Rabu, 23 April 2008

Kondom

Kira-kira sebulan silam saya mendapat sebuah sms dari seorang teman lama. Bunyinya begini: “Alhamdulillah, telah lahir dengan selamat putri kelima kami, Siti Zahra Saskia, pada tgl. 9 Maret 2008 jam 08.25 di rumah sakit Hermina Bekasi. Berat 2,8 kg, panjang 47 cm”. Reaksi pertama saya adalah terkejut. Bukan apa-apa, tetapi hari gini masih ada yang punya anak sampai 5? Oh…

Seminggu berikutnya saya sempatkan menengok mereka sekeluarga. Rumah mereka kebetulan tidak jauh dari rumah saya. Suami istri ini adalah teman-teman saya semasa di bangku SMP. Mereka sudah pacaran sejak di SMP dan menikah tak lama setelah tamat kuliah. Saya hadir di pernikahan mereka. Teman saya yang perempuan sebelum menikah sempat bekerja sebagai tenaga konsultan di sebuah sekolah Islam terpadu. Tetapi tak lama kemudian berhenti karena hamil. Dan sampai sekarang tidak pernah bekerja kembali.

“Repot, Ndah. Nggak sempat kerja deh. Ngurus suami dan anak-anak aja sudah cape,” katanya pada sebuah kesempatan saya bertandang ke rumahnya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu anaknya baru tiga orang. Perempuan semua. Cantik-cantik seperti ibu dan ayahnya.

Sekarang anaknya lima orang. Yang sulung berumur 12 tahun. Saat bertemu itu, teman saya kelihatan lemah sekali. Tidak seperti lazimnya perempuan yang habis melahirkan, ia tampak kurus dan pucat. Rumahnya berantakan. Mainan anak-anak berserakan di setiap penjuru rumah. Bau pesing ompol dan susu memenuhi udara di kamar tidur dan ruang tengah. Di ruang tengah itu terhampar selembar kasur di depan sebuah pesawat televisi 21 inci. Pakaian kotor menggunung di salah satu pojoknya. Jemuran pakaian bayi dan handuk-handuk bergelantungan di kamar belakang yang bersatu dengan dapur.

Dapurnya tak kalah berantakan. Piring dan gelas kotor menumpuk di bak cuci piring, meruapkan aroma makanan basi. Lantai dapurnya terasa lengket di kaki saya. Barangkali sudah berhari-hari tidak tersentuh kain pel. Singkatnya, rumah itu kacau-balau seperti kapal pecah.

“Sorry berantakan, Ndah. Pembantuku lagi pulang kampung, ibunya sakit,” kata teman saya, kita sebut saja namanya Sari, meminta maaf atas ketidaknyamanan rumahnya. Saya cuma tersenyum maklum. Ya, pasti repot sekali mengurus rumah tangga dengan lima orang anak kecil.

“Sari, memang kamu tidak KB, ya?” akhirnya tercetus juga pertanyaan yang memang sudah saya siapkan dari rumah. Kami mengobrol di ruang tengah sambil Sari menyusui bayinya.

“Nggak. Nggak boleh sama suamiku,” sahutnya pelan.

“Atau suamimu yang pakai ..hm…kondom mungkin?” tanya saya lagi penasaran.

“Nggak juga. Mana mau dia pakai kondom,” jawab Sari dengan wajah sedikit memerah.

“Lah, berarti kamu masih mungkin melahirkan lagi dong,” kata saya. Tanpa sadar nadanya meninggi.

Sari cuma bisa nyengir kuda. “Ya gimana lagi? Aku kan mesti nurut suami”.

Saya hanya bisa garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Saya kasihan melihat kondisi Sari yang tampak kuyu dan jauh lebih tua dari usianya. Tak ada lagi Sari yang lincah dan suka tertawa terbahak-bahak. Sari yang ada di hadapan saya adalah seorang perempuan kurus, layu, dan acak-acakan dengan daster batik kusam. Sari seperti telah lupa caranya berdandan.

“Sebaiknya setelah ini kamu tidak melahirkan lagi, Sar,” saya mulai usil menggurui. Tahu apa saya soal anak dan melahirkan? Keusilan saya semata-mata didorong oleh keprihatinan menyaksikan kondisi Sari.

“Suamiku sih janji, kalau sudah dapat anak lelaki baru berhenti,” kata Sari sambil menepuk-nepuk bayinya.

“Laki perempuan kan sama saja, Sar,” lagi-lagi saya kembali sok tahu.
“Kamu kan tahu gimana orang Batak terhadap anak lelaki,” sahut Sari.

Mendengar jawaban Sari saya jadi merenung. Apakah Sari benar-benar tak kuasa menolak keinginan suaminya untuk terus melahirkan dan baru berhenti jika sudah dapat anak lelaki? Aku tidak tahu apakah Sari terpaksa atau tidak menuruti semua kehendak suaminya itu. Padahal sebagai pemilik rahim, Sari sangat berhak untuk menentukan kehamilannya terutama demi pertimbangan kesehatannya (hak reproduksi).

Dalam hal kesehatan reproduksi, yakni suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi (definisi ini diluncurkan pertama kali 1994 pada konferensi internasional yang membahas populasi penduduk dunia dan pembangunan di Kairo, Mesir),perempuan diakui memiliki 4 macam hak dasar, yaitu:
Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual.
Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan;
Hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya;
Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.

Keempat hak dasar reproduksi tersebut disepakati dan dicetuskan di Beijing tahun 1995 pada Konferensi Dunia tentang Perempuan IV.

Dari keempat hak-hak itu termasuk di dalamnya hak untuk memilih alat kontrasepsi. Sayangnya, alat kontrasepsi yang tersedia sekarang lebih banyak ditujukan untuk perempuan. Padahal sudah cukup banyak “tugas” perempuan dalam urusan reproduksi: hamil, melahirkan, menyusui. Masa sih untuk soal kontrasepsi masih juga harus perempuan yang menjalani? Mestinya bagian ini menjadi porsi suami (lelaki).

Tentu saya belum pernah mengalami sendiri menggunakan alat kontrasepsi, namun dari pengalaman beberapa teman wanita saya mendapatkan cerita yang kurang sedap. Alat-alat pengatur kehamilan itu beberapa banyak yang berefek samping tidak menyenangkan, seperti kegemukan, flek-flek di wajah, nyeri saat berhubungan seks, sakit dan tidak lancer ketika menstruasi, pusing-pusing, hingga perdarahan.

Bukan bermaksud mendukung Julia Perez yang menghadiahkan kondom bagi setiap pembelian CD album lagu-lagu dangdutnya–walaupun saya setuju dengan niatnya mengampanyekan kondom sebagai pencegah bahaya HIV/AiDs–agaknya kondom bisa jadi alternatif cara ber-KB yang aman dan tanpa efek samping. Kondom relatif aman sebab benda tersebut digunakan di luar, tidak mesti diselundupkan ke dalam tubuh seperti halnya alat-alat kontrasepsi untuk perempuan (spiral, pil, suntik, dll).

Saat saya pamitan pulang, saya peluk Sari tanpa kata-kata. Saya cium kedua belah pipinya yang layu sambil dalam hati berdoa agar sahabat saya ini selalu dikaruniai kesehatan (dan semoga suaminya mau pakai kondom).***

Tidak ada komentar: