Rabu, 16 April 2008

PANGGIL IA KARTINI SAJA


Ya benar sekali! Judul di atas terinspirasi buku karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Tepatnya, Panggil Aku Kartini Saja. Sepotong kalimat yang dipetik dari surat Kartini untuk sahabat korespondensinya di Belanda, Estelle Zeehandelaar atau yang akrab disebutnya Stella. Kalimat yang menunjukkan jiwa egalitarian Kartini, keluar dari kungkungan nilai-nilai budaya Jawa feodal. Satu sikap yang sungguh luar biasa di zaman itu, lebih dari seratus tahun yang lalu, bagi seorang perempuan ningrat bergelar Raden Ajeng.

Buku ini merupakan telaah psikologis Kartini melalui surat-suratnya. Lantaran sekarang ini April, bulan yang di Indonesia sering dimaknai sebagai “bulan perempuan”, agaknya masih relevan mengingat kembali pemikiran-pemikiran serta cita-cita Kartini yang tertuang dalam surat-surat tersebut.

Sejarah kelahiran Kartini nyaris bersamaan dengan berakhirnya politik Tanam Paksa di Hindia Belanda, termasuk Jepara. Menjelang dihapuskannya Tanam Paksa, seorang Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara, bersua dengan seorang gadis desa dari kalangan rakyat jelata. Gadis itu bernama Ngasirah, anak dari Modirono, seorang buruh pabrik gula Mayong. Sang Asisten Wedana jatuh cinta pada si gadis walaupun saat itu ia telah berbini dan beranak empat. Ngasirah, tanpa kuasa menolak, lalu dijadikan selir. Asisten Wedana ini adalah R.M. Adipati Sosroningrat yang kelak menjadi bupati Jepara dan ayahanda R.A. Kartini. Dalam catatan sejarah, nama Ngasirah nyaris tidak pernah disebut. Mungkin karena statusnya sebagai istri kedua dan asal-usulnya yang hanya rakyat jelata.

Sebagai peranakan berdarah separuh rakyat jelata dan separuh bangsawan, Kartini bukan tergolong wanita berparas cantik. Ini bisa dilihat dari foto-foto peninggalannya. Oleh Pram dideskripsikan sebagai berikut: Mula-mula orang akan terkesan pada wajahnya yang bundar–wajah kakeknya. Kemudian matanya, yang juga tidak terlalu dalam terpasang pada rongganya, bahkan boleh dikata agak keluar. Bentuk muka dan mata ini adalah warisan kakeknya, dan terutama mata itu, tidak meninggalkan ciri kebangsawanan Pribumi. Tetapi kalau orang sampai pada hidungnya, sekaligus orang telah bisa mendapat gambaran lain. Hidung itu tidak biasa ada pada golongan bangsawan, tapi lebih umum pada rakyat jelata. Baik kemancungannya, ketinggiannya, maupun ketipisannya bukan lagi hidung Tjondronegoro ataupun Sosroningrat. Itulah hidung warisan seseorang yang gambarnya tidak pernah diterbitkan orang sampai dewasa ini, hidung ibu kandung Kartini, seorang wanita yang berasal dari rakyat jelata (hlm.28)

Nama Kartini diduga diberikan oleh ibu kandungnya. Sesuai adat Jawa tradisional, ayah hanya memberi nama bagi anak-anak lelakinya saja. Tak ada nama ditinggalkan untuk anak perempuan. Namun, bukan berarti anak perempuan itu tidak dekat dengan ayahnya. Hubungan mereka berdua justru sangat dekat. Kartini sangat mencintai sekaligus menghormati ayahnya. Kartini adalah anak sang bapak. Tatkala ia tak mampu menolak perjodohannya di usia 24, itu pun karena tak ingin menyakiti hati Sosroningrat, kendati dalam hati yang paling dalam ia mengutuki nasibnya yang harus mengalami poligami, mengulang sejarah hidup Ngasirah.

Benar kiranya apa yang dikatakan oleh Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam sebuah wawancara dengan saya pekan lalu, bahwa persoalan perempuan Indonesia yang paling mendasar adalah kultur. Dan agaknya itu telah berlangsung sejak dulu. Kultur yang di dalamnya termasuk adat, tradisi, dan agama telah mengekalkan penindasan terhadap perempuan. Umpamanya soal “kawin paksa” dan permaduan (poligami) yang harus dijalani Kartini, itu pun berangkat dari kultur Jawa tradisional yang telah ada jauh sebelum masuknya Islam.

Poligami merupakan salah satu mata rantai penderitaan kaum perempuan, dari dulu hingga kini. Di lingkungannya Kartini saban hari menyaksikan praktik-praktik permaduan yang dilakukan oleh ayah dan suaminya sendiri. Ketidakberdayaan Kartini menolak nasib yang disodorkan kepadanya kerap dianggap oleh para sahabat penanya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan perjuangannya sendiri. Mereka tidak paham, situasinya saat itu sangat sulit bagi Kartini untuk melawan.

Satu-satunya perlawanan yang masih sanggup ia berikan adalah dengan menulis surat dan menerbangkannya keluar, jauh melintasi dinding-dinding tebal yang mengungkungnya, menemui para sahabat sepikiran di Eropa untuk kemudian menggema ke seluruh dunia. Kepada para sahabatnya, wanita yang tak berumur panjang ini mengemukakan gagasan-gagasannya, mengabarkan kegalauan hatinya, keprihatinannya, bukan saja perihal nasib dirinya semata tetapi juga bangsanya, terutama kaum perempuan. Tembok-tembok tinggi rumah besar Bupati Sosroningrat tak mampu menahan kebebasan berpikir Kartini.

Pada umur 12 tahun, Kartini kecil harus masuk pingitan. Lagi-lagi karena mematuhi adat yang berlaku bagi gadis-gadis bangsawan. Kartini mesti melupakan hasratnya untuk terus bersekolah, baik ke Batavia dan apalagi ke Nederland. Namun, semangat belajarnya yang berkobar-kobar terus mencari jalan keluar. Kelak, Kartini menemukan jalan itu lewat surat-menyurat dengan para sahabatnya yang lalu mengiriminya buku-buku, majalah, dan berbagai jurnal. Tak pelak lagi semua itu menambah kesadaran Kartini, membukakan mata hati serta benak mungilnya dalam melihat dunia dan sekitarnya. Semua pengetahuan yang direguknya dengan kerakusan seorang musafir yang dahaga menanamkan sebentuk keberanian dalam jiwanya untuk berbicara kepada dunia luar tentang bangsanya.

Sungguh mengagumkan. Seorang perempuan Jawa, masih sangat belia, hanya keluaran sekolah rendah, memiliki keberanian, pengetahuan, serta pikiran yang maju jauh melampaui zamannya. Ironis rasanya jika setiap peringatan mengenang kebesarannya, memuliakannya hanya dimaknai dengan lomba kebaya , konde, dan masak-memasak.

Seratus tahun lebih sudah berlalu sejak wafatnya Kartini, sang inspirator. Kaum perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan. Bisa sekolah tinggi, bekerja, dan berorganisasi. Namun, bukan berarti masalah perempuan telah selesai. Faktanya, hingga hari ini masih banyak terjadi tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Masih banyak TKW yang dianiaya, praktik trafficking masih terus berlangsung, angka kematian ibu karena melahirkan masih tinggi, upah buruh perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki; perkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi kasus lainnya. Tentu kita tidak akan cuma duduk berdiam diri menanti Kartini bangkit kembali dari kuburnya untuk menyelesaikan ini semua, bukan?***

Tidak ada komentar: