Jumat, 14 Desember 2007

P A S A R


Sudah lama sekali saya tidak pernah lagi ke pasar tradisional. Rasanya kok jadi malas banget membayangkan lantainya yang kotor, becek, bau, dan panas. Beda sekali kondisinya dengan pasar-pasar swalayan seperti Carrefour, Hypermart, atau Giant, untuk menyebut beberapa nama. Pasar-pasar modern ini ada di dalam gedung besar berlantai mengilap, sejuk karena pendingin ruangan, dan wangi. Kadang-kadang terdengar juga alunan musik merdu dari pengeras suara. Saya bisa betah berjam-jam di dalamnya.

Kelebihan lain pasar modern, setidaknya menurut saya, adalah mutu barang yang dijual serta harga yang ditawarkan. Jika di pasar kumuh saya harus tarik-tarikan urat leher demi mendapatkan harga yang sesuai dengan keinginan saya, di pasar-pasar wangi itu tidak perlu terjadi. Semua harga sudah tertera di barang dagangan. Secara fisik dan visual, barang-barang tersebut tampak bagus dan ditata sedemikian rupa dalam display yang menarik. Seringkali, tanpa sadar saya terbujuk membeli barang yang sebetulnya tidak saya butuhkan hanya karena ngiler pada kemasan dan penampilan fisik benda-benda itu.

Masih ada lagi alasan mengapa saya lebih suka belanja di pasar swalayan, yaitu soal timbangan. Di pasar-pasar sejuk itu, saya tidak pernah dikecewakan untuk urusan timbangan. Benar-benar akurat. Tentu saja, karena mereka menggunakan timbangan digital, sedangkan di pasar “kampung”, paling banter timbangan yang dipakai adalah timbangan kuno yang serbamanual.

Tetapi sebenarnya, kondisi alat yang serba “terbelakang” itu tak bisa dijadikan alasan untuk berbuat curang dalam menimbang. Toh, alat tersebut tetap bisa berfungsi dengan benar seandainya dipakai dengan baik. Misalnya, sering ditera ulang, sehingga selisih berat tidak sampai terjadi. Ini terlepas dari cerita tentang moral si pedagang, lho. Sebab kalau sudah bicara moral, neraca paling canggih pun tetap bisa diakali untuk berlaku tak jujur.

Dengan beberapa kelebihan tadi, sudah barang tentu saya lebih memilih belanja di pasar-pasar swalayan dari pada pasar “kuno”. Prihatin sebetulnya, sebab dengan munculnya pasar-pasar mewah itu sedikit banyak memengaruhi geliat perdagangan di pasar-pasar tradisional. Tidak sampai tutup memang, namun barangkali tidak seramai beberapa tahun silam saat supermarket belum menjamur seperti sekarang.

Belum lagi ditambah dengan hadirnya minimarket-minimarket di daerah permukiman. Semakin malaslah saya berbelanja ke pasar becek yang berjarak agak jauh dari rumah. Sementara ada minimarket di dekat rumah saya yang hanya butuh waktu 5 menit berjalan kaki. Di situ saya bisa mendapatkan segala barang yang saya perlukan. Mulai dari beras, minyak, sabun, mie instant, sirup, payung, sampai obat-obatan. Coba, bagaimana tidak enak?

Tetapi yang enak buat saya belum tentu enak buat orang lain. Contohnya, tetangga saya pemilik sebuah warung kelontong. Dengan adanya minimarket di dekat kompleks kami, otomatis orang-orang yang biasa berbelanja di warungnya jadi berkurang. Sekarang, nyaris semua penghuni kompleks berbelanja di minimarket itu. Bahkan hanya untuk sekadar membeli sebiji pasta gigi atau sekilo gula pasir. Warung tetangga saya hanya kebagian untuk beli garam atau sebutir telur ayam. Itu pun untuk kondisi segera dan mendesak.

Tidak enak juga mendengar tetangga saya itu jadi sering mengeluh karena warungnya sepi. Pada hal sebelum minimarket itu beroperasi, warungnya jadi sasaran pertama kami belanja barang kelontongan. Kini, jika pun ada yang belanja cukup banyak di warungnya, biasanya dengan niat berutang. Ya..kalau giliran utang aja ke warung saya deh, kata tetangga saya dengan muka ditekuk.

Tidak adil kedengarannya. Tapi mau apa lagi? Berapa banyak pengusaha warung kelontong seperti tetangga saya yang dirugikan dengan keberadaan minimarket-minimarket itu?

Agaknya mesti diatur kembali pemberian izin operasi bagi pasar-pasar serbaada tersebut agar tidak lalu mematikan usaha kecil yang sudah ada. Perlu ada semacam pembatasan jumlah dan ketentuan lokasi usaha supaya kehadirannya bisa tepat guna. Dalam hal ini pemerintahlah yang mesti turun tangan dengan segala kekuasaan yang dimilikinya. Pejabat yang berwenang mengurus seharusnya tidak boleh merasa tenang-tenang saja melihat fenomena seperti ini. Saya khawatir, apabila didiamkan dampaknya akan jauh lebih serius lagi. Bukan mustahil akan meningkatkan angka pengangguran.

Dan bagi para pedagang di pasar-pasar tradisional tampaknya perlu memperbaiki mutu pelayanan. Janganlah “mencuri” angka timbangan atau menipu pembeli dengan menjual barang kualitas kelas dua dengan harga tinggi. Aturlah barang-barang dagangan dalam susunan rapi dan menarik dalam wadah-wadah yang baik dan bersih. Layani pelanggan dengan senyum dan tutur kata sopan. Insya Allah, pelanggan akan tetap setia mengalirkan rejeki ke pundi-pundi Anda.***

endah sulwesi 25/11

ilustrasi diambil dari: http://www.gudeg.net/images/icon/icon_belanja.gif

Tidak ada komentar: