Kamis, 27 Maret 2008

B A B U


Babu. Kata ini mungkin sudah jarang dipergunakan lagi sekarang. Mungkin dianggap kelewat kasar dan tidak berperikemanusiaan. Babu adalah sebutan bagi orang suruhan (orang yang kerjanya disuruh-suruh dengan upah tertentu). Biasanya perempuan. Kalau lelaki, ia biasa disebut jongos. Kedua kata ini sering dipakai oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer (alm) dalam karya-karyanya yang kebanyakan ber-setting era pra kemerdekaan. Waktu itu, kosa kata “babu” dan “jongos” lumrah dipakai.

Kini, kedua kata tersebut bermetamorfosa menjadi pembantu rumah tangga atawa sering disingkat PRT. Kalau di kalangan istri-istri pejabat acap disebut “bedinde” (Belanda). Istilah boleh saja berganti seribu kali. Namun, perubahan penyebutan itu tidak lalu diikuti perubahan nasib mereka. Sejak zaman baheula hingga hari ini, peruntungan mereka masih begitu-begitu saja. Jika pun beranjak, tidaklah terlalu jauh. Tempat mereka masih di kasta terbawah dalam masyarakat kita.

Keberadaan pembantu rumah tangga (selanjutnya akan saya sebut pembantu saja) kini nyaris menjadi kebutuhan di setiap rumah tangga masyarakat perkotaan kelas menengah ke atas. Mereka diperlukan sebagai tenaga kerja penuh ataupun paruh waktu untuk menangani urusan domestik, seperti mencuci dan menyetrika baju, mencuci piring, memasak, membersihkan rumah, mengasuh, mengantar dan menjemput anak majikan sekolah, dan seterusnya.

Kendati kerja mereka cukup menguras tenaga–karena itulah para priyayi memerlukan mereka–akan tetapi upah yang mereka terima jauh dari layak. Belum lagi perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari para majikan yang lupa kalau pembantu mereka adalah juga manusia. Cerita duka para babu ini sudah sering kita dengar, baca, dan saksikan di media massa. Dari yang dipukul, dikurung, upahnya tidak dibayar berbulan-bulan, disetrika, disundut rokok, diperkosa, sampai dibunuh. Sudah terlalu banyak kisah derita mereka yang dikabarkan kepada dunia. Tetapi apakah lantas nasih mereka berubah? Apakah lalu para majikan menjadi bersikap lebih baik? Bisa jadi iya. Dan saya yakin tidak semua majikan itu jahat.

Salah satunya adalah teman saya, seorang aktivis perempuan, bekerja di sebuah LSM internasional yang mengurusi isu-isu feminisme. Teman saya ini menikah dan punya dua orang anak lelaki. Mereka mempekerjakan seorang pembantu di rumah mereka; menggajinya dengan standar upah minimum yang berlaku; mendapat pengobatan apabila sakit, meliburkannya pada hari Minggu, memberi THR (Tunjangan Hari Raya) sesuai ketentuan, dan cuti dua minggu setahun. Biasanya diambil pada saat Lebaran, untuk pulang kampung. Tidak heran jika pembantunya itu sangat loyal kepada keluarga tersebut dan mereka nyaris tidak pernah mendapat masalah “pembantu yang tidak balik lagi setelah Lebaran usai”.

Tak urung ada juga yang tidak setuju dengan sikap murah hati teman saya itu. Konon, ibu-ibu di kompleks rumahnya sempat protes gara-gara semua fasilitas yang ia berikan kepada bedinde-nya itu, karena dampaknya para pembantu di kompleks itu jadi berani minta kenaikan upah sebesar upah yang diterima rekannya yang bekerja di rumah teman saya. Teman saya bergeming, sebab ia yakin ia benar. Namun, ibu-ibu di sana juga keukeuh, tidak terpengaruh alias tidak ada kenaikan upah bagi para pembantu tersebut. Lalu apakah para pembantu itu mogok kerja lantaran tuntutan mereka tidak dikabulkan? Ya ternyata tidak juga. Mereka tetap bekerja seperti semula. Mungkin perlu ada semacam Serikat Pembantu Rumah Tangga untuk memperkuat posisi tawar mereka. Tidak mudah lho mendapatkan seorang pembantu yang cakap bekerja dan setia. Seharusnya mereka, para pembantu itu, menyadarinya.

Upah minim dan tak adanya jaminan sosial bagi para pembantu di tanah air kemudian membuat mereka memalingkan harapan ke luar negeri dengan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Apakah nasib mereka lebih baik di sana? Oh..ternyata tidak juga. Kita semua mengetahuinya.

Seorang teman perempuan, jurnalis di sebuah majalah berita mingguan ibu kota, pernah bercerita pengalamannya meliput para TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia di Hongkong. Kata teman saya, TKW yang umumnya datang dari Jawa Timur dan Jawa Barat, di Hongkong bekerja sebagai pembantu. Nasib mereka sedikit lebih baik karena di Hongkong ada undang-undang (perangkat hukum) yang mengatur dan melindungi hak-hak pembantu. Mereka juga, dengan bantuan LSM, membentuk organisasi semacam serikat pekerja yang menampung setiap keluhan anggotanya untuk kemudian diteruskan kepada pihak-pihak yang bisa memberikan bantuan/menyelesaikan masalah tersebut.

Menariknya, organisasi atau perkumpulan itu terdapat lebih dari satu dengan bermacam-macam jenis kegiatan, umpamanya ceramah agama, seminar perempuan, pertunjukan seni dan sastra, atau sekadar berwisata di hari libur (mereka libur pada akhir pekan).

Tetapi yang paling menarik dari “oleh-oleh” teman saya itu adalah kisah tentang percintaan/hubungan cinta sejenis di antara para TKW di sana. Hidup sendiri di negeri orang, jauh dari suami (atau kecewa lantaran suami kawin lagi) sementara kebutuhan biologis harus tetap dipenuhi, menjadi faktor utama penyebab maraknya praktik lesbianisme itu. Uniknya lagi, hubungan asmara sejenis itu tidak cuma sekadar pacaran, tetapi hingga ke jenjang pernikahan. Ya menikah, layaknya pasangan normal, dengan ijab kabul di depan “penghulu” dan dilanjutkan dengan resepsi.

Pembantu atau babu hanyalah salah satu potret suram nasib perempuan kita. Mereka bekerja sebagai orang suruhan bukan dalam rangka mewujudkan emansipasi, tetapi lebih karena tuntutan ekonomi, menyelamatkan keluarga, menyelamatkan hidupnya. Ketika para lelaki di rumah tangga mereka tak mampu memberi nafkah yang memadai, mereka maju mengambil alih tanggung jawab itu ke pundak mereka.

Malangnya, balasan yang mereka terima dari keluarga, terutama suami, seringkali justru menyakitkan. Sementara istri memeras keringat (dan kadang-kadang darah) di negeri orang, suami kawin lagi di kampung. ***ENDAH SULWESI


Selasa, 18 Maret 2008

CERAI


Percaya atau tidak, dalam sebulan ini ada 3 orang teman saya yang curhat (curahan hati) tentang masalah rumah tangganya. Ketiganya perempuan. Ketiganya berkata akan menuntut cerai suami-suami mereka. Halaah…ada apakah ini? Kayak selebritis saja, ramai-ramai cerai. Kalau sudah begini, ke mana larinya cinta?

Teman pertama, sebut saja namanya Ani, telah menikah selama tujuh tahun dan dikaruniai dua orang anak lelaki yang lucu-lucu; masing-masing berumur 7 dan 6 tahun. Ani bersuamikan seorang manajer sebuah bank pemerintah. Ani sendiri juga bekerja di salah satu perusahaan otomotif terkemuka. Ani bercerita pangkal dirinya minta cerai adalah karena sang suami yang telah dinikahinya selama delapan tahun, kedapatan nyeleweng.

Bagai dalam sinetron tivi, Ani mendapatkan bukti-bukti penyelewengan suaminya lewat bon-bon makan yang ia temukan di saku celana serta bekas gincu merah yang menempel di kerah bagian belakang kemeja sang suami. Kecurigaannya semakin menguat ketika Ani secara mencuti-curi membaca sms (pesan singkat) di telepon seluler milik suaminya itu yang berisi ungkapan mesra dari seorang perempuan. “Pantas saja,” kata Ani dengan suara serak menahan isak, “dia sering pulang larut malam”.

Berikutnya adalah Sita. Teman saya semasa kuliah ini sudah menikah selama lima tahun. Suaminya bekerja sebagai teknisi di sebuah stasiun tivi swasta nasional. Sita yang jurnalis di sebuah majalah wanita mengeluh bahwa ia sudah cape berumahtangga dan ingin mengakhirinya. Pasalnya, selama lima tahun ia tak pernah diberi nafkah (uang belanja) oleh suaminya itu. Pernah sih tetapi hanya 5 bulan pertama perkawinan mereka. Selanjutnya, hingga hari ini tal pernah lagi. Segala kebutuhan rumah tangga (sabun mandi, sabun cuci, minyak goreng, pasta gigi, shampoo, susu anak-anak, sampai beras) Sita yang memenuhi dari uang gajinya sendiri. Sementara suaminya lebih sibuk mengurusi keluarganya (ibu mertua dan adik-adik ipar Sita).

Awalnya Sita tak keberatan karena bagi Sita menikah itu berarti ia harus mau berbagi dengan keluarga suaminya. Sita mengerti sebagai anak sulung, suaminya berkewajiban membantu biaya sekolah 3 orang adiknya. Maklum, ayah mertua sudah pensiun. Satu-satunya andalan adalah suaminya.

Namun, lama kelamaan Sita gerah juga lantaran suaminya lebih menomorsatukan urusan ibu dan adik-adiknya sampai-sampai “menelantarkan” istri dan anak-anaknya. Sita tidak pernah lagi menerima uang gaji suaminya. Belakangan ia semakin tidak tahan sebab suaminya terlibat utang demi menyelamatkan rumah ibunya yang digadaikan. Ibu mertua Sita mencoba-coba berbisnis cengkeh, tetapi karena minim pengalaman akhirnya bangkrut dan minta tolong suami Sita untuk menyelesaikan segala utang-piutang menyangkut bisnis tersebut, termasuk rumah yang digadaikan.

Kasus utang ini bukan yang pertama kalinya. Ketika usia perkawinan mereka baru dua tahun, suaminya harus membayarkan utang sang ibu yang berbisnis jual beli kristal. Waktu itu, suami Sita terpaksa melego motornya dan pinjam dana dari bank. Belum lagi perkara uang sekolah ketiga orang adiknya yang mesti ditanggung suaminya. Sita dan anak-anaknya yang dua orang itu nyaris tidak kebagian. Maka akhirnya teman saya yang cantik pun menyerah. Ia ingin menyudahi pernikahannya.

Terakhir adalah Nuniek. Wanita bertubuh mungil yang saya kenal di sebuah seminar ini tiba-tiba menelepon saya dan bilang, bahwa ia sebentar lagi bakal menyandang status janda. Kami memang tidak terlalu akrab, tetapi cukup sering bertemu dan saling cerita lewat sms atau telepon. Nuniek masih cukup muda. Usianya baru 32 tahun. Ia menikah 3 tahun silam dengan seorang pria keturunan Arab. Suaminya pekerja kontrak di sebuah perusahaan asing; sedangkan Nuniek adalah sekretaris di penerbitan. Mereka belum dikaruniai anak.

Nuniek memutuskan bercerai dengan alasan sering dipukul suaminya. Dalam usia perkawinan yang masih seumur jagung itu, Nuniek kerap menerima perlakuan kasar– fisik dan psikis–dari suaminya yang cemburuan. Jika Nuniek pulang telat sedikit saja dari jadwal biasanya, habislah ia dihujani pertanyaan-pertanyaan yang bernada curiga. Jika jawaban Nuniek tidak berkenan di hatinya, tak segan-segan lelaki bertubuh tegap bak tentara itu melayangkan tinjunya ke tubuh mungil Nuniek. Hal tersebut telah berlangsung sejak tahun pertama pernikahan mereka. Selama ini Nuniek mencoba sabar dan bertahan sampai akhirnya tak kuat lagi. “Aku tidak mau dijadikan sansak seumur hidup,” katanya menahan marah.

Menarik. Dari ketiga kasus di atas, semua yang menuntut cerai adalah pihak istri (perempuan). Saya yakin, keputusan mereka bercerai tentu sudah dipertimbangkan matang-matang karena sejatinya tak ada orang yang menikah dengan niat untuk bercerai kemudian. Tidak ada perempuan yang sudi menyandang predikat janda. Cerai adalah solusi terakhir ketika jalan damai tak bisa lagi ditempuh.

Tatkala ketiganya saya tanya dengan pertanyaan yang sama “mengapa memilih bercerai?”, mereka memberikan jawaban yang hampir sama : “Lebih baik sendiri daripada menderita”. Ketika saya bertanya lagi, “Tidak takut jadi janda?” Mereka menyahut dengan gagah berani, “Tidak. Aku kan kerja. Aku mampu menghidupi diriku sendiri dan anak-anakku”.

Saya jadi ingat beberapa waktu lalu pernah ngobrol dengan seorang teman yang baru melahirkan. Teman saya ini berniat berhenti bekerja dan ingin mengurus anak di rumah. Waktu itu saya katakana, bahwa sebaiknya ia mengurungkan niatnya berhenti bekerja; sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kelak dengan kehidupannya, terutama perkawinannya.

Dengan tetap bekerja kita, perempuan, punya daya tawar yang tinggi. Dengan bekerja kita juga bisa mengaktualisasikan diri, bersosialisasi, berkembang, dan yang paling penting punya penghasilan sendiri sehingga tak bergantung seratus persen kepada suami. Ya kalau suami setia sampai mati; ya kalau suami tidak pelit; ya kalau suami terus bagus kariernya….Bagaimana andai sebaliknya yang terjadi, seperti yang menimpa Ani, Sita, dan Nuniek? Untunglah teman saya itu membatalkan niatnya.

Saya kira keberanian Ani, Sita, dan Nuniek memilih berpisah dengan suami mereka lantaran mereka bekerja. Mereka berani melawan; keluar dari masalah yang mengimpit demi menyelamatkan hidup mereka selanjutnya.

Sangat berbeda dengan yang dialami sepupu saya yang terpaksa rela dimadu karena secara ekonomi ia sepenuhnya bergantung pada suami. Ia tak berani meminta cerai. “Saya dan anak-anak mau makan apa kalau cerai?” begitu katanya memelas. Alhasil, sampai sekarang, suka atau tidak, statusnya adalah istri tua. Sudah tentu nafkah (lahir batin) yang ia terima tidak lagi seperti dulu karena harus berbagi dengan madunya.

Namun, terlepas dari bekerja atau tidak, manakala kita diperlakukan tidak adil oleh siapa pun–meniru Wiji Thukul–hanya ada satu kata: lawan! ***ENDAH SULWESI

Jumat, 14 Maret 2008

PEREMPUAN


Pekan lalu, tepatnya 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasioal; sebuah hari untuk memperingati penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah diperjuangkan oleh perempuan-perempuan di Amerika (Serikat) dan Eropa lebih seabad yang lalu. Untuk pertama kalinya, Hari Perempuan Sedunia diperingati pada 19 Maret 1911, satu tahun setelah berlangsungnya Deklarasi Kopenhagen yang antara lain menyerukan agar seluruh perempuan di dunia bersatu padu untuk memperjuangkan hak untuk bekerja, hak memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan.

Tetapi yang menjadi tonggak paling bersejarah adalah ketika terjadi aksi perempuan turun ke jalan di Rusia pada 8 Maret 1917. Aksi tersebut berujung pada turunnya Tsar dari kursi kekuasaan dan kemudian pemerintahan baru memberikan hak pilih kepada kaum perempuan (dalam hal ini, mungkin perempuan Indonesia lebih beruntung. Sejak Pemilu pertama pada 1955 perempuan telah boleh ikut memilih). Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Perempuan Sedunia.

Di Indonesia kelihatannya peringatan Hari Perempuan belum cukup populer. Gemanya baru sampai di kalangan tertentu saja (LSM, aktivis perempuan, dan kampus). Masyarakat kita tentu lebih akrab dengan Hari Kartini (21 April) dan Hari Ibu (22 Desember) sebagai peringatan “hari perempuan nasional”. Celakanya, setiap kali peringatannya hanya sibuk pada penyelenggaraan lomba ini itu yang tidak jauh-jauh dari peran domestik perempuan, seperti : lomba memasak, merias pengantin, bikin tumpeng, peragaan busana, pasang konde, paduan suara…..Dari tahun ke tahun senantiasa berulang. Itu-itu saja. Seolah-olah ingin menegaskan kembali bahwa posisi perempuan memang hanya pantas di wilayah domestik.

Bukan saya ingin mengecilkan makna peran tersebut. Oh..sudah tentu tak ada yang bisa menyangkal tentang pentingnya urusan “dalam negeri” bagi ketahanan nasional. Tetapi bahwa perempuan juga, jika diberi kesempatan, akan mampu menjalankan peran-peran lainnya di wilayah publik pun haruslah diakui. Mungkin ini isu yang sudah basi diangkat, namun pada kenyataannya masih banyak perempuan kita yang menderita di dalam rumahnya sendiri.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), begitulah istilah populernya sekarang. Pengertian istilah ini menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT adalah “perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Mengapa dalam teks di atas diutamakan perempuan? Sebab, pada umumnya mayoritas korban tindak KDRT adalah perempuan (dan anak-anak). Meski hukum dan undang-undang telah berupaya memberikan perlindungan, namun masih saja berlangsung tindak KDRT. Upaya sosialisasi dan penyadaran harus terus dilakukan agar masyarakat yang selama ini menganggap KDRT hanyalah masalah internal berani mengungkapkan kasus-kasus yang terjadi, baik yang menimpa dirinya langsung atau yang terjadi di sekitarnya.

Tidak mudah memang mengatasi masalah ini. Perlu keberanian dari korban atau saksi untuk melaporkannya kepada polisi. Budaya patriarkhi yang masih kental berlaku di masyarakat kita menjadi faktor penghambat utama. Selain itu juga karena rasa malu jika melaporkan kasusnya berarti sama saja dengan membuka aib keluarga dan khawatir pada keselamatan dirinya. Apalagi jika ditambah dengan respons polisi yang tidak sesuai harapan, menyatakan kasus tersebut sebagai masalah pribadi saja atau pelapor dipersulit dengan meminta bukti-bukti yang memang kadang sulit dihadirkan.

Kekerasan dalam rumah tangga bisa juga hadir dalam bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. Lagi-lagi budaya patriarkhi dalam masyarakat kita seringkali memperlakukan anak perempuan secara tidak adil; memposisikan anak lelaki lebih penting daripada anak perempuan. Sikap diskriminatif seperti ini tidak boleh terus berlangsung. Anak-anak lahir dengan membawa hak azasi yang sama dan setara, tanpa memandang jenis kelamin.

Dalam kasus diskriminasi di atas saya punya satu contoh. Tetangga saya, suami istri pemilik warung sate kambing di pojok jalan kampung kami, punya tiga orang anak. Satu lelaki dan dua perempuan. Putri sulung mereka, 18 tahun, sudah tidak bersekolah lagi. Dipaksa berhenti sampai SMP saja dengan alasan ekonomi. Selanjutnya, ia bekerja membantu ayah ibunya di warung sate mereka. Padahal gadis itu cukup berprestasi di sekolahnya. Ia lulus dengan nilai yang baik dan ingin sekali meneruskan sekolahnya. Tetapi orang tuanya, terutama ayahnya, memaksanya berhenti sekolah sampai di situ saja. “Anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma. Paling-paling cuma jadi ibu rumah tangga,” begitu alasan sang ayah.

Sementara, adiknya yang lelaki (16 tahun), kini duduk di kelas I sebuah SMA swasta karena nilainya tak memenuhi syarat untuk masuk di SMA Negerri. Tetapi, lagi-lagi si ayah, kali ini berusaha keras mencari cara agar anak lelakinya tetap bisa melanjutkan sekolah. Ia rela meskipun harus melego motor kesayangannya demi membiayai putranya. “Anak lelaki kudu sekolah. Kalau ngga sekolah, mau jadi apa dia?” demkian si ayah berdalih.

Begitulah sebagian realita yang masih banyak kita jumpai di masayarakat. Perempuan masih menjadi warga kelas dua yang eksistensinya tidak dianggap penting, baik di dalam rumah mau pun di wilayah sosial. Perempuan adalah korban potensial dan target empuk berbagai aksi kekerasan dan kejahatan. Dari mulai perampokan, pencopetan, pelecehan seksual di tempat kerja dan kendaraan umum, hingga upah yang jauh lebih rendah dari karyawan pria.

Bahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru kerap berubah menjadi penjara. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung, sering tiba-tiba menjelma neraka. Pemukulan, diskriminasi, pelecehan, hingga perkosaan terhadap perempuan banyak terjadi justru di dalam rumah, dilakukan oleh anggota keluarga sendiri yang semestinya melindungi. Tak ubahnya seperti pagar makan tanaman. Lebih memprihatinkan lagi manakala aturan-aturan dalam agama, tradisi, budaya, dan norma-norma masyarakat turut “mengesahkannya”.***

Kamis, 06 Maret 2008

SURAT


Rasanya belum lama berselang kita masih memakai surat sebagai media menyampaikan pesan dan kabar kepada kerabat, teman, keluarga, ataupun relasi yang tinggal jauh dari tempat kita. Saya bahkan masih menyimpan dengan baik sebagian surat-surat dari masa lalu itu. Di antaranya ada juga beberapa pucuk surat cinta. Benar-benar surat. Dari kertas dan ditulis tangan. Memakai amplop dan perangko jika itu dikirimkan lewat jasa pos. Dulu saya sempat menekuni hobi koleksi perangko. Kini, saya bahkan tidak tahu gambar perangko terbaru sebab sudah lama sekali tak bersurat-suratan.

Pernah satu masa saya sangat gemar melakukan korespondensi; baik dengan para sahabat lama yang harus pindah ke lain kota maupun teman baru yang saya kenal melalui rubrik “Sahabat Pena” di surat kabar atau majalah. Dengan semangat saya bercerita dalam surat-surat yang saya layangkan.

Saya masih ingat seorang sahabat pena yang saya kenal lewat ajang pemilihan siswa teladan tingkat Kotamadya Jakarta Timur. Waktu itu saya kelas II SMP. Teman baru itu namanya Ling Ling; keturunan Tionghoa, tinggal di bilangan Rawamangun. Sebenarnya tidak jauh dari rumah saya di Klender. Tetapi waktu itu jarak Klender-Rawamangun terasa jauh sekali. Angkutan Kota belum sebanyak sekarang.

Maka lantas pertemanan itu berlanjut lewat surat. Lucunya, yang dibicarakan di surat kami itu adalah seputar mata pelajaran. Misalnya: apakah ayam betina akan tetap bertelur walaupun tidak kawin? Sayangnya, korespondensi itu berhenti setelah kami SMA. Sampai kini saya belum mengetahui lagi kabar Ling Ling. Seperti apa ya dia sekarang?

Seseorang pernah berkisah kepada saya tentang sebuah surat yang mengubah nasibnya. Ceritanya terjadi di tahun 1991. Waktu itu enam bulan setelah ia lulus kuliah dan meraih gelar sarjana adminitrasi negara dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama di ibu kota. Selama setengah tahun itu ia tanpa lelah telah berusaha melamar kerja ke sana ke mari. Dengan rajin ia mengirimkan surat-surat lamaran lewat pos atau mendatangi langsung kantor-kantor dan instansi yang iklannya ia baca di koran.

Akan tetapi usahanya nihil. Orang tuanya yang hidup serba pas-pasan sudah mulai kewalahan menyediakan biaya untuk ongkos dan surat-menyurat anaknya itu. Bapaknya, pegawai negeri sipil golongan II tengah menjelang masa pension. Gajinya yang minim harus dibagi-bagi untuk makan sehari-hari plus biaya tiga orang anaknya yang lain yang masih sekolah. Tadinya si Bapak berharap anaknya yang sulung itu segera bekerja dan membantu mengongkosi sekolah adik-adiknya.

Apa mau dikata ternyata mencari kerja bukan perkara gampang walaupun untuk seorang sarjana. Keluarga itu nyaris putus asa.

Di tengah keputusasaan itu tiba-tiba Si Bapak melihat sahabat masa kecilnya di layar tivi. Sahabatnya itu telah jadi orang penting di sebuah departemen. Masih jelas dalam kenangannya masa pertemanan mereka di kampung dahulu. Berenang di sungai, mencuri mangga, memancing ikan, mencari belut, dan bermain kelereng. Si Bapak sangat yakin bahwa sahabatnya yang kini jadi pejabat eselon itu pasti masih ingat padanya. Tidak mungkin lupa karena mereka berdua sangat karib.

Maka kemudian pegawai negeri yang hampir pensiun ini memberanikan diri bersurat kepada teman kecilnya itu. Dalam suratnya yang hanya selembar tersebut, ia menuturkan duka hatinya lantaran si sulung belum juga bekerja. Si Bapak memohon dengan segala kerendahanhatinya agar kiranya sang pejabat sudi membantu.

Tak menunggu lama ternyata suratnya berbalas. Tidak melalui antaran pos tetapi dibawa langsung oleh ajudan Si Pejabat ke hadapan sahabatnya. Dalam balasan suratnya, Si Pejabat mengundang sahabatnya untuk datang ke kantornya. “Jangan lupa, bawa serta anak sulungmu,” begitu kira-kira bunyi sebagian isi suratnya. Menurut pengakuan si sahibul hikayat, sampai kini ia masih menyimpan surat tersebut.

Pada hari yang telah disepakati, datanglah Si Bapak beserta anaknya ke kantor Si Pejabat. Pertemuan kedua sahabat yang lama terpisah itu cukup mengharukan. Mereka saling memeluk erat. Air mata meleleh di pipi keduanya. Si Anak yang menjadi saksi hanya bisa ikut menangis.

Selanjutnya, Si Pejabat menyerahkan sepucuk surat dalam amplop dinas coklat bergambar Garuda kepada Si Anak. Kelak Si Anak tahu bahwa itu adalah sebentuk “surat sakti” dari Si Pejabat kepada direktur sebuah perusahaan tempat anak itu bekerja hingga hari ini. “Surat sakti” itu telah berjasa mengubah nasib dan jalan hidupnya.

Sepucuk surat juga pernah sangat berperan dalam sejarah negeri ini. Surat itu ditulis dan diterbitkan pada kira-kira empat puluh tahun silam. Tepatnya 11 Maret 1966. Pada hari itu, sejarah menulis tentang peralihan kekuasaan dari Presiden Sokearno kepada Mayor Jendral Soeharto untuk segera mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehubungan dengan situasi sosial politik yang kacau-balau pasca peristiwa G.30 S. Surat bersejarah itu kemudian populer dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Namun anehnya surat yang teramat penting itu diragukan keasliannya. Setelah para saksi mata peristiwa bersejarah itu satu per satu meninggal, semakin sulit membuktikan keabsahannya. Malah, Roy Suryo, pakar telematika dengan yakin menyatakan bahwa naskah Supersemar yang selama ini beredar di publik adalah naskah palsu. Ketidakaslian tersebut, menurut Roy, terbukti dari hasil penelitian bentuk tanda tangan, cara penulisan, dan spasi dalam tiga naskah Supersemar yang selama ini beredar dibandingkan dengan naskah yang dibawa para jenderal saat keluar dari Istana Bogor usai menghadap Presiden Sukarno (Tempo Interaktif, 19/1/2008)

Bersenjatakan “surat misterius” itu, Soeharto “mengkudeta” Soekarno dan selanjutnya dengan mulus melenggang menuju singgasana kekuasaan; bercokol di sana selama 30 tahun lebih sebelum akhirnya lengser pada 21 Mei 1998. Pertanyaannya kemudian, di mana sesungguhnya naskah asli Supersemar berada? Dan mengapa dokumen sepenting itu bisa “menghilang” tak tentu rimbanya? Jangan-jangan tabir misteri itu tak akan pernah tersibak. Rahasianya terbawa ke liang kubur bersama jasad Soeharto. Wallahualam.

Hari ini mungkin sudah jarang yang melakukan korespondensi lewat pos. Kegiatan surat-menyurat “kuno” itu telah digantikan oleh teknologi e-mail alias surat elektronik via internet. Dalam hitungan sekon saja berlembar-lembar “surat” dapat kita kirimkan ke seluruh dunia. Kendati demikian, saya percaya surat “kuno” masih memiliki daya tarik dan kekuatannya sendiri yang tak tergantikan. Tentu berbeda rasanya, bukan, saat menerima selembar kartu pos dengan membaca “selembar” e-card. ***

DANGDUT DAN TELEVISI


Pada suatu Rabu malam. Saya dan ibu saya duduk di depan televisi menyaksikan sebuah tayangan langsung di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Acaranya itu seperti lomba menyanyi dangdut. Pesertanya ada sepuluh orang. Setelah melalui audisi yang dinilai oleh tiga orang juri, peserta dikempiskan menjadi tinggal lima orang saja yang berhak mengikuti kontes tersebut.

Kelima peserta yang tersisa ini kemudian diadu kebolehannya menyanyi dangdut. Satu per satu mereka tampil di pentas; bernyanyi dan bergoyang. Ketiga orang juri yang berasal dari kalangan artis penyanyi dan pelaku dunia hiburan memberikan penilaian untuk vokal, koreografi, dan penampilan.

Malam itu, kelima peserta kontes perempuan semua. Dari cerita mereka terungkaplah sepotong kisah hidup dan motif mereka mengikuti acara itu. Umumnya, entah benar atau tidak, para kontestan itu menuturkan sebuah kisah sedih. Dituturkan dengan mimik muka memelas dan bahkan sampai berurai air mata.

Adalah Nuraini dan Tresna yang malam itu menjadi “bintang” pertunjukan. Nuraini, wanita muda asli Jawa tetapi lahir di Medan itu, jauh-jauh datang ke Jakarta dari desanya di ujung Sumatera sana demi mengejar seberkas mimpi menjadi penyanyi (dangdut) terkenal. Minimal di Sumatera. Saat ini Nur hanyalah seorang penyanyi dangdut kampung yang ngamen dari panggung ke panggung pada acara perkawinan atau khitanan. Mereka menyanyi dengan iringan organ tunggal. Kadang-kadang untuk lebih semarak ditambah juga tabuhan gendang dan tiupan seruling.

Fenomena dangdut solo organ ini semakin hari semakin marak saja. Kini setiap ada hajatan terasa kurang lengkap tanpa hiburan musik hidup ini. Penyanyinya yang biasanya perempuan tampil dengan kostum serta dandanan layaknya penyanyi dangdut profesional.

Gaun mini di atas lutut dengan warna-warni cemerlang yand di beberapa bagian tampak terbuka, sepatu lars panjang berhak tinggi, rambut panjang lurus kecoklatan hasil pewarna, bulu mata palsu melengkung lentik, pupur tebal plus perona pipi jambon, gincu merah menyala….Tubuh seksi itu meliuk-liuk bergoyang mengikuti irama gendang. Sesekali pinggul menghentak nakal, membawa imajinasi para penonton melayang. Desahan serta kerling mata nan menggoda menambah hangat suasana.

Namun malam itu di layar kaca, Nuraini tak bergaya seronok. Dalam balutan busana keemasan, ia melenggok menyanyikan sebuah lagu pilihannya. Ia terlihat begitu bersemangat dan enjoy. Oleh para juri Nur diloloskan dan itu artinya ia mempunyai kesempatan untuk jadi pemenang yang akan diketahui di akhir acara dari hitungan SMS yang masuk.

Oya, tentu saja tayangan ini melibatkan kesertaan penonton tivi untuk ikut memilih pemenangnya dengan cara mengirimkan SMS. “Strategi” seperti ini mulai ramai digunakan para penyelenggara acara-acara tivi sejak beberapa tahun silam dan sukses meraup keuntungan, baik bagi stasiun televisinya mau pun penyedia layanan telepon selulernya. Terbukti dari tetap dipertahankannya acara-acara tersebut lantaran banyak diminati pemasang iklan dan rating-nya tinggi. Bicara rating, apa boleh buat, itulah salah satu “alat ukur” yang dipakai dan dipercaya untuk mengetahui laku tidaknya sebuah tayangan tivi. Tidak peduli acara tersebut bagus atau buruk mutunya.

Kembali kepada Nur yang telah usai berdendang. Oleh pembaca acara Nur diminta menuturkan kisahnya hingga tiba di panggung kontes dangdut itu. Dengan gayanya yang terlihat lugu, istri seorang tukang potong rumput itu, menggulirkan ceritanya.

Dari kampungnya nun jauh di Pulau Perca sana, Nur berangkat ke Jakarta dengan segumpal tekad ingin memenangi kontes dangdut itu. Berbekal uang tiga juta rupiah hasil penjualan 4 ekor kambing miliknya, perempuan berkulit gelap ini terbanglah. Sesampai di bandara Soekarno-Hatta ia sempat kebingungan tak tahu harus ke mana sebab, katanya, ia tak punya sanak saudara di ibukota ini. Untunglah, ia bertemu seorang bapak baik hati yang menawarinya tempat tinggal. Tawaran itu segera diterimanya. Nur tinggal di rumah pria baik budi itu sampai waktu lomba tiba. Nur menutup kisahnya dengan harapan dan doa agar ia berhasil menjadi juara malam itu.

Lain Nuraini lain pula Tresna. Tresna, bocah perempuan berumur 15 tahun ini, berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Ia datang diantar bapak ibunya dan beberapa orang saudaranya yang terus menyemangatinya selama ia tampil. Tresna bertubuh pendek untuk ukuran anak seusianya. Badannya sedikit gempal dengan rambut dipotong pendek. Malam itu ia mengenakan baju rok putih dengan bagian bawah lebar. Wajahnya dirias tebal sehingga membuat ia tampak lebih tua dari usianya.

Tresna menyanyi dengan bagus. Ia berhasil memesona para juri dan penonton di studio. Ia pun dinyatakan lolos. Sebagaimana Nur tadi, Tresna juga didaulat untuk bercerita.

Tresna anak sulung dari tiga bersaudara. Bapaknya bekerja sebagai tukang ojek, sedangkan ibunya berjualan kecil-kecilan di rumah. Sudah sejak umur 9 tahun, Tresna senang menyanyi. Ia belajar dari melihat VCD penyanyi idolanya, Rita Sugiarto. Seperti Nur, Tresna juga sering ditanggap menyanyi di panggung-panggung kecil di desanya. Serupa dengan Nur, Tresna pun ingin menang supaya bisa memperbaiki nasib keluarganya. Sambil berurai air mata dan suara tersendat oleh isak tangisnya, Tresna mengaku ingin menyenangkan dan membantu kedua orang tuanya mencari uang. Ia yakin dengan memenangi lomba malam itu jalan menuju hidup yang lebih baik akan terbuka lebar.

Oh..sungguh menyentuh kisah anak kecil itu. Tanpa terasa saya dan ibu saya ikut meneteskan air mata haru, larut oleh kisah yang dipaparkannya. Dan kemudian saya ikut memilihnya lewat SMS. Oh…inilah kali pertama saya “terlibat”.

Mungkin apa yang diungkapkan Tresna dan Nur benar belaka dan dengan jitu telah dimanfaatkan oleh pihak penyelenggara. Mereka mengekspos penderitaan para peserta demi menggugah dan melibatkan emosi penonton. Maka, jika penonton sampai ikut menangis berarti acara tersebut digemari dan sukses. Tidak terlalu salah kesimpulan itu, karena keesokan harinya, pada jam yang sama ibu saya kembali mengikuti acara tersebut.

Kiranya dangdut dan televisi telah bersinergi dengan apik dalam menjual mimpi-mimpi kepada para audiensnya. Keduanya adalah benda yang sangat akrab dalam keseharian masyarakat bawah. Lewat kedua media hiburan ini, orang-orang seperti Nuraini dan Tresna mencoba menggantungkan harapan untuk tetap survive menjalani kerasnya kehidupan.

Dangdut yang dahulunya hanya laku di kalangan bawah, kini pelan-pelan statusnya naik. Musik yang berasal dari India ini mulai merambah selera orang-orang kota (modern). Sekarang dangdut diterima di mana-mana. Mulai dari tukang becak sampai para pejabat. Dangdut semakin laku keras pada musim-musim kampanye. Artis dangdut banjir order. Mereka biasanya “dimanfaatkan” untuk mengumpulkan massa.

Agak sedikit berbeda, keberadaan televisi di masyarakat justru berangkat dari golongan mampu. Dahulu kala hanya orang-orang kaya saja yang sanggup memiliki “kotak ajaib” ini di rumah-rumah mereka. Rakyat jelata biasanya nonton ramai-ramai di balai desa atau numpang di rumah tetangga yang punya.

Namun hari ini pesawat televisi bukan lagi barang mewah. Ia telah jadi harta yang wajib ada di setiap rumah tangga. Di gubuk-gubuk pinggir rel sekali pun kita bisa menjumpai benda ini. Mungkin hanya di daerah yang sangat terpencil saja (yang tidak ada di peta)
yang belum mengenal teknologi televisi.

Dan tatkala keduanya, dangdut dan tivi, bekerja sama menjual impian, kita terperangkap di dalamnya; membeli, melahap, menelannya. Sampai suatu saat, mungkin, akan muntah dan mencari impian baru lagi.***ENDAH SULWESI.