanjut saya.
“Nah itu dia, Mbak, kakakku masih jomblo.

Hm, saya jadi ingat tiga tahun silam. Sepupu saya, perempuan, juga mengalami kasus yang hampir serupa. Bedanya, ia yang dilangkah adik perempuannya. Seminggu menjelang hari perkawinan adiknya itu, ia minggat dari rumah. Menghilang. Membuat panik seluruh keluarga. Di kantor, ia pamit cuti selama satu pekan. Semua temannya tak ada yang bisa memberikan informasi ihwal keberadaannya.

Namun, untunglah. Sebelum jadi menyewa jasa detektif swasta untuk melacak jejaknya, pada hari ketiga kepergiannya, ia menelepon saya. Dia baik-baik saja dan selama ini tinggal nyaman di sebuah kamar hotel.

“Mengapa kabur?” tanya saya.
“Tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa takut sekali menghadapi hari itu,” jawabnya dengan suara sedih.
“Apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah merestui adikmu menikah?”
“Ya, aku tidak keberatan dia menikah duluan. Tetapi aku tidak sanggup membayangkan pada hari pernikahan nanti semua hadirin akan menatapku dengan pandangan iba karena aku dilangkah.”

Oh, sampai sebegitunya ternyata yang dirasakan sepupu saya yang waktu itu berusia 37 tahun. Sama seperti kakaknya Bunga, sepupu saya ini juga belum punya kekasih. Entah apa alasan sebenarnya, tetapi yang kelihatan oleh saya ia begitu sibuk mengurusi keluarganya. Sejak ayah mereka meninggal, sebagai sulung dialah yang mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Semua biaya kuliah adiknya yang 3 orang menjadi tanggungannya. Mungkin itulah sebabnya hingga kini ia masih melajang.

“Jangan pikirkan orang lain deh,” kata saya berusaha menenangkannya, “Pikirkan saja adik dan ibumu. Mereka sedih banget tuh kamu kabur.”
“Ya nanti kalau sudah tenang aku pasti pulang,” jawabnya, “Justru aku juga sedih memikirkan ibu nanti yang malu punya anak perawan tua kayak aku.”

Ucapannya itu membuat saya terdiam karena jadi teringat diri saya sendiri. Tiga kali saya dilangkah. Saya tidak pernah merasa keberatan dengan pernikahan adik-adik saya. Tidak ada hak saya melarang atau meminta mereka menunda pernikahan. Apa lagi saya memang sudah berniat being jomblo forever. Jika pun tidak, bagi saya hal tersebut tidak jadi masalah. Yang lahir duluan tidak mesti menikah duluan. Sungguh akan sangat tidak adil bagi adik-adik saya jika saya sampai menghambat rencana mulia mereka demi alasan yang sama sekali tidak rasional.

“Aku juga tidak mau ada acara langkahan,” sepupu saya melanjutkan teleponnya.
Ritual langkahan ini biasanya berlangsung menjelang akad nikah. Sang adik yang jadi pengantin hari itu mesti memohon restu kepada kakaknya dengan menyerahkan sejumlah “upeti”. Lazimnya berupa seperangkat perhiasan (kalung, gelang, cincin, anting-anting, dll).

Saya pernah sangat “menderita” ihwal pelangkah ini. Waktu itu adik lelaki saya yang akan menikah. Sejak jauh-jauh bulan dia sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, seperti gedung, katering, perias pengantin, dan termasuk pelangkah untuk saya. Setiap ada kesempatan dia selalu bertanya pelangkah apa yang saya inginkan. Siang malam saya dikejar-kejar terus. Tadinya saya tak mau ambil pusing dengan segala tetek bengek itu. Tidak penting. Lagian, dari pada untuk beli pelangkah demi pamali itu, mendingan uangnya untuk hal lain yang lebih berguna.

Karena setiap hari terus diuber-uber, akhirnya saya mengalah. Baiklah, kata saya, tetapi saya tidak mau segala rupa perhiasan itu. Saya ingin satu set ensiklopedi Islam. Biar tahu rasa anak itu, batin saya sambil nyengir jahil. Saya pikir dengan minta pelangkah seharga 2,5 juta itu, adik saya akan menyerah dan berhenti memburu-buru saya. Ini sih sekadar akal-akalan saya saja.

Namun, keesokan paginya saya terkejut. Di atas meja tamu tergeletak beberapa lembar brosur ensiklopedi Islam yang saya inginkan itu. Saya jadi tersentuh. Tiba-tiba saya merasa telah berlaku kejam terhadap adik saya. Mendadak saya ingin menangis. Ternyata adik saya menanggapi serius gurauan itu. Tentu saja saya tidak sungguh-sungguh meskipun saya sangat ingin memiliki ensiklopedi tersebut.

Maka, siang harinya saya sms adik saya. Saya katakan, bahwa dia tak perlu membelikan ensiklopedi mahal itu. Kalau memang tetap harus ada pelangkah sebagai syarat yang diwajibkan adat, dia boleh membelikan saya apa saja. Saya akan menerimanya. Dan seminggu menjelang pernikahannya, saya mendapatkan pelangkah keramat itu : Novel Senopati Pamungkas jilid 1 dan 2 yang segede-gede bantal. Wah, kalau ini sih saya tak sanggup menolaknya. Sekarang, adik saya anaknya sudah hampir dua.

Kembali ke sepupu saya. Akhirnya setelah berhasil meyakinkan dia bahwa tidak akan ada acara langkah melangkah pada hari pernikahan adiknya kelak, telepon pun ditutup dengan janji ia akan segera pulang. Dan ia menepati janjinya. Sehari sebelum hari “H”, dia muncul, membuat semua orang menangis lega dan terharu.

“Aku iri sama Dian, “ tiba-tiba Bunga berkata memecah lamunan saya. Dian itu adik saya.
“Iri kenapa?” Saya bertanya.
“Ya, waktu Dian minta izin menikah Mbak dan keluarga tidak ada yang keberatan.”
“Apakah kakakmu keberatan?” Saya penasaran.
“Kakakku sebenarnya tidak apa-apa, tapi ayah ibu kami yang tidak merestui. Pamali, kata mereka.”

Nah itu dia! Akar persoalannya lagi-lagi soal kultur. Orang tua Bunga masih sangat meyakini kebenaran pamali dan mitos yang bersumber dari budaya tradisional. Pamali dan mitos-mitos itu seolah-olah sengaja diciptakan hanya bagi perempuan. Pamali ini itu tidak berlaku bagi golongan pria. Coba lihat saja, selalu hanya anak gadis yang serba diatur. Tidak boleh bersuara selagi makan, tidak pantas tertawa terbahak-bahak, tidak elok berdiri di depan pintu, tidak boleh makan pisang ambon, nanas, tunggir ayam, dan lain-lain.

Tak pernah ada pamali buat lelaki. Lelaki boleh menikah kapanpun dia siap dan sah-sah saja dilangkahi adik-adiknya. Tak ada pantangan buat lelaki dalam hal makan atau bersikap. Lelaki boleh melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dunia merestuinya.

Lalu bagaimana dengan Bunga? Entahlah, sampai hari ini saya tidak mendengar kabarnya lagi, tetapi yang jelas kelak bila saya punya anak saya akan bersikap adil pada anak-anak saya. Eh, tapi saya kan tidak mau menikah, ya? ***

2 komentar:

eri_sakura mengatakan...

Bukan secara kebetulan saya menemukan blogger ini, tapi memang saya cari. Saya sekarang juga mengalami hal yg sama. dibilang ikhlas ya ikhlas tapi banyak suara tentang "susah jodoh" yg kadang membuat nyali dan pikiran saya jadi ciut.

Thanks ya mba atas masukannya itu saya sedikit tenang, tapi ada 1 hal yang mengganjal mba. Kenapa mba ga mau menikah, padahal saya pernah baca (maaf saya lupa dimana) bahwa seburuk2nya orang yang meninggal adalah orang yg meninggal dalam keadaan masih belum berkeluarga (maaf lagi kalo saya salah).

Saya juga belum tahu si kedepannya diri saya seperti apa, tapi yang penting keyakinan dan yg menjadi pegangan saya sekarang untuk tetap tegar adalah bahwa Allah pasti sudah menentukan jodoh untuk setiap hamba2nya. Semoga Allah merahmati, melancarkan segala urusan dan memberikan yang terbaik bagi semua baik perempuan maupun laki2 yang mendapati kejadian yang seperti ini.

Amiinn ya Rabb...


Salam

Unknown mengatakan...

selama kita tidak mempercayai mitos kita tidak akan terpengaruh dengan mitos itu
tapi sebalik nya kalo kita percaya mitos itu kita akan terus hidup di mitos itu sendiri