Rabu, 02 Januari 2008

KEMBANG API


Tahun 2007 baru saja kita tinggalkan, dan kita memasuki gerbang 2008. Menyambut tahun baru (Masehi) agaknya menjadi satu-satunya acara yang dirayakan massal di seluruh dunia tanpa menghiraukan asal-usul suku bangsa, negara, dan agama. Jutaan terompet ditiup serta kembang api-kembang api dinyalakan; diluncurkan ke angkasa dalam aneka rupa dan warna-warni meriah sambil menghitung mundur menuju detik-detik pergantian tahun tepat jam 00:00.

Pada malam tahun baru kemarin, seperti biasa, saya lewatkan dengan nonton kembang api dari loteng. Di tengah siraman hujan, malam itu langit di luar kamar saya terang-benderang oleh pijar-pijar indah kembang api. Selama setengah jam saya lumayan terhibur oleh kemeriahan tersebut. Gratis, tanpa perlu ke luar rumah, dan cukup pakai piyama saja.

Saya jadi ingat dongeng indah ciptaan Philip Pullman tentang putri pembuat kembang api. Judul bukunya The Firework Maker’s Daughter (Putri Si Pembuat Kembang Api). Pullman mengisahkan bahwa untuk menghasilkan kembang api bermutu baik harus menggunakan sulfur bangsawan yang berasal dari puncak sebuah gunung berapi. Untuk mencapainya, Lila, gadis cilik yang berambisi menyaingi ayahnya dalam membuat kembang api, harus melalui berbagai rintangan berat yang mengancam keselamatan jiwanya.

Namun tentu saja sejarah kembang api sama sekali berbeda dengan dongeng Pullman itu. Kembang api telah dikenal sejak berabad-abad silam. Sejarah penemuannya, konon terjadi karena “kecelakaan” di sebuah dapur di Cina. Waktu itu, kira-kira pada abad ke-9 (ada juga sumber yang menyebut abad ke-11), seorang koki secara tidak sengaja telah mencampur tiga jenis bahan bubuk berwarna hitam yang ternyata adalah bubuk mesiu.

Campuran bahan ini mudah sekali terbakar dan meledak. Inilah cikal bakal petasan atau mercon yang pabriknya kemudian dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Song atau Sung (960-1279). Oleh pabrik ini, tabung petasan yang semula dari bambu diganti kertas. Mercon inilah yang menjadi dasar pembuatan kembang api dengan lebih mengutamakan warna dan semburan bunga-bunga api di udara ketimbang bunyi ledakannya.

Dari Cina, “mainan” ini lalu dibawa ke Arab dan Eropa. Itulah mengapa orang-orang Arab menamai benda ini sebagai “panah Cina” (The China Arrow). Penyebarannya ke Eropa adalah berkat jasa pelaut Marco Polo (abad ke-13). Sayangnya, bubuk mesiu ini kelak banyak digunakan untuk keperluan militer sebagai bahan pembuatan senjata api. Tujuannya tiada lain untuk dipakai dalam perang. Tak dinyana bukan, ternyata senjata pemusnah umat manusia bermula dari sebuah dapur.

Jenis kembang api yang kita kenal hari ini tentu sudah jauh berbeda dengan kembang api tempo doeloe. Umumnya negera-negara Eropalah yang mengembangkannya. Bahkan, sejak zaman renaisans, di Italia dan Jerman terdapat sekolah khusus membuat kembang api. Tidak mengherankan, sebab untuk menciptakan kembang api yang bagus–dengan rupa dan bentuk unik serta warna-warni yang indah dan cermerlang–dibutuhkan seorang ahli yang menguasai ilmu kimia dan fisika.

Alhasil, kini kembang api menjadi komoditi yang mahal harganya. Tengok saja yang dipasang kemarin di pelataran Monas dan Ancol. Gosipnya, dana yang tersedot untuk penyelenggaraan pesta kembang api itu mencapai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah.

Saya terkenang masa tiga tahun silam. Malam pergantian tahun saya lalui dengan memelototi layar televisi yang tak henti-henti menayangkan berita (dan cerita) bencana besar gelombang pasang tsunami. Gempa laut yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekah dan sekitarnya itu memakan korban ribuan nyawa manusia. Kesedihan melanda seluruh negeri ini. Waktu itu, saya bahkan sempat “mengharamkan” segala kemeriahan pesta tahun baru. Termasuk “tradisi” menonton kembang api dari loteng.

Tetapi agaknya tahun ini saya “lupa” pada segala rasa sedih itu, walau pun saya tahu ada banyak orang di belahan lain Nusantara yang tengah menderita akibat bencana banjir dan tanah longsor. Saya seperti kehilangan kepekaan sosial saya saat menyaksikan dengan gembira bunga-bunga api itu meledak dan berpijar indah di angkasa. Tatkala langit gemerlap oleh taburan cahaya merah, jingga, hijau, kuning, ungu, saya sama sekali tidak ingat (atau berusaha untuk tidak mengingat) gambar mayat-mayat bergelimpangan di Karanganyar…..

Selamat tinggal 2007! Selamat datang 2008!***


endah sulwesi

Tidak ada komentar: