Rabu, 23 Januari 2008

PENERJEMAH


Sebagai penggemar berat fiksi, wajar jika minat dan perhatian saya terhadap dunia perbukuan tanah air cukup besar. Saya perhatikan, tahun-tahun terakhir ini, perkembangan perbukuan tanah air sangat menggembirakan. Maksud saya, saya melihat semakin banyak saja pilihan buku yang bisa saya baca.

Dari pengamatan itu, saya menemukan jumlah buku fiksi terjemahan lebih banyak ketimbang buku karya penulis lokal. Gejala apakah ini? Ini bisa berarti banyak. Bisa saja artinya kita memang kurang memiliki penulis fiksi yang baik. Atau dapat juga bermakna, bahwa karya-karya terjemahan lebih diminati dan lebih laku di pasaran. Tentu dengan demikian para pelaku industri perbukuan (penerbit) akan lebih bergairah menerbitkan buku-buku terjemahan, kendati ongkos produksinya jauh lebih mahal ketimbang menerbitkan buku lokal.

Seorang teman yang pernah bekerja sebagai editor di sebuah penerbit besar mengatakan, bahwa penerbit lebih merasa ‘aman’ menerbitkan buku-buku terjemahan yang sudah terbukti best seller di negara asalnya atau buku-buku yang pernah meraih penghargaan daripada harus menerbitkan buku karya penulis lokal yang belum terkenal. Dari aspek bisnis, pertimbangan mereka dapat dimengerti. Siapa pun pedagang tentu hanya ingin dagangannya laku dan memperoleh untung banyak.

Maraknya karya-karya terjemahan berkait erat dengan para penerjemah. Merekalah pemegang peran penting untuk urusan ini. Dari tangan para translater ini kita yang memiliki kemampuan berbahasa asing terbatas dapat turut serta menikmati buku-buku bagus dari belahan dunia lain, dari Eropa hingga Afrika; dari Asia hingga daratan Amerika. Dari novel pemenang Pulitzer, Man Booker Prize, hingga Nobel. Atau novel-novel klasik yang tidak pernah kita bayangkan akan punya kesempatan membacanya dalam bahasa Indonesia.

Pastilah menerjemahkan itu bukan satu perkara mudah. Tidak setiap orang– bahkan yang mengaku penerjemah sekali pun–mampu menerjemahkan dengan baik. Sebab, yang dibutuhkan bukan saja kemahiran berbahasa asing tetapi juga kemampuan menginterpretasi atau menafsirkan dan memahami teks demi mendapatkan “roh” cerita sehingga hasil terjemahan tersebut akan lebih bermutu dan “bernyawa”. Selain itu, tentu juga kudu mengerti dan menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Oleh karena itu, nama penerjemah kerap menjadi salah satu faktor utama yang saya pertimbangkan dalam membeli buku-buku terjemahan.

Saat ini, menurut pengakuan seorang teman yang berprofesi sebagai penerjemah lepas, bayaran bagi penerjemah sudah cukup memadai. Biasanya upah mereka dihitung berdasarkan jumlah karakter atau halaman (ukuran kertas A4, spasi ganda, dan font size-nya Times New Roman 12). Angkanya berkisar antara Rp 15.000,00 hingga Rp 19.000,00 per halaman; sedangkan untuk para pemula Rp 10.000,00 per halaman. Dan bagi para penerjemah yang lebih senior lagi, honor tersebut bisa mencapai angka di atas Rp 25.000,00 per halaman. Kira-kira hampir sama besar dengan ongkos membeli hak menerjemahkan dari penerbit asli atau penulisnya (sekitar 500-1000 dolar).

Bisa Anda hitung sendiri berapa besar rupiah yang mereka terima setiap kali menerjemahkan satu novel yang rata-rata memiliki tebal 400-500-an halaman. Lazimnya waktu yang diberikan adalah 1-2 bulan. Jika satu tahun dapat proyek minimal 3 atau 5 buku, cukup membuat liur meleleh juga ya pendapatan para penerjemah itu.

Namun, tak banyak khalayak pembaca yang ngeh akan kehadiran mereka. Apabila buku yang mereka terjemahkan menjadi best seller, yang berkibar-kibar adalah nama pengarangnya. Nama mereka sendiri acap kali terlupakan. Padahal, berkat kerja keras mereka jua kita dapat menikmati buku-buku keren tersebut. Mereka telah “berjasa” menjadi semacam “jembatan” yang mempertemukan para pembaca dengan karya-karya sastra dunia. Bayangkan jika di dunia ini tidak ada profesi yang bernama penerjemah. Mungkin sampai saat ini saya yang tidak bisa ngomong Inggris ini tidak akan pernah membaca novel-novel seindah The Kite Runner, Seratus Tahun Kesunyian, Da Vinci Code, The Catcher In The Rye, Harry Potter, The Namesake, In Cold Blood, dll.

Begitu pun sebaliknya. Jika tak ada penerjemah, bagaimana dunia akan mengenal karya sedahsyat Bumi Manusia, Ronggeng Dukuh Paruk, atau Saman? Barangkali ada baiknya jika kita memberikan penghargaan lebih kepada para penerjemah itu. Misalnya dengan mencantumkan nama mereka di sampul depan buku berdampingan dengan nama penulis aslinya. Bagaimana? Setuju? ***ENDAH SULWESI


*terima kasih kepada Antie dan Kris yang telah bersedia menjadi “nara sumber” tulisan ini*

Tidak ada komentar: