Kamis, 15 Mei 2008

Minyak


“Tahun depan nggak ada lagi metro mini, angkot, atau bis kota di Indonesia. Semua bakal diganti dengan dokar dan andong. Hemat energi!”

Kalimat di atas bukan statement seorang menteri, pengamat politik, atau pakar transportasi, tetapi diucapkan oleh seorang sopir metro mini dengan logat bataknya yang kental dan khas. Saya yang duduk pas di belakangnya, jadi senyum-senyum sendiri mendengar celoteh sopir itu.

Ramai-ramai berita tentang rencana pemerintahan menaikkan harga BBM telah menimbulkan aneka reaksi di masyarakat. Kabar tersebut telah menyengat banyak kalangan, terutama rakyat kecil yang hidupnya sudah susah dengan harga minyak yang sekarang. Tak heran apabila sopir metro mini tadi berkomentar seperti itu. Ia bagian dari masyarakat ekonomi kelas bawah yang bakal sangat direpotkan dengan kenaikan tariff tersebut. Sebab, kenaikan tarif BBM tentu akan memicu pula kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Bahan bakar adalah kebutuhan dasar yang berkait erat dengan banyak sektor kehidupan.

Beberapa hari sebelumnya, Enok, pembantu di rumah kami, juga ikut ribut mengenai rencana pemerintah itu. Dengan peluh berleleran di keningnya, ia berkicau, bahwa betapa akan susahnya hidup bagi dia dan keluarganya jika sampai harga minyak tanah mencapai Rp 8.000,00 per liter. Sekarang saja dengan harga Rp 5.000,00 dia sudah cukup repot. Untunglah tak lama kemudian dia kebagian jatah kompor gas tabung hijau gratis dari pemerintah. “Tapi saya masih takut memakainya, Bu. Takut meledak,” ujarnya polos.

Kekhawatiran Enok barangkali karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ihwal kompor gas gratis itu termasuk penjelasan tentang maksud dan tujuan program konversi dari minyak tanah ke gas, sehingga masyarakat tidak paham. Akibatnya banyak yang kemudian malah menjual kompor dan tabung-tabung gas jatahnya dengan harga Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00 dan mereka tetap menggunakan kompor minyak tanah seperti semula.

Belum lagi adanya gangguan dari oknum-oknum tertentu yang “melenyapkan” gas dari pasar, membuat harga gas melambung ke langit. Teman saya di Bandung sampai harus mencari gas di Bogor karena di tempatnya sudah tidak ada. Tetapi dia harus kecewa karena ternyata di Bogor pun gas “menghilang”. Para pengusaha restoran dan hotel di sepanjang Cisarua sempat panic juga beberapa hari sebelum akhirnya gas-gas dalam tabung biru itu tersedia kembali.

Ah, ya, menyebut Bogor saya jadi ingat sekitar dua pekan silam saat saya menuju daerah Puncak. Waktu itu saya naik angkutan kota warna biru jurusan Bogor-Cisarua. Sampai di pasar Cisarua, seorang ibu muda naik ke angkot saya. Maksud saya, angkot yang saya tumpangi. Ia membawa banyak jinjingan di kedua belah tangannya. Mukanya yang berpupur putih itu mengilat oleh butiran peluh. Dia meletakkan barang-barang bawaannya di lantai angkot. Saya menduga, ibu ini pasti pedagang.

“Buat jualan ya, Bu?” Saya memulai percakapan setelah ia duduk manis di pojok. Kebetulan kami Cuma berdua saja di angkot itu. Bertiga dengan sopir.

“Iya,” ibu itu menyahut sambil mengelap keringat di keningnya.

“Jualan apa, Bu?”

“Buka warung. Icalan gorengan. Cau, tempe, tahu, bala-bala”. Icalan itu artinya jualan, sedangkan cau adalah bahasa Sunda untuk pisang. Kalau bala-bala sudah tahu, kan? Itu bakwan. Kalau bakwan tidak mengerti juga, ya sudah, ke laut aja.

“Di mana jualannya, Bu?” Saya bertanya lagi yang dijawabnya dengan menyebut nama sebuah tempat wisata di kawasan Puncak.

Salah satu bawaan ibu itu adalah jeriken minyak yang terisi penuh. Saya tidak tahu itu minyak goreng atau minyak tanah.

“Ini minyak tanah, Bu?” Saya menunjuk jeriken warna putih bekas kemasan minyak goreng isi 5 kilogram.

Muhun,” jawab ibu itu, lagi-lagi dalam bahasa Sunda yang artinya iya.

“Berapa seliter?”

Tilu rebu” Tiga ribu. Heran, dia kok masih terus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan bahasa Sunda. Untung saya mengerti walau hanya sedikit. Gini-gini saya orang Sunda juga. Bapak saya kelahiran Majalengka dan ibu saya orang Bekasi.

“Masih murah ya, Bu. Di Jakarta sudah enam ribu, loh,” kata saya teringat Enok, pembantu kami yang lugu itu.

“Sebetulnya di koperasi lebih murah lagi. Cuman dua rebu setengah. Tapi tos dua dinten persediaanana teu aya”. Harga di koperasi lebih murah lagi, cuma dua ribu lima ratus rupiah, tetapi sudah dua hari tidak ada persediaan. “Tapi minyak ini cuma saya pakai buat jualan saja. Buat masak di rumah saya pakai kayu bakar”, ia menambahkan.

Hah? Kayu bakar? Hari gini masih ada yang memasak dengan kayu bakar dan itu di Bogor, berjarak hanya dua jam saja dari Jakarta? Apa saya tidak salah dengar?

“Kayu bakar, Bu?” Saya menegaskan, takut salah dengar.

“Iya, Neng, kayu bakar. Habis minyak mahal sih.”

“Lalu, Ibu dapat kayunya dari mana?” Saya sungguh penasaran, sebab ibu itu tinggal di daerah wisata yang penuh bertaburan hotel dan vila-vila mewah tapi kok masih memasak dengan cara primitif.

“Saya cari di hutan,” sahutnya, “kadang-kadang juga di kebon enteh.” Maksudnya, kebun teh.

“Yang ibu pakai itu ranting-rantingnya yang jatuh atau dari menebang?” Kejar saya sembari berharap semoga dia pilih jawaban yang pertama.

“Dulu sih cuma mungutin ranting-rantingnya yang kering. Tapi sekarang karena semakin banyak yang masak pakai kayu, jadi terpaksa menebang pohon juga.”

Oh..akhirnya saya harus mendengar jawaban yang saya takutkan itu. Menebang pohon untuk kayu bakar! Berapa banyak dan sampai kapan?

Mendadak melintas dalam bayangan saya hutan-hutan (lindung) di Puncak yang botak ditebangi. Sekarang saja sebagian lahan yang seharusnya untuk daerah resapan air sudah dipenuhi bangunan-bangunan mewah milik orang-orang kaya Jakarta. Tanah di kawasan jelita tersebut sudah ramai-ramai dikapling para miliuner ibu kota. Dengan atau tanpa IMB. Sempat juga diributkan soal IMB ini ketika terjadi banjir besar di Betawi tiga tahun lalu (2005). Namun, tentu saja heboh itu hanya sekadar sandiwara belaka, agar kelihatan pemerintah serius menangani soal bencana bah yang menenggelamkan ibu kota negara itu. Setelah reda dan orang bosan membincangnya, berhenti pula “sinetron” itu.

“Katanya banjir di Jakarta itu karena pohon-pohon di Puncak ditebangi, ya?” Sekonyong-konyong ibu pedagang itu bicara lagi. Saya tersenyum saja, tidak berkata apa-apa. “Ya, biar tahu rasa deh orang-orang Jakarta. Habis minyak mahal jadi terpaksa masak pakai kayu”. Kali ini si ibu tersenyum malu-malu. Mungkin sebenarnya ia pun merasa bersalah juga atas tindakannya turut mencukur hutan-hutan di wilayahnya seperti para orang kaya Jakarta itu. Hanya bedanya, kalau orang Jakarta menggunduli hutan demi kesenangan, sedangkan ibu itu untuk menyambung hidupnya.

Tak lama kemudian “nara sumber” saya itu pun turun, meninggalkan saya sendiri di dalam angkot. Sayup-sayup dari kabin sopir, terdengar alunan vokal Iwan Fals menyanyikan lagu lawasnya yang bertitel Galang Rambu Anarki:

BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi….

Sementara itu di luar jendela menyajikan tamasya indah deretan bukit hijau gelap merimbun menggerumbul. Mendekati kilometer 90, di kanan kiri pemandangan bertambah cantik oleh hamparan “karpet” hijau perkebunan teh Gunung Mas yang sudah ada sejak zaman kolonial dahulu. Akan berapa lama lagikah keelokan itu sanggup bertahan? Saya cepat-cepat mengeluarkan kamera saku dan memotretnya, memerangkap, mengabadikan keindahan itu. Siapa tahu, sepuluh tahun lagi semuanya sudah tiada.***ENDAH SUKLWESI

Tidak ada komentar: