Jumat, 01 Februari 2008

KONTRAK


Pekan lalu saya kedatangan seorang sepupu. Ia mengabarkan, bahwa putri bungsunya telah melangsungkan pernikahan pada bulan silam dengan seorang lelaki yang umurnya dua puluh tahun lebih tua dari umur putrinya tersebut. Tentu saya kaget. Tetapi lebih kaget lagi dengan keterangan lanjutannya, bahwa mereka menikah siri sebab si lelaki yang berumur 42 tahun itu masih terikat perkawinan yang sah dengan istri tuanya.

Anak gadis sepupu saya ini umurnya 21 tahun. Lulusan SMEA dan sempat bekerja sebagai pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan. Entah kenal di mana ia dengan pria yang kini menjadi suaminya itu. Saya benar-benar prihatin dengan status perkawinan yang tidak tercatat secara hukum negara (KUA/Catatan Sipil) itu. Dan mengapa harus menimpa keponakan saya?

Pernikahan siri atau nikah di bawah tangan meski sangat tidak adil bagi perempuan tetapi realitanya masih banyak yang melakukan dengan berbagai alasan. Umumnya kebutuhan ekonomi kerap menjadi alasan utama. Seperti yang terjadi pada keponakan saya yang berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan iming-iming mahar sebesar 15 juta rupiah, ibunya, sepupu saya, rela melepaskan anak gadisnya untuk dikawini lelaki beristri. Ya, lagi-lagi kemiskinan menjadi akar dari bermacam permasalahan di masyarakat kita.

Atau ada juga yang beralasan untuk menghindari zina. Biasanya terjadi pada pasangan muda yang secara materil belum siap membina rumah tangga tetapi sudah kebelet kawin. Daripada melakukan seks ilegal (haram), mereka memilih menikah siri.

Pernikahan bawah tangan ini, walaupun dibenarkan secara hukum agama (Islam), namun sangat merugikan bukan saja pihak perempuan tetapi juga status anak-anak mereka kelak dan hal yang menyangkut hak waris. Pernikahan ini hanya enak buat lelaki; lazimnya dilakukan oleh mereka yang ingin berpoligami secara diam-diam, tanpa seizin istri pertama. Akal-akalan lelaki beristri untuk melegitimasi perselingkuhannya.

Selain itu, ada satu lagi jenis perkawinan yang mirip dengan nikah siri ini, yakni kawin kontrak. Perkawinan ini lebih mengerikan lagi sebab secara hukum agama Islam sama sekali tidak dibenarkan alias haram. Bahkan oleh PBNU kawin kontrak ini dipandang sama saja dengan perdagangan manusia (trafficking).

Pada masa-masa liburan musim panas, mulai pertengahan Juli sampai September, di kawasan Puncak, tepatnya antara Cisarua – Kampung Sampay (Warung Kaleng), marak terjadi kawin kontrak antara para pelancong yang umumnya berasal dari Timur Tengah dengan para wanita setempat atau kini banyak juga yang sengaja datang dari Cipanas, Bogor, dan Cianjur.

Fenomena ini telah berlangsung lama. Konon sudah puluhan tahun. Motif perkawinan tersebut semata-mata pemenuhan kebutuhan ekonomi di pihak wanita dan syahwat di pihak lelaki. Semacam pelacuran terselubung. Pelaksanaan pernikahannya pun sekadar formalitas saja. Percaya atau tidak, tukang ojek pun bisa dimintai jasa sebagai “penghulu” dengan kisaran upah 500 ribu hingga satu juta rupiah. Tentu tanpa surat nikah.

Sementara itu, si “mempelai” wanita akan menerima “uang kontrak” sebesar 5 – 10 juta rupiah untuk jangka waktu satu sampai tiga bulan. Selama jangka waktu tersebut mereka tinggal bersama di vila-vila sewaan layaknya sepasang suami istri. Tak jarang ada yang sampai hamil dan punya anak sepeninggal si laki-laki seiring berakhirnya masa liburan. Bagi yang bernasib baik masih akan mendapat kiriman uang dari “suami” mereka sampai tiba liburan tahun berikutnya. Namun, jauh lebih banyak yang tidak beruntung; ditinggalkan begitu saja sebagai “janda” setelah masa kontrak selesai.

Praktik kawin kontrak ini ternyata tidak hanya marak di daerah Puncak, tetapi juga terjadi di kawasan industri Tangerang, Banten. Di sini pelakunya adalah para pekerja Korea yang “menikahi” perempuan setempat. Usia “perkawinan” tersebut adalah sepanjang masa kerja si lelaki di sini. Mirip-mirip praktik “pernyaian” di zaman kolonial Belanda dahulu.

Sekali lagi, akar permasalahan dari semua kejadian di atas adalah kemiskinan. Korban utamanya selalu adalah perempuan dan anak-anak. Mereka selalu menjadi pihak yang lemah dan rentan terhadap segala jenis penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan lelaki. Perangkat peraturan dan hukum negara, agama, budaya, dan tradisi yang berlaku di masyarakat alih-alih melindungi justru malah semakin mengukuhkan dan mengekalkannya. Dan selama jumlah orang miskin masih menjadi mayoritas penduduk negeri ini, selama itu pula praktik-praktik kawin kontrak dan sejenisnya agaknya akan terus berlangsung.*** ENDAH SULWESI

Tidak ada komentar: