Kamis, 08 Mei 2008

GURU


Seharusnya saya jadi guru kalau mau setia pada latar belakang studi saya yang jurusan Pendidikan Geografi IKIP Jakarta (sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta-UNJ). Atau jika hendak bersetia pada “profesi turunan” di keluarga besar saya. Kakek saya guru. Dua orang paman saya juga guru. Beberapa sepupu saya pun ikut-ikutan melanjutkan pekerjaan mengajar dan mendidik itu. Ya, mungkin ini berkait erat dengan persoalan darah.

Namun, ternyata saya memilih “berkhianat” dengan bekerja di bidang lain yang sama sekali jauh dari predikat pengajar. Apalagi pendidik sejati seperti kedua orang paman saya di Cirebon dan Majalengka.

Adik lelaki ayah saya yang di Cirebon, saya memanggilnya Mang Mamat, adalah pensiunan guru. Jabatan tertinggi yang dipegangnya sebelum pensiun adalah kepala sekolah SD Inpres di Cirebon. Sosoknya yang kurus ringkih benar-benar sesuai dengan sosok guru desa zaman dulu. Tubuhnya yang ceking kering itu setiap hari, enam hari dalam seminggu, dibalut seragam cokelat dekil plus sabuk kulit kusam melilit pinggangnya yang ramping. Di kepalanya yang krisis rambut nangkring sepucuk kopiah hitam kecokelatan yang bulu-bulu beludrunya sudah rontok, pertanda seharusnya sudah diganti. Dengan sepeda ontel tuanya, paman saya pergi mengajar. Tas hitam kulit (buaya) imitasi diikat erat di boncengan. Persis Umar Bakri, sosok guru rekaan Iwan Fals.

Sekali waktu saya pernah bermalam di rumah petak beliau, di belakang bangunan anggun keraton Kasepuhan Cirebon yang tembok pagarnya sudah mulai doyong. Pada saya paman bercerita, bahwa sebagian anak didiknya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, sehingga kerap menunggak bayaran sekolah sampai berbulan-bulan. Atau mereka membayarnya dengan hasil ternak dan hasil bumi, seperti: ayam, telur ayam, dan pisang. Serasa kembali ke zaman perundagian.

Jangan lagi bicara soal gaji dan tunjangan. Paman saya sering harus merogoh saku untuk pangadaan kapur tulis di sekolahnya. Zaman itu tentu belum ada dana BOS (biaya operasional sekolah) seperti sekarang yang oleh beberapa sekolah justru diselewengkan untuk kepentingan lain (misalnya satu sekolah di kawasan Jakarta Timur ada yang memakai dana BOS untuk memasang AC di ruang kepala sekolahnya). Paman saya tidak pernah sampai hati mengusir murid yang telat bayar SPP walaupun untuk itu ia akhirnya terpaksa harus “main akrobat”, memutar anggaran yang teramat minim dari pemerintah. Kini, ia tengah menikmati masa pensiunnya bersama anak, istri, serta dua orang cucu.

Hanya sepelemparan batu dari Cirebon, ada lagi seorang paman saya yang jadi guru. Tepatnya di Kabupaten Majalengka. Tak jauh berbeda dengan saudaranya yang di Cirebon, paman saya di Majalengka ini juga sering menerima bayaran SPP berbentuk non-duit. Malah lebih parah lagi, ada yang membayarnya dengan daun pisang dan kayu bakar. Karena di rumah paman saya menggunakan kompor minyak, maka kayu-kayu bakar tersebut dibiarkan saja menumpuk di halamannya.

Memang cerita tadi terjadi dalam rentang waktu 10 tahun lalu. Cerita duka dari masa “pra sejarah”. Tapi entah, apakah kisah serupa masih terjadi di masa kini, barangkali di belahan lain bumi pertiwi yang masih belum terjangkau teknologi? Agaknya demikian. Belum lama ini saya masih menyaksikan tayangan feature di sebuah stasiun tv swasta nasional ihwal anak-anak bangsa yang harus berjalan jauh menempuh jarak berkilo-kilo meter, menyeberang sungai, melintas desa untuk bisa sampai ke sebuah bangunan reyot bernama sekolah. Anak-anak lugu berkulit kelam dekil bersisik itu dengan riang menebas jarak dengan ceker ayam menuju sebuah tempat di mana cita-cita tentang masa depan lebih cerah digantungkan. Mereka dekat saja. Hanya beberapa jam dari ibu kota negara: Tasikmalaya.

Sungguh amat kontras dengan Jakarta. Setiap pagi saya menyaksikan gerombolan pelajar dari SD hingga SMA yang riuh rendah bergurau dan cekikikan di bus kota. Rata-rata mereka memiliki telepon seluler dengan model paling baru. Seragam mereka kinclong. Dari tubuh-tubuh sehat itu menguar wewangian aneka cologne beraroma sari buah dan bunga. Canda tawa mereka begitu segar dan ceria, seakan-akan tak ada yang mereka cemaskan, bahkan UAN yang penuh intrik itu pun rasanya tak mampu merampas kegembiraan mereka.

Omong-omong soal UAN (ujian akhir nasional) ternyata banyak menyimpan cerita “misteri” di baliknya. Seorang teman di Tangerang bertutur berbagi gosip ihwal pelaksanaan UAN di sekolah anaknya. Ia bilang, sembari berbisik-bisik sebab kami bergunjing di kafe yang lumayan penuh, bahwa di sekolah anaknya ada tim sukses UAN yang terdiri dari para guru dan diketahui serta direstui oleh kepala sekolah.

Tim sukses? Apa pula itu? Ternyata itu adalah sebuah tim yang sengaja dan dengan sadar dibentuk oleh sekolah yang bersangkutan demi meluluskan anak-anak didik mereka. Jadi setelah kertas ujian dikumpulkan, akan dikerjakan lagi oleh tim sukses tersebut, dibetulkan jawaban-jawaban yang salah. Tujuannya agar nilai ujian anak-anak itu terkatrol dan jika prosentase yang lulus tinggi, maka sekolah mereka akan naik peringkat.

Oh, saya benar-benar terhenyak. Apakah sudah sedemikian parahnya yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita? Siapa yang salah kalau sudah begini? Pemerintah? Para guru? Sistem?

Saya jadi ingin bernostalgia ke masa sekolah dulu. Pada zaman saya, ujian akhir kelulusan ini disebut Ebtanas (Evaluasi belajar tahap akhir nasional) dan wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas terakhir di SD, SMP, dan SMA. Hasilnya nanti berupa NEM (nilai ebtanas murni) yang sama sekali tidak menentukan kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh nilai yang tertera di ijasah yang merupakan hasil testing seluruh mata pelajaran. Nantinya, NEM hanya berpengaruh bagi penerimaan di sekolah selanjutnya. Semakin baik peringkat sekolah, biasanya semakin tinggi persyaratan minimal NEM yang dipatok.

Tetapi kini rupanya zaman telah berganti. Sistem NEM tak dipakai lagi. Mulai tiga tahun lalu UAN-lah yang resmi digunakan sebagai metode pengujian siswa. Saya tak tahu persis binatangnya seperti apa, namun yang saya baca, dengar, dan saksikan, selama pelaksanaan UAS ini banyak pihak yang stres. Mulai dari siswa, guru-guru, para penguji, hingga orang tua murid. Semua berkeringat dingin, cemas menghadapi UAN. Gosip tak sedap pun meruak tentang soal-soal ujian yang bocor, tentang jual beli kertas ujian, dan tentang tim sukses tadi. Ironisnya, hal ini terjadi pada hari Pendidikan Nasional. Lebih memelaskan lagi, konon, semua itu justru dilakukan oleh oknum-oknum pendidikan yang seharusnya menjadi teladan para murid. Ah..semoga saja itu cuma sekadar gosip murahan yang tidak terbukti kebenarannya. Tapi bagaimana kalau ternyata benar?

Lalu, seandainya saya tidak “berkhianat” dan memilih menjadi guru, apakah saya akan mampu menghadapi kondisi seperti ini? Masihkah saya sanggup bersetia kepada idealisme?***

1 komentar:

4315931117 mengatakan...

salam kenal mbak...

baca cerita tentang guru, saya jadi pengen tau mbak dari geografi ikip angkatan brp? kl tentang krjaan, emang skrg krja apa, kok sampai berkhianat sama almamater. btw, sy jg dari geografi ikip jkt angkatan '93. sy br pny blog www.geo93unj.co.cc cuma isinya baru cp aja. sy jg berkhianat dari ikip. tp gak jauh2 amat sih. skrg saya editor buku pelajaran di penerbit yudhistra. ya, sama2 menyampaikan ilmu. perantaranya aja yg beda. mksh.

agus "gaz" setyanto
gus_tyanto@yahoo.comus