Sabtu, 22 Desember 2007

T E H


Pada mulanya adalah legenda dari Daratan Cina. Tentang seorang kaisar bernama Shen Nung yang hidup pada zaman ketika kalender Masehi belum diciptakan. Kaisar yang hobi berkebun tanaman obat-obatan ini pada suatu hari secara tidak sengaja “menemukan” pohon teh untuk pertama kalinya.

Konon menurut kabar yang diembuskan angin dari berabad-abad nan silam, ketika Sang Kaisar tengah bekerja membuat ramuan di kebun kesayangannya, ketel yang berisi air mendidih untuk keperluan merebus “jamu” bikinannya, kejatuhan beberapa helai daun kering dari pohon di atasnya. Tatkala Yang Mulia Shen Nung meminum air rebusan tersebut, ia mendapatkan rasa sedap dan aroma segar. Warna airnya pun tidak lagi bening tetapi agak keruh. Ternyata Sang Kaisar menyukai rasanya. Ia juga merasa lebih bugar setelah meminum “ramuan” itu. Ramuan itulah yang kini kita kenal sebagai teh.

Versi lainnya menuturkan, bahwa Sang Kaisar pertama kali menemukan teh saat sedang beristirahat di bawah sebatang pohon dalam sebuah perjalanan panjang. Daun teh tersebut diterbangkan angin dan nyemplung ke dalam panci yang berisi air mendidih untuk minum Kaisar. Kaisar yang langsung meyenangi rasanya, segera memerintahkan para juru masaknya untuk merebus lebih banyak lagi.

Walaupun kisahnya rada-rada mirip dengan kisah Newton (sama-sama ketiban “wangsit” di bawah pohon) tetapi itulah legenda yang dipercaya oleh dunia sebagai asal-muasal sejarah ditemukannya teh.

Tradisi minum teh di Cina jauh lebih tua dari usia Republik itu sendiri. Mulanya hanya berlaku di kalangan bangsawan dan orang kaya saja.Demikian pula di Jepang yang beruntung kecipratan khasiat teh dari Cina lewat penyebaran agama Budha.

Miturut hikayat yang dilisankan secara turun-temurun, asal mula teh di Jepang lebih unik lagi sejarahnya. Adalah seorang pendeta Budha bernama Daruma yang hidup sekitar tahun 520 M. Lazimnya pendeta, Daruma kerap melakoni tapa sebagai salah satu ritual demi menyempurnakan ibadahnya. Selama bertapa ia tidak diperbolehkan tidur barang sekejap pun.

Namun, suatu kali Daruma tak kuasa menahan kantuk. Tiba-tiba saja ia sudah lelap tertidur dan murka sekali saat terjaga. Tak habis-habisnya ia mengutuki diri sendiri atas kelalaian yang memalukan itu. Maka, kemudian untuk mencegah hal tersebut terulang kembali ia lantas memotong kedua kelopak matanya. Potongan kelopak itu kemudian dibuang tak jauh dari tempatnya biasa bertapa. Tak lama berselang di tempat tersebut tumbuh sebatang pohon yang seduhan daunnya bisa dibuat minuman. Pohon itulah cikal bakal tanaman teh yang kita kenal kenal sekarang.

Masih banyak lagi versi lainnya yang beredar di masyarakat. Dari yang serba ilmiah sampai kepada mitologi dan dongeng. Yang jelas tumbuhan yang memiliki nama latin camellia sinensis ini dahulunya adalah minuman raja-raja dan para bangsawan. Tradisi minum teh yang berasal dari Cina, selanjutnya menyebar ke Eropa, Amerika, dan seluruh dunia. Bahkan di Jepang ada upacaranya sendiri. Dan kini, teh telah menjadi minuman semua orang.

Di Indonesia, teh dikenal seiring dimulainya kolonialisme Belanda. Menurut catatan sejarah, bibit tanaman yang jika dibiarkan bisa mencapai ketinggian 10 meter ini dibawa oleh Dr. Andreas Cleyer pada tahun 1686 sebagai tanaman hias. Barulah pada 1728 ditanam secara besar-besaran oleh Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa. Benihnya didatangkan dari Cina.

Akan tetapi ternyata klon dari Negeri Tirai Bambu ini tidak cocok untuk tanah dan iklim di Jawa. Atas upaya seorang dokter tentara, Dr.Van Siebold, diujicobakan bibit teh dari Jepang. Usaha ini kemudian dikembangkan oleh rekannya, Jacobson dan ketika Gubernur Jendral Van Den Bosch berkuasa rakyat diwajibkan menanam teh melalui politik tanam paksa. Peninggalannya masih dapat kita saksikan berupa bentangan perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatera yang dimiliki pemerintah (PT Perkebunan Nusantara).

Yang terdekat dengan Jakarta adalah Perkebunan Teh Gunung Mas. Terletak hanya 90 km dari ibu kota negara, kawasan hijau nan sejuk ini dapat ditempuh dalam tempo 2 jam saja. Tentu dengan jika kondisi lalu lintas Puncak sedang tidak macet. Di Gunung Mas ini kita juga dapat melakukan kunjungan ke pabrik teh. Di pabrik yang dibangun Belanda pada 1910 ini pengunjung bisa melihat secara langsung proses pengolahan teh hitam hanya dengan membayar Rp 3.000,- per orang serta Rp 15.000,- untuk satu orang pemandu yang akan memberikan penjelasan.

Tidak seperti di negara-negara lain, di Indonesia tidak dikenal tradisi minum teh. Malahan di sini teh diperlakukan sebagai minuman kelas dua. Kedudukan teh di rumah tangga-rumah tangga Indonesia lebih rendah dari susu, kopi, atau sirup. Ini bisa dilihat misalnya ketika kita bertamu dan tuan rumah “hanya” menyajikan teh, demi sopan-santun ia akan berkata dengan nada minta maaf: “Maaf ya cuma disuguhi teh saja nih.” Atau mana kala kita makan di restoran, masih banyak yang menyediakan teh secara cuma-cuma.

Sikap seperti ini bisa jadi menyebabkan harga teh di dalam negeri rendah, walaupun sekarang sudah kian banyak produk minuman teh dalam kemasan siap saji dengan beraneka variasi rasa tambahan, seperti: apel, mint, stroberi, melati, dan lain-lain. Padahal konon jumlah produksi teh tanah air tidak akan cukup bagi konsumsi dalam negeri apa bila seluruh orang Indonesia mengonsumsinya. Tidak akan ada sisa untuk diekspor.

Tetapi sayangnya masyarakat kita lebih suka minum air putih yang kini lebih populer dengan istilah keren air mineral. Padahal zat-zat yang terkandung dalam secangkir air teh tak kalah bermanfaat dibanding air putih. Dalam teh terdapat zat antioksidan yang bernama katekin yang berfungsi mencegah penyakit jantung dan hipertensi selain juga menurunkan kadar kolesterol. Unsur fluoride-nya bisa menghambat tumbuhnya karies pada gigi; sedangkan kafeinnya menyegarkan tubuh serta merangsang sistem saraf sehingga memperlancar distribusi oksigen.

Nah, jika Anda masih bingung memilih menu sehat untuk minuman Anda, cobalah teh dan rasakan manfaatnya.***

Tidak ada komentar: