Rabu, 16 Januari 2008

H I L A N G

Sudah tiga hari ini Mang Ardi, tukang gorengan yang biasa mangkal di depan kantor saya, tidak berjualan. Saya menduga mungkin ia sedang pulang kampung, tetapi kata Mang Dedi, tukang soto mie yang juga jualan di depan kantor, Mang Ardi tidak dagang karena tidak ada modal. Harga-harga barang dagangannya, seperti tepung terigu, minyak tanah, minyak goring, tempe, dan tahu melonjak naik meninggalkan bumi. Tak terjangkau lagi oleh Mang Ardi. Untuk sementara Mang Ardi “menghilang” dulu bersama gerobak dan gorengannya yang gurih itu.

Sementara itu, rekan Mang Ardi yang lain, Slamet (45) di Banten, nasibnya lebih tragis. Sesama pedagang gorengan itu pada Selasa (15/1) ditemukan tewas menggantung dirinya dengan seutas tali plastik (Kompas, 16/1). Mayatnya ditemukan oleh sang istri, Nuriah, di dalam kamar tidur mereka. Agaknya Slamet yang malang itu putus harapan menghadapi kenyataan harga-harga bahan dagangannya meroket tinggi menembus langit. Perjuangan Slamet melawan kerasnya hidup berakhir di ujung tali yang mengikat lehernya. Slamet menyerah dan memilih “menghilang”, pergi meninggalkan dunia. Baginya, mati adalah solusi paling rasional dari persoalan ekonomi yang membelitnya selama ini.

Mang Ardi dan Slamet adalah sedikit dari banyak lagi korban akibat menghilangnya minyak tanah, minyak goreng, dan tempe di pasaran. Di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini, barang-barang kebutuhan pokok mudah sekali “menghilang”. Biasanya, menghilangnya sementara untuk kemudian muncul lagi dengan harga berlipat-lipat kali dari sebelumnya. Entah ulah siapa hingga begitu tega menyengsarakan orang banyak; menjerat leher kaum kecil yang sudah sulit bernapas kendati tanpa kenaikan harga sekali pun.

Belum usai halaman-halaman surat kabar membahas lonjakan harga minyak tanah di masyarakat, sudah ada lagi berita baru ikhwal tingginya harga kacang kedelai. Kenaikannya mencapai hingga seratus persen yang lantas direspons para pedagang tahu dan tempe dengan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta pada Senin pekan lalu. Untuk sementara waktu, para penggemar tempe kudu menahan nafsunya lantaran tempe dan tahu menghilang.

Tempe, makanan kampung yang terbuat dari kacang kedelai dan ragi ini, ternyata bukan saja memiliki kandungan gizi yang tinggi tetapi juga sejarah panjang keberadaannya. Menurut sejarawan Onghokham (alm), tempe sudah ditemukan di Jawa sejak 1830. Sumber lain menulis, tempe bahkan sudah ada sejak zaman Sultan Agung (1600-an).

Terlepas data mana yang paling akurat, kedua sumber tersebut menunjukkan, bahwa sejarah tempe sudah cukup tua. Jauh lebih tua dari usia Republik ini. Malah dahulu bangsa ini secara olok-olok sering disebut sebagai “bangsa tempe”. Mungkin sebutan tersebut merujuk pada bentuk fisik tempe yang sederhana dan terkesan udik, ndeso. Tempe hanya pantas untuk rakyat miskin. Makanan kampung yang tak pantas menghias meja makan orang-orang kaya terhormat. Pokoknya, tempe itu identik dengan kere.

Saya ingat, seorang Bude saya yang menikah dengan seorang lelaki asal Pekalongan, mempunyai usaha membuat tempe di rumahnya di kawasan Kebon Singkong, Jakarta Timur. Waktu saya kecil, saya sering main ke sana dan menonton para pekerja Bude membuat tempe. Kacang kedelai berkarung-karung memenuhi ruangan khusus membuat tempe di belakang rumah. Lantainya masih berupa lantai tanah.

Setiap hari, para pekerja yang umumnya lelaki, sibuk mengolah bulir-bulir kedelai itu menjadi tempe. Mereka merebus, mengulitinya dengan cara diinjak-injak dalam drum-drum kaleng besar. Biasanya mereka bekerja bertelanjang dada (dan bertelanjang kaki juga pasti). Terbayang bukan, tentu butiran keringat mereka menetes dan ikut tercampur bersama kedelai-kedelai itu. Bisa jadi, tetesan keringat mereka ini turut memperlezat rasa tempe.

Setelah kulit-kulit sebening plastik itu tanggal seluruhnya, kedelai-kedelai bugil itu lantas ditaburi ragi untuk proses fermentasi. Harus ragi yang bermutu baik untuk mendapatkan tempe yang baik. Selanjutnya dibungkus dengan lembaran daun pisang. Belakangan daun pisang berganti plastik. Setelah beberapa jam, calon tempe itu ditusuk-tusuk agar udara bersirkulasi dengan baik. Esoknya, tempe itu pun jadilah. Siap dibawa ke pasar dalam keranjang-keranjang bambu.

Tiga hari ini, manakala tempe tiba-tiba lenyap dari kehidupan kita, kita baru ngeh akan kehadirannya selama ini. Memang kita sering baru merasa memiliki setelah kita kehilangan. Tak ubahnya seperti kita yang kebakaran jenggot saat Malaysia mengklaim lagu rakyat Rasa Sayange sebagai lagu nenek moyang mereka. Untunglah, lagu itu tidak ikut-ikutan hilang.

Tetapi, apa sih yang tidak gampang hilang di negeri ini? Jangankan tempe, bahkan nyawa kita pun setiap waktu terancam hilang lantaran tak ada lagi jaminan keamanan: di jalan raya yang para penggunanya tak hirau peraturan; di bus yang tak laik jalan; di taksi yang kerap dirampok; di kereta api dengan ancaman rel anjlok; di pesawat udara yang tak laik terbang….

Dan yang terparah adalah jika kepercayaan rakyat kepada pemerintah sampai turut hilang. Jika tak ingin hal itu terjadi, sebaiknya pemerintah segera bertindak mengatasi segalanya. Kendalikan harga kedelai dan kembalikan tempe yang sempat menghilang itu sebelum Slamet dan Mang Ardi yang lain menambah panjang daftar korban.***

endah sulwesi

Tidak ada komentar: