Kamis, 06 Desember 2007

T A T T O O


Setiap kali ke Bali, sebisa mungkin saya selalu menyempatkan diri ke Kuta. Selain untuk menikmati eksotisme pantai landai berpasir putih dengan tubuh-tubuh bule telanjang bergeletakan disengat surya, juga untuk membuat tattoo (selanjutnya saya sebut tato saja). Biasanya saya buat di lengan bawah atau pergelangan. Pernah juga di dekat tumit. Bukan tato permanen tentu. Gambar yang dibuat dengan tinta hitam atau biru ini akan luntur dengan sendirinya dalam jangka waktu dua pekan. Untuk jasa rajah tubuh ini, kita dikenakan ongkos lima belas ribu rupiah. Tetapi jika ukuran gambar semakin besar dan rumit, ongkosnya juga mesti ditambah.

Kata “tattoo” berasal dari bahasa Tahiti, “tatu” yang berarti “tanda”. Konon, menurut para ahli sejarah, seni tato ini sudah ada sejak 12.000 tahun SM. Bukti-buktinya bisa ditemukan pada peninggalan suku-suku kuno, seperti Maori (Selandia Baru), Ainu Jepang), Inca, Aztec (Amerika), dll. Tato tertua ditemukan di Mesir. Diduga kuat dari negeri para firaun inilah seni tato berasal dan menyebar luas ke segala penjuru dunia. Di Indonesia, jejak tato bisa ditelusuri di wilayah Kepulauan Mentawai, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di NTB.

Namun, sejatinya saya tidak suka melihat orang bertato. Selalu ada rasa ngeri yang menyertai tatkala berjumpa atau berdekatan dengan mereka. Agaknya ini akibat ‘cekokan’ informasi yang saya terima waktu kecil dulu, bahwa orang bertato itu identik dengan penjahat, badung, kriminal. Tidak terlalu salah juga sebetulnya, sebab kalau mau membaca kembali sejarahnya, salah satu “fungsi” tato pada zaman dahulu adalah “cap” bagi para budak dan orang-orang tahanan di samping juga sebagai perhiasan atau penanda status sosial seseorang.

Tetapi itu dahulu. Sekarang, tato sudah dianggap semacam life style dan mode atau bahkan seni. Kini tato bukan monopoli kaum pria saja, tetapi wanita pun mulai banyak yang merajah tubuh mereka. Ayu Azhari, Nafa Urbach, dan Becky Tumewu, misalnya untuk menyebut beberapa nama selebritis perempuan yang memiliki tato. Bahkan belum lama ini, seorang teman perempuan memamerkan sebuah tato kupu-kupu di punggungnya. Keren, kan? Katanya bangga yang saya tanggapi dengan cengiran. Belakangan saya tahu koleksi rajahnya bertambah dua lagi. Satu di pinggul berupa matahari serta satunya lagi di payudara, berbentuk tiga kuntum kecil bunga

Dan masih menyangkut tato, beberapa hari lalu di bus jurusan Bekasi-Sukabumi saya terpaksa duduk di sebelah lelaki bertato. Tepatnya, dia yang duduk di sebelah saya, sebab saya telah duduk lebih dulu dan kursi di sebelah saya kosong sebelum datang lelaki itu. Sudah tentu saya merasa ngeri dan risih sekali.

Pria bertubuh tinggi besar dan kekar itu memakai kaus lengan buntung, menampakkan dengan jelas otot-otot lengan serta gambar sepasang naga melingkar di sana, di atas kulit berwarna tembaga. Potongan rambutnya cepak, mirip tentara. Sekilas, penampilannya mengingatkan saya pada sosok Bang Napi di RCTI. Tanpa sadar tubuh saya rasanya menciut, semakin mepet ke jendela bus. Jangan-jangan “Bang Napi” ini mantan narapidana, saya membatin seraya sibuk menutupi ‘tato’ bunga di pergelangan tangan saya oleh-oleh dari Kuta.

Tatkala kursi sudah terisi semua dan bus ambil ancang-ancang untuk segera berangkat, tiba-tiba seorang ibu berlari terseok-seok membawa kardus dan sebuah tas besar di kedua belah tangannya. Lantaran tak dapat melambai, ibu itu berteriak meminta agar ditunggu. Ia hendak naik. Sulit sekali tampaknya bagi si ibu menaiki tangga bus dengan tangan yang penuh jinjingan. Sementara itu kernet bus ada di pintu belakang, sibuk menjerit-jerit memanggil penumpang. Sampai beberapa saat tak ada seorang pun yang tergerak membantu sang ibu yang kerepotan itu.

Tanpa saya duga, lelaki bertato di samping saya berdiri segera dan beranjak ke pintu menolong ibu itu naik. Kedua bawaan diraihnya seraya membimbing si ibu ke kursi sebelah saya. Duduk sini, Bu, katanya ramah yang disambut dengan ucapan terima kasih berulang-ulang dari si ibu. “Bang Napi” itu sendiri kemudian berdiri gagah di samping kursi tersebut.

Saya terperangah sambil diam-diam menyimpan rasa malu karena sempat tebersit pikiran buruk terhadap “Bang Napi” ini. Ternyata, dia yang sempat saya kira bekas penjahat malah yang lebih dulu berbuat baik. Jika tadi ia tak menolong, belum tentu saya yang akan melakukannya.

Selama ini saya lebih sering menggerutu jika ada penumpang–orang tua, menggendong anak, atau wanita hamil–yang memaksa naik meskipun bus sudah penuh. Bukannya memberi kursi, saya justru pura-pura tidak melihat atau berlagak tidur. Saya juga bayar dan perlu duduk. Apalagi ransel saya berat banget, kata saya dalam hati mencari pembenaran. Salah sendiri naik mobil yang penuh padahal kalau mau bersabar menunggu masih akan banyak yang kosong, saya melanjutkan gerundelan. Tentu, lagi-lagi cuma berani dalam hati.

Pasti saya sudah berlaku tidak adil, baik terhadap “Bang Napi” dengan prasangka buruk, mau pun kepada para penumpang yang memaksa naik bus penuh. Bisa saja mereka memaksa naik karena harus bergegas sampai ke tempat tujuan. Mungkin ada urusan yang mesti cepat diselesaikan. Atau seperti saya juga, tak ingin terlambat sampai di kantor.

Begitupun perkara tato. Agaknya saya mesti mengubah cara pandang saya selama ini. Walaupun masih tetap seram, tetapi setidaknya mulailah berpikir bahwa tato itu tidak identik dengan kriminal dan–ini yang terpenting–jangan sekali-sekali menilai sesuatu dari bungkus luarnya. Kalau di kalangan kutu buku, istilah populernya adalah don’t judge the book by its cover. Iya nggak sih?***


endah sulwesi

1 komentar:

rio andri tunggali mengatakan...

tatto..............
hmmm...??
akusuka?
saya juga penggemar tatto,karena tatto buat ku sebuah simbol kejadian yg aku abadikan di tubuhku....
tak juga itu....
saya suka mempelajari tatto dari negeri sendiri...
kalimantan,mentawai,....
karenasaya pecinta seni dan budaya...
saya salah satu alumni institut seni indonesia,yg benar2 cinta budaya sendiri dan bangga punya adat istiadat yg unik2 khususnya tatto....
buatku tatto identitas pribadi seseorang,simbol atau kejadian yg dibuat atau dirajah di atas kulit...
"MASBERTO"
artinya masyarakat bertato....
tradisi tatto takan pernah mati....
salam kenal...slm budaya.....
nb: add me di FB (andririo38@yahoo.co.id)