Jumat, 28 Desember 2007

P O H O N


Judul di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu global warming atau perubahan iklim. Juga tidak ada kaitannya langsung dengan imbauan Ibu Negara untuk menanam sepuluh juta pohon dalam rangka mengatasi climate change yang ramai-ramai dibincang di Bali beberapa waktu silam. Saya cuma ingin ngobrol soal pohon natal dan sejarahnya.

Perayaan Natal yang jatuh setiap 25 Desember tak bisa dilepaskan dari tradisi memajang pohon natal. Hiasan yang berasal dari pohon cemara ini ternyata memiliki sejarah panjang dan banyak versi. Tetapi umumnya menyebut bahwa asal-mula penggunaan pohon cemara sebagai pohon natal adalah di Jerman.

Mulanya tentulah bukan dimaksudkan sebagai hiasan pohon natal ketika bangsa Jerman kuno memiliki kesenangan (atau tradisi?) memasang pohon–utuh berikut batang, cabang, dan dedaunannya–di rumah mereka. Tujuannya lebih sebagai pengusir roh jahat. Maklumlah, waktu itu mungkin mereka masih menganut agama pagan atau keyakinan semacam animisme dan dinamisme. Jadi jauh sebelum datangnya agama Kristen.

Tatkala agama yang dibawa oleh Isa Almasih itu menyebar sampai ke Jerman, gereja dengan kekuasaannya melarang umat untuk meneruskan tradisi tersebut. Agaknya dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen.

“Dongeng” lain menyebutkan, bahwa semula pohon natal bukanlah cemara tetapi pohon oak. Masih di Jerman, al kisah adalah seorang pendeta Inggris bernama St.Boniface. Suatu hari, dalam sebuah perjalanannya, si Bapak Pendeta bertemu sekelompok orang yang tengah mengadakan ritual persembahan kepada Dewa Thor yang menghuni pohon oak. “Korban”-nya adalah seorang anak. Demi menyelamatkan jiwa bocah tersebut, St.Boniface merobohkan pohon itu. Ajaib! Selang beberapa waktu kemudian, di bekas tempat pohon oak yang roboh itu tumbuh sebatang pohon cemara yang kini dipakai sebagai pohon natal.

Namun nama yang paling sering disebut terkait perkara pohon terang ini adalah Martin Luther King. Dikisahkan, ketika tokoh reformasi gereja Protestan itu sedang mencari angin di hutan cemara pada suatu malam yang cerah. Ia tertegun menampak jutaan cahaya gemintang menembusi kepekatan hutan. Gemerlapnya seolah-olah menggantung di setiap dahan cemara. Ia pun lalu menebang sebatang dan dibawanya pulang. Untuk menggantikan keindahan kelap-kelip bintang, ia menyalakan berbatang-batang lilin yang dipasang di setiap cabang cemara. Ternyata, anak-anaknya menyenangi hiasan hasil kreasinya itu.

Dari Jerman, tradisi ini menyeberang ke Inggris. Pada tahun 1846, Ratu Inggris, Victoria yang menikahi Pangeran Albert dari Jerman, untuk pertama kalinya memasang pohon natal di istana mereka. Lantaran Sang Ratu sangat disayangi oleh rakyatnya, maka segera saja memasang pohon natal menjadi tren di Inggris.

Selanjutnya, si pohon terbang ke Benua Amerika. Di Negeri Uncle Sam ini, pohon natal, konon, pertama kali ditemukan di Pensylvania. Lagi-lagi dipelopori oleh orang Jerman.

Benar tidaknya “legenda-legenda” di atas, faktanya kini pohon natal menjadi hiasan “wajib” di rumah-rumah masyarakat (dan gereja) Nasrani di seluruh dunia.

Saya ingat pengalaman waktu kecil pernah ikut menghias pohon natal di rumah tetangga saya, keluarga Batak beragama Protestan. Pada suatu hari, beberapa hari menjelang Natal di masa lampau itu, saya diperkenankan ikut serta mendandani pohon natal mereka yang nyaris sebesar dan setinggi pohon cemara sungguhan.

Dengan riang gembira, saya bersama putri mereka yang seusia saya (namanya Natalia), menggantungkan lonceng-lonceng aneka warna, bola-bola emas, gumpalan kapas putih perlambang salju, serta bermacam pita dan lampu berbentuk bintang warna-warni melingkari tubuh pohon. Terakhir, dipasanglah salib emas di pucuk cemara yang kini menjelma pohon terang yang cantik.

Tiba hari Natal yang dinantikan, biasanya mereka mengirimi kami senampan penganan berupa kue-kue cantik (dan lezat) plus permen dan coklat. Yang saya juga ingat dengan jelas, saya juga diajak makan bersama keluarga besar mereka. Salah satu menu yang tersaji adalah sayur daun singkong tumbuk yang diberi kuah santan. Tapi sebagai bocah kecil saya tidak suka santapan itu. Saya malah memilih black forest dengan coklat keping yang menggiurkan. Oya, ada satu menu yang tidak boleh saya makan : daging babi yang tampak berkilau-kilau oleh lemak. Tentu karena mereka tahu saya muslim.

Kembali kepada pohon. Lantaran alasan kepraktisan (dan juga karena semakin sulit didapat), pohon natal kini tidak lagi berupa pohon cemara asli tetapi telah berganti menjadi pohon-pohon plastik yang “evergreen”. Bagus juga sih. Coba bayangkan seandainya tetap bertahan menggunakan pohon asli. Berapa juta batang cemara mesti dipenggal setiap tahunnya? Jika dicabuti dari hutan-hutan cemara, berapa banyak hutan yang tercukur gundul karenanya? Pasti proses global warming akan lebih cepat lagi. Daripada menebangi cemara-cemara itu, bukankah jauh lebih baik membiarkannya tetap hidup, menghijau lestari hingga anak cucu nanti.

Akhirnya, saya ucapkan selamat hari natal dan tahun baru. Damai di hati, damai di bumi.***


ENDAH SULWESI 29/12

Tidak ada komentar: